Rabu, 19 Desember 2012

RANCANGAN JUDUL ep2-Ths

Pelatihan Pembangunan Karakter Bangsa merupakan kegiatan dalam rangka Internalisasi Nilai Dalam Rangka Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Kebudayaan, yang diselenggarakan Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI diikuti kepala sekolah dan guru dari 56 sekolah di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi. Penyelenggaraan di Kota Bandung merupakan kegiatan kedua setelah DKI Jakarta dari kegiatan yang hendak dilaksanakan di 10 provinsi. (A-87/A-108)***

"Pengaruh Kurikulum  terhadap Internalisasi Nilai dan Diplomasi Sosial Budaya Lokal dalam pelaksanaan belajar mengajar pada jenjang pendidikan SD Se-Eks Karesidanan Surakarta Tahun Sekolah 2012/2013." 

*Cara membuat latar belakang--> paparan permasalahan sehingga perlu adanya penelitian untuk memperbaikinya..

*Rumusan Masalah harus jelas --> Kalau Korelasi : Apakah ada hubungan antara antara A & B. Porsi yang paling banyak tentang pemaparan tentang fenomena. HUbungan antara variabel.Walaupun diawali dengan ladasan kontekstualnya. 

Buku Referensi tentang Metakognisi dalam membaca --> Matlin

Paparan yang pertama cerita tentang variabel bebas dengan kemampuan pemahaman tentang sesuatu.

Ceritakan tinggi rendahnya wujud konkret ... dari siswa dan dampak dari pemahaman itu?

Wujud Konkret ... apa? ceritakan tinggi rendahnya metakognisi dan dampaknya terhadap pemahaman bagaimana?

Kalau hanya menunjukkan masalah, tanpa uraian seperti di atas, mestinya penelitian di lakukan dalam penelitian tindakan.


Intinya kalau kita membuat LB caranya bisa berangkat dari rumusan masalah. Paparkan fenomena-fenomena yang berhubungan dengan variabel yang dipakai. Kalaupun ada kutipan, itu berupa fakta yang berkaitan. Inti dari L.B. harus jelas. Cara lain membuat L.B dalam BAB I --> "apa yang membuat anda layak untuk meneliti?". Penelitian ini diL.B oleh fenomena ..... dari fenomena ini timbul pertanyaa. .... jawaban ditemukan dengan beberapa langkah .... 

Penelitian yang tidak berhipotesis harus berangkat dari rumusan masalah ... 
Apa yang ditulis di Identidfikasi masalah harus ada di L.B. masalah
Ada kontrol eksternal variabel ...

Sikap itu harus ada objeknya --> Sikap terhadap apa?

Selasa, 18 Desember 2012

The Last Meeting Semester I

*** Psikologi Belajar***

Bismillahirrahmanirrahiim ,,,
Cukup menarik ... Membahas metode UAS,, dan gak mungkin take home.. hehe (menghindari adanya copy paste). tapi kalau open Book, tantangan nich harus Pass Strateginya..IuuuhHhh ^_^

Games Kartu membaca karakteristik orang... Hehehe,,, menegangkan --> dibacakan di depan lagi = tapi yang positif aja ... buat do`a perbaikan di depan.

Sebagai sindiran supaya ketika saya lagi tidak dalam keadaan seperti itu bisa bangun kembali
Sebagai media penyemangat juga,,, 
Ya... semoga dari sini, kita tahu segi positif dari diri kita dan saling mengingatkan...

Nama dari games ini adalah POSITIF FEED BACK --> Tujuannya adalah Menyenangkan seseorang --> dan menyenangkan seseorang ternyata sangat mudah -> hanya sengan secarik kertas Lhoh ^-^ 

Content Skripsiku


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam yang banyak dan melimpah pada suatu negara belum merupakan jaminan bahwa negara tersebut akan makmur, bila pendidikan sumber daya manusianya ditelantarkan. Suatu negara yang mempunyai sumber daya alam yang banyak, bila tidak ditangani oleh sumber daya yang berkualitas, pada suatu waktu akan mengalami kekecewaan. Sejarah membuktikan bahwa negara yang miskin dengan sumber daya alam, tetapi kaya dengan sumber daya manusia yang berkualitas dapat menjadi negara yang kaya, makmur dan kuat.
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan tugas besar dan berjangka waktu panjang karena masalahnya menyangkut masalah pendidikan bangsa. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus melalui proses pendidikan yang baik, terarah dan menyenangkan.
Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses pendidikan. Maka selayaknya dalam era pembangunan suatu proses ini faktor pendidikan mendapatkan prioritas utama dalam menyiapkan tenaga-tenaga pembangunan yang mandiri dan mampu merealisasikan gagasan yang inovatif, kreatif, efektif dan efisien dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan agama.
Pendidikan dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan adanya perubahan tingkah laku anak didik yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, nilai dan sejenisnya. Menurut H. Bambang Guritno (Inspirator No. 147/IV Agustus, 2002) bahwa :
Anak cerdas merupakan hak setiap orang tua. Orang tua akan merasa puas bila melihat dan menyaksikan prestasi anaknya semakin lama semakin meningkat. Pendidikan sebagai salah satu upaya membentuk kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial, untuk itu pendidikan adalah menjadi tanggung jawab orang tua, warga belajar, masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu semua unsur tersebut perlu saling kerjasama, dalam mewujudkan impian orang tua.

Dengan impian orang tua tersebut, sering terjadi hambatan dalam pelaksanaan pendidikan, karena kondisi, latar belakang, dan kemampuan dasar anak sangatlah heterogen. Sehingga banyak terjadi hambatan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Akibatnya prestasi belajar anak rendah dan mengalami kesulitan belajar dalam mata pelajaran tertentu maupun secara keseluruhan.
Pada umumnya kesulitan belajar merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan dalam kegiatan mencapai tujuan, dan akan mempengaruhi sikap dan perasaannya, sehingga memerlukan upaya untuk mengatasinya.
Menurut Ngalim Purwanto, bahwa:
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dimungkinkan dalam diri anak itu sendiri maupun dari luar. Adapun dalam diri anak sendiri bahwa setiap anak memiliki karakteristik tertentu, baik fisiologis yaitu mengenai kondisi fisik dan pancainderanya maupun psikologis yang menyangkut minat, tingkat kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitifnya. Sedang dari luar itu mengenai lingkungan alam dan lingkungan sosial, serta instrumental yaitu kurikulum/ bahan pelajaran, guru, sarana dan fasilitas, pengelolaan kelas (1990:107)

Menurut Munawir Yusuf  bahwa :
Di sekolah regular, anak yang berkesulitan belajar umumnya tidak terdeteksi secara baik oleh guru. Mereka pada umumnya mempunyai prestasi belajar jauh di bawah rata-rata kemampuan yang diharapkan. Biasanya guru hanya membuat kesimpulan bahwa anak tersebut tidak pandai. Padahal bisa terjadi anak tersebut hanya mengalami, dalam kemampuan satu akademik saja, misalnya matematika. Sedang kemampuan membaca dan pemahamannya terhadap ilmu-ilmu yang lain tidak bermasalah. Tetapi karena kesulitan matematika tidak ditangani, maka kemampuan akademiknya yang lain menjadi ikut rendah yang ditandai dengan prestasi yang rendah. Mereka berprestasi di bawah potensinya, kemungkinan yang terjadi adalah anak tidak naik kelas atau bahkan menjadi “drop out”. Dalam hal ini guru menghadapi anak sehari-hari di sekolah mengalami kesulitan untuk menanganinya karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang anak berkesulitan belajar. Mengingat bahwa jumlah anak yang berkesulitan belajar cukup banyak, maka agar mereka tidak dirugikan perlu ditangani khusus di sekolah regular (1997:1).

Layanan pendidikan khusus terhadap anak yang berkesulitan belajar sudah sangat mendesak, karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program wajib belajar 9 tahun, yaitu untuk mengurangi besarnya angka mengulang kelas dan putus sekolah.
Usaha meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemampuan guru terus menerus dilakukan oleh pemerintah. Pada hakikatnya professional seorang guru terletak pada kemampuannya dalam mentransfer atau menyampaikan pelajaran secara mudah dan menarik bagi siswa, sehingga siswa terus mempelajari pelajaran tersebut. Daya tarik pelajaran karena cara mengajar guru itulah menjadi ciri profesional guru. Dengan kata lain kemampuan professional tersebut diterapkan melalui kemampuan guru dalam menggunakan model atau strategi pembelajaran di kelas.
Pendekatan keterampilan proses telah dicantumkan dalam setiap rencana pelajaran yang disusun oleh guru. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua guru mampu mengoperasionalkan dengan benar. Hal ini terkait dengan kemampuan guru dalam memahami model atau strategi pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu menerapkan berbagai model pembelajaran serta motivasi untuk mengatasi anak yang prestasinya rendah.
Dengan data nilai tes sumatif semester I kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011 sebagai berikut :
No
Nilai
PKn (%)
B.Indonesia (%)
Matematika (%)
1.    
91 – 100
10,23%
2,04%
9,18%
2.    
81 – 90
42,90%
40,82%
23,47%
3.    
71 – 80
29,60%
37,75%
37,75%
4.    
61 – 70
13,27%
16,33%
22,46%
5.    
51 – 60
3,10%
3,06%
7,14%
6.    
41 – 50
0,00%
0,00%
0,00%
7.    
31 – 40
0,00%
0,00%
0,00%
8.    
21 – 30
0,00%
0,00%
0,00%
9.    
11 – 20
0,00%
0,00%
0,00%
10.               
01 – 10
0,00%
0,00%
0,00%


100%
100%
100%
Tabel 1: Data prosentase nilai tes sumatif kelas III semester 1
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapatkan nilai () atau kurang dari sama dengan 70 (lihat interval ke 4) untuk PKn = 13,27%, Bahasa Indonesia = 16,33% dan Matematika = 22,46%. Dengan demikian nilai kurang pada mata pelajaran Matematika merupakan prosentase yang paling tinggi daripada prosentase mata pelajaran yang lain.
Dengan memahami tentang kesulitan belajar, upaya bantuan yang dapat diberikan yaitu pelayanan melalui model pembelajaran terarah dengan media puzzle bagi anak yang berkesulitan belajar dan memiliki prestasi rendah yang  terutama pada mata pelajaran matematika. Upaya yang dilakukan merujuk pada berbagai pendapat para ahli matematika SD dalam mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, maka menyajikan pembelajaran dengan efektif dan efisien serta menyenangkan, sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika, guru juga memahami bahwa kemampuan setiap siswa berbeda-beda, serta tidak semua siswa menyenangi mata pelajaran matematika. Model pembelajaran terarah juga menekankan konsep-konsep sesuai dengan kurikulum dan untuk matematika SD dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan (Heruman, 2007:2). Sehingga dapat membantu siswa dalam upaya meningkatkan prestasi belajarnya. Hal ini dapat melalui penyembuhan dalam aspek kepribadian atau dalam proses belajar mengajar. Dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dibantu untuk memahami kesulitannya dan banyak diberi latihan dengan bimbingan di dalam menghadapi materi pelajaran di sekolah serta memberi motivasi. Di samping itu perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, sehingga dapat merangsang kreativitas anak dalam belajar dan anak dapat semakin belajar dan anak dapat semakin berkembang serta hambatan yang dialami anak berkurang dalam penelitian ini didukung dengan media puzle. Akhirnya anak dapat mencapai tujuan yang optimal.    
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dapat penulis kemukakan identifikasi masalah sebagai berikut:
1.      Untuk meningkatkan mutu pendidikan faktor anak perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh pada prestasi belajar anak
2.      Model pembelajaran matematika yang konvensional kurang bisa mengena pada anak yang mempunyai kesulitan belajar khususnya matematika, jadi nilai matematika anak tetap rendah
3.      Anak yang mengalami kesulitan belajar, khususnya matematika harus segera mendapat perhatian dan pelayanan khusus
4.      Model pembelajaran terarah diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada anak yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika
5.      Media puzzle dapat mempermudah dalam penyampaian materi, siswa diharapkan dapat lebih memahami materi secara mendalam dan pembelajaran menjadi menyenangkan.
C.    Pembatasan Masalah
Agar dapat mengungkapkan materi yang diteliti dan lebih terarah, maka masalah ini peneliti memberi batasan sebagai berikut :
1.      Secara prestasi belajar matematika adalah hasil belajar siswa yang ditunjukkan dalam nilai pre test dan post test pada mata pelajaran matematika anak berkesulitan belajar.
2.      Model pembelajaran terarah merupakan salah satu strategi pembelajaran pada anak berkesulitan belajar dengan memberikan bimbingan khusus, terarah (penanaman konsep, pemahaman konsep dasar, dan pembimbingan keterampilan), serta terperinci agar anak dapat menyelesaikan tugas matematika mandiri (terjadi reinvention atau penemuan kembali) dengan mengaitkan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang diajarkan.
3.      Puzzle matematika adalah salah satu media yang cocok dalam materi perkalian dan pembagian bersusun dan pecahan.  
4.      Anak berkesulitan belajar adalah mereka yang mendapat suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis yang mencakup perkalian, pembagian bersusun dan pecahan. Sehingga mengalami kesulitan dalam belajar matematika.
5.      Subjek penelitian anak kelas III SDN Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta yang berkesulitan belajar matematika dalam mengerjakan perkalian dan pembagian bersusun yang berjumlah 30 orang.
6.      Objek :  Variabel bebas           : Model pembelajaran terarah dengan
                                                        media puzzle
  Variabel terikat         : Prestasi belajar matematika
D.    Rumusan Masalah
Kelas yang heterogen terdiri dari siswa yang heterogen pula, baik kemampuan dasarnya maupun hambatan-hambatan yang dihadapinya. Begitu juga guru kurang memahami karakteristik masing-masing siswa akan kemampuan dasarnya dan kurang memahami akan perannya dalam memberi pelayanan guru meningkatkan kualitas belajar. Akibatnya prestasi belajar siswa semakin menurun dan siswa akan mengarah ke perubahan tingkah laku karena kegagalannya. Oleh sebab itu peneliti mengajukan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah ada pengaruh model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika siswa berkesulitan belajar matematika pada siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011.
E.     Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa berkesulitan belajar matematika pada siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011.
F.     Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.                  Manfaat Praktis
Efektivitas model pembelajaran terarah dengan  media puzzle ini dapat berguna bagi guru, orang tua, kepala sekolah maupun pengawas Sekolah Dasar serta lembaga pendidikan, tenaga kependidikan. Jika model pembelajaran terarah dapat mempengaruhi prestasi belajar model ini dapat disebarluaskan pada pelayanan anak berkesulitan belajar di Sekolah Dasar sebagai salah satu alternatif penanganan anak berkesulitan belajar. Media puzzle membuat pembelajaran semakin menyenangkan karena membantu anak  untuk yang belum bisa berfikir secara abstraksi serta pengetahuan anak semakin mendalam dengan anak bisa melakukan eksperimen. Penyebarluasan model pembelajaran terarah dan media puzzle ini dapat dilaksanakan oleh guru kelas, kepala sekolah, maupun  pengawas Sekolah Dasar. 
2.      Manfaat Teoritis
a.       Sebagai sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan bagi guru SD, kepala sekolah, pengawas TK/SD, maupun lembaga pendidikan.
b.      Sebagai informasi dalam penelitian sejenis berikitnya.
c.       Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan model pembelajaran matematika bagi anak berkesulitan belajar.


BAB II
LANDASAN TEORI
A.  Kajian Teori
1.   Tinjauan tentang Prestasi Belajar Matematika
Dari judul tersebut di atas ada kelompok kata yang perlu dibahas yaitu prestasi belajar dan belajar matematika. Oleh karena itu akan dibahas secara berturut-turut prestasi belajar dan belajar matematika.
a.   Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan kelompok kata yang terdiri dari prestasi dan belajar. Oleh karena itu untuk mengetahui arti prestasi belajar, perlu dibahas pengertian belajar lebih dahulu.
1)   Belajar
Dari para ahli dapat diketahui bahwa belajar mempunyai pengertian yang bermacam-macam diantaranya :
a)      Kimble dalam Gagerhann (Anton Sukarno) menjelaskan bahwa “Learning is relatifly permanent change in behavioral, patentialy that accours as result reinforce practice” (1994:13). Dari pengertian ini dapat diketahui bahwa belajar itu (1) ditandai perubahan tingkah laku, (2) perubahan itu secara relatif tetap, (3) perubahan itu merupakan hasil dari pengalaman dan latihan, (4) latihan dan pengalaman itu harus diberi penguatan.
b)      Morgan, dalam buku “Introduction to Psychology” (Ngalim Purwanto “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman” (1990:84).
c)      Winkel (1996) menyatakan bahwa “Belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap yang relatif konstan dan berbekas”.
d)     Witherington, dalam buku “Educational Psychology” (Ngalim Purwanto) bahwa “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian” (1990:84).
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar terdiri dari beberapa elemen penting yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu :
1)      Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.
2)      Belajar merupakan suatu peruahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
3)      Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lama periode waktu itu berlangsung sulit ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus menyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang yang biasanya hanya berlangsung sementara.
4)      Tingkah laku yang mengalami perubahan kaarena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti : perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
Good dan Brophy dalam bukunya “Educational Psychology : A Realistic Approach” (Ngalim Purwanto) mengemukakan arti belajar dengan kata yang singkat yaitu “Learning is the development of new associations as a result of experience”. Beranjak dari definisi yang dikemukakannya itu selanjutnya ia menjelaskan bahwa “Belajar itu suatu proses yang benar-benar bersifat internal (a purely internal event). Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata. Proses itu terjadi di dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar” (1990:85).
Jadi yang dimaksud dengan belajar menurut Good dan Brophy bukan tingkah laku yang nampak, tetapi diri invidu dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru (new associations). Hubungan-hubungan baru itu dapat berupa : antara perangsang-perangsang, antara reaksi-reaksi, atau antara perangsang dan reaksi.

Adapun menurut Mohamad Ali, bahwa :
Teori belajar kognotif serta prinsip-prinsip belajar menjadi landasan dalam proses belajar untuk mencapai hasil dalam bentuk apapun. Pemahaman yang menjadi teori belajar ini, bukan hanya melandasi kemampuan-kemampuan kognitif tetapi juga melandasi berbagai kemampuan psikomotorik (keterampilan), bahkan dengan diperolehnya kemampuan kognitif dan psikomotorik yang tinggi dapat member pengaruh terhadap pembentukan sikap (afektif) (1988 : 61)

Menurut Ngalim Purwanto bahwa :
Proses belajar berlangsung dapat melalui (1) kematangan, (2) Penyesuaian diri, (3) Pengalaman, (4) Bermain, (5) Pengertian, (6) Mengahafal / mengingat, (7) Latihan” (1990:91)

Menurut Winkel (1987) bahwa :
Belajar berarti proses dapat pula berupa hasil belajar. Belajar sebagai proses merupakan perbuatan belajar (learning activity), sedang belajar sebagai hasil belajar merupakan kemampuan internal yang telah menjadi meilik seseorang. Oleh karena itu hasil belajar ini merupakan prestasi belajar (performance).

2)   Prestasi Belajar
Yang dimaksud dengan prastasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar. Karena dalam setiap perbuatan manusia untuk mencapai tujuan, selalu diikuti oleh pengukuran dan penilaian demikian pula halnya di dalam proses belajar.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1991) bahwa “Prestasi adalah hasil yang dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan seterusnya … )”.
Sedangkan “Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru” (Depdikbud, 1991).
Dengan mengetahui prestasi belajar anak, kita dapat mengetahui kedudukan anak di dalam kelas, apakah anak termasuk anak pandai, sedang atau kurang. Prestasi belajar ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, maupun tindakan sebagai hasil belajarnya dalam periode tertentu yang sudah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gunarso tentang hasil belajar bahwa :
Hasil belajar adalah suatu hasil yang dicapai oleh murid sebagai hasil belajarnya, baik berupa angka maupun huruf serta tindakan (1996 : 57)

Menurut Samino dan Saring Marsudi menyimpulkan tentang makna hasil belajar bahwa :
Hasil usaha seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang diterima setelah belajar, adapun hasilnya dapat berupa angka, huruf maupun tindakan dan wujud konkritnya dapat berupa raport, transkrip nilai, ijazah, piagam, sertifikat atau bentuk-bentuk lainnya (2011 : 48).

Menurut Abdurrahman menyebutkan hasil belajar bahwa :
Hasil belajar merupakan keluaran (out put) dari suatu system pemrosesan masuka (in put) (1999 : 21 ).

Sejalan dengan pendapat Abdurrahman pendapat Samino dan Saring Marsudi bahwa:
Masukan tersebut dapat berupa bermacam-macam informasi terkait dengan peserta didik, sedangkan keluarannya adalah hasil, yang merupakan perubahan tingkah laku, perbuatan atau kinerja (performance). Dengan demikian berarti telah terjadi proses belajar dan ada hasilnya, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor (2011:48).
 
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar :
Untuk memahami kegiatan yang disebut belajar, perlu dilakukan analisis menemukan persoalan-persoalan apa yang terlibat di dalam kegiatan belajar itu.
3)   Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar pada setiap orang diikhtisarkan oleh Ngalim Purwanto sebagai berikut :
                                                                                 (1990 : 107)
Di depan telah dikatakan bahwa belajar merupakan suatu proses. Sebagai suatu proses sudah barang tentu harus ada yang diproses (masukan atau input), dan hasil dari pemrosesan (keluaran atau out put). Jadi dalam hal ini kita dapat menganalisis kegiatan belajar itu dengan pendekatan analisis system. Dengan pendekatan sistem ini sekaligus kita dapat melihat adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Masukan mentah (raw input) merupakan bahan baku yang perlu diolah, dalam hal ini diberi pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar mengajar itu turut berpengaruh pula sejumlah faktor lingkungan yang merupakan masukan lingkungan (environment input), dan berfungsi sejumlah faktor yang sengaja dirancang dan dimanipulasikan (instrumental input) guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki (output). Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan keluaran tertentu.
Di dalam proses belajar mengajar di sekolah, maka yang dimaksud masukan mentah atau raw put adalah siswa sebagai raw put siswa memiliki karakteristik tertentu, baik fisiologis maupun psikologis. Mengenai fisiologis ialah bagaimana kondisi fisiknya, panca inderanya, dan sebagainya. Sedangkan yang menyangkut psikologis adalah minatnya, tingkat kecerdasannya, bakatnya, motivasinya, kemampuan kognitifnya, dan sebagainya. Semua ini dapat mempengaruhi bagaimana proses dan hasil belajarnya.
Yang termasuk instrumental input atau faktor-faktor yang disengaja dirancang dan dimanipulasikan adalah : Kurikulum atau bahan pelajaran, guru yang memberikan pengajaran, sarana dan fasilitas, serta manajemen yang berlaku di sekolah yang bersangkutan. Di dalam keseluruhan sistem maka instrumental input merupakan faktor yang sangat penting pula dan paling menentukan dalam pencapaian hasil / output yang dikehendak, karena instrumental input inilah yang menentukan bagaimana proses belajar mengajar itu akan terjadi di dalam diri si pelajar.   
b.      Belajar Matematika
Hakikat Matematika
Banyak orang yang mempertukarkan antara matematika dengan aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih luas daripada aritmatika. Aritmatika hanya merupakan bagian dari aritmatika.
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar dewasa ini telah berkembang pesat, baik materi maupun kegunaannya.
Menurut Johnson dan Myhlebust yang dikutip Mulyono Abdurrahman bahwa :
“Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan. Seangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”.(1996:217).

Kline mengemukakan bahwa :
“Matematika merupakan simbolis dan cirri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif” (1981:172).

Sedang Depdikbud mengemukakan bahwa:
 “Matematika memiliki dua cirri penting yaitu (1) Memiliki objek kejadian yang abstrak dan (2) berpola piker deduktif dan konsisten” (1993:111).
Paling juga berpendapat bahwa :
“Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menemukan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran menggunakan hubungan-hubungan” (1982:1).

Dari berbagai pendapat tentang hakikat matematika yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa secara kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada metodenya dari pada pokok persoalan matemetika itu sendiri.
Sedang fungsi mata pelajaran matematika menurut Depdikbud adalah :
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari(1993:11).

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah usaha kegiatan belajar matematika yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat yang merupakan hasil yang dicapai oleh anak meliputi tiga kemampuan yaitu (1) pemahaman konsep, (2) keterampilan, dan (3) pemecahan masalah.
2.      Tinjauan tentang Anak Berkesulitan Belajar Matematika
a.      Pengertian Kesulitan Belajar
Untuk dapat mengungkapkan tentang anak berkesulitan belajar ditinjau dari pengertian kesulitan belajar, terlebih dahulu kita lihat hakikat kesulitan belajar. Kesulitan belajar merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris yaitu learning disability.
Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi maupun ilmu kedokteran. Seperti yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk untuk pertama kali menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi otak minimal (minimal brain dysfunction), gangguan neurologis (neuriological disorder), disleksia (dyslexia), dan afrasia perkembangan (developmental aphasia) menjadi satu nama kesulitan belajar (learning disabilities).
Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) (h. 94-142), yang hampir identik dengan definisi yang dikemukakan oleh The National Advisory Committee on Handicapped pada tahun 1967. Definisi tersebut seperti dikutip oleh Hallahan Kuffman, dan Lloyd (Mulyono Abdurrahman) sebagai berikut :
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ajaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Bahasa tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan-gangguan perceptual, luka pada otak, disleksia dan afasia perkembangan. Batasan yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena gangguan tuna grahita, karena gangguan emosional atau karena kemiskinan (1996:5).
Dari pengertian kesulitan belajar khusus yang dikeluarkan oleh USOE tersebut dapat kita ketahui bahwa kesulitannya dapat dikarenakan adanya proses psikologi dalam proses belajar mengajar yang menuntut adanya pemahaman dan penggunaan dari bahasa ajaran dan tulisan, dan biasanya kondisi semacam ini ditunjukkan dalam proses membaca, menulis, berhitung dan sebagainya. Dan dijelaskan pula kondisi kemiskinan, lingkungan, budaya atau ekonomi.
Menurut The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD) (Munawir Yusuf) mengemukakan definisi sebagai berikut :
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi system saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi secara bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat, faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau pengaruh langsung (1997:6).
Definisi kesulitan belajar di atas menyulitkan guru untuk menandai anak yang berkesulitan belajar di kelas regular, karena guru diharapkan mampu memisahkan antara anak berkesulitan belajar tersebut dengan kesulitan belajar yang lain. Di lain pihak, salah satu aturan dalam penentuan anak tidak naik kelas di sekolah dasar regular adalah apabila nilai rata-rata untuk semua mata pelajaran adalah di bawah enam. Anak yang tidak naik kelas dianggap sebagai anak  yang secara potensial berkesulitan belajar karena dianggap tidak mampu mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasinya rendah. Oleh sebab itu Munawir Yusuf mengemukakan definisi kesulitan belajar sebagai berikut :
Anak berkesulitan belajar adalah anak  yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab lain sehingga prestasi belajarnya rendah, dan anak tersebut beresiko tinggal kelas (1997:7).

Dari definisi tentang kesulitan belajar yang digunakan tersebut maka penanganan anak berkesulitan belajar dikelompokkan dalam anak berkesulitan belajar khusus dan anak berkesulitan belajar umum. Kesulitan belajar umum ditunjukkan dengan prestasi belajar untuk hamper semua mata pelajaran rendah, sedangkan kesulitan belajar khusus ditunjukkan dengan prestasi belajar untuk mata pelajaran tertentu (bahasa dan atau matematika) rendah.
Selain itu pengertian kesulitan belajar khusus juga dikemukakan oleh The Asosiation for Children and Adult with Learning Disabilities (ACALD) yang dikutip oleh Lovitt (Mulyono Abdurrahman) sebagai berikut :
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemampuan verbal dan atau non verbal.
Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata sampai superior yang memiliki system sensori yang cukup dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi dan atau aktifitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan (1996:6).
Seperti halnya definisi yang dikemukakan oleh NJCLD, definisi yang dikemukakan oleh ACALD yang berbeda dari definisi dalam PL (94-142) definisi NJCLD maupun definisi ACALD keduanya menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga disebabkan oleh adanya disfungsi neurologis. Definisi yang dikemukakan oleh ACALD memiliki perbedaan yang penting dari definisi yang lain.
Meskipun terdapat perbedaan antara tiga definisi yang dikemukakan ketiganya memiliki titik-titik persamaan, yaitu (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya kesulitan-kesulitan dalam tugas akademis, (3) adanya kesengajaan antara prestasi dan dengan potensi, (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Baik definisi yang dikemukakan oleh NJCLD maupun ACALD secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga disebabkan oleh adanya gangguan neurologis dan kondisi tersebut secara tidak langsung juga dinyatakan dalam definisi PL (94-142). Ketiga definisi juga mengindikasikan bahwa kesulitan belajar dapat berujud sebagai suatu kekurangan dalam satu atau lebih bidang matematika, dan mengeja, atau dalam berbagai keterampilan yang bersifat lebih umum seperti mendengarkan, berbicara, dan berpikir.
Bentuk kesulitan belajar yang dikemukakan oleh ACALD menyatakan bahwa kesulitan belajar dapat muncul dalam bentuk penyesuaian sosial atau vokasional keterampilan kehidupan sehari-hari atau harga diri. Ketiga definisi mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar memperoleh prestasi belajar jauh di bawah potensi yang dimilikinya.
Jadi kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis menifestasi baik secara angsung maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Sesuai dengan pengertian kesulitan belajar sebagaimana dikemukakan di atas, tingkah laku yang dimanifestasikan hanya karena ditandai dengan aspek-aspek motoris, kognitif, homotif, efektif baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapainya.
b.      Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Sebagai garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, (1) kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Munawir Yusuf sebagai berikut :
Secara Umum kesulitan belajar khusus dapat diklasifikasikan menjadi dua : Pertama, kesulitan belajar pra akademik, meliputi (1) gangguan perkembangan motorik dan persepsi, (2) kesulitan belajar kognitif, (3) gangguan perkembangan bahasa, dan (4) kesulitan penyesuaian sosial, dan Kedua, kesulitan belajar akademik meliputi (1) kesulitan belajar membaca, (2) kesulitan belajar menulis, dan (3) kesulitan belajar menghitung dan matematika (1997: 7).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, baik kesulitan belajar umum maupun kesulitan belajar khusus pada umumnya mempunyai gagguan penyerta yang dikelompokkan sebagai berikut :
1)      Gangguan Intelegensi Rendah
Anak yang ber IQ antara 70 – 90, mereka termasuk dikatagorikan under line (garis batas) yang secara pendidikan disebut sebagai slow learner (lamban belajar). Gejala yang Nampak antara lain prestasi belajar sebagian besar atau seluruh mata pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran, dan sebagainya. Akibat lebih jauh dari kondisi ini adalah putus sekolah.
2)      Anak Berprestasi di Bawah Potensi (Under Achiever)
Anak-anak yang berpotensi unggul secara intelektual atau yang sering disebut memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak selalu menunjukkan hasil belajar yang tinggi. Apabila prestasi belajar yang mereka capai berada di bawah potensinya mereka disebut under achiever.
3)      Gangguan Emosi dan Perilaku
Tidak ada definisi yang baku mengenai gangguan emosi dan perilaku tetapi cirri-ciri umum menggambarkan adanya empat dimensi (Hallahan dan Kuffman, Munawir Yusuf), sebagai berikut :
a.       Anak yang mengalami gangguan perilaku, cirri-cirinya adalah suka berkelahi, memukul, menyerang, bersifat pemarah, tidak penurut / melawan peraturan, suka merusak baik milik sendiri maupun orang lain, kasar, tidak sopan, tidak mau kerjasama, penentang, kurang prhatian pada orang lain, suka mengganggu, suka rebut, mudah marah, suka mendominasi orang lain, suka mengancam atau menggertak, iri hati, cemburu, suka bertengkar, tidak bertanggung jawab, ceroboh, mencuri, mengacau, menggoda, menolak kesalahan dan menyalahkan orang lain, murung, cemberut, meningkatkan diri sendiri.
b.   Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri tegang, rasa takut, bersalah, cemas, pemalu, menyendiri, mengasingkan diri, tidak punya teman, perasaan tertekan, sedih, sensitive, mudah merasa disakiti hatinya, merasa rendah diri, merasa tidak berharga, mudah frustasi, kurang keyakinan, pendiam.
c.       Anak yang agresif sosial memiliki perkumpulan yang tidak baik, berani mencuri, loyal terhadap teman yang melanggar hukum, suka begadang sampai larut malam, melarikan diri dari sekolah, melarikan diri dari rumah.
d.   Individu yang tidak pernah dewasa perhatiannya terbatas, kurang konsentrasi, melamun, kaku, canggung, pasif, kurang inisiatif, mudah digerakkan, lamban, ceroboh, mudh bosan, kurang tabah, tidak rapi (1997 : 17).
4)      Gangguan Emosi
Emosi merupakan faktor dalam struktur pribadi. Pernyataan emosi tersebut dapat berbentuk senag dan tiak senang, dan perasaan yang tidak senang ini yang akan mengganggu proses belajar. Reaksi emosi terhadap jasmani adalah bermacam-macam, misalnya denyut jantung terlalu cepat, pencernaan terganggu, sukar tidur, gugup dan sebagainya. Perkembangan emosi itu dimulai sejk lahir, pada masa bagi pernyataan emosi cukup pada tangis dan artinya bias bermacam-macam, misalnya takut, marah, sakit, lapar, haus, pedih. Pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua bagian, yaitu emosi yang tidak menyenangkan biasanya merugikan, antara lain: marah, takut, iri, susah dan sebagainya. Berhasil atau gagalnya anak dalam belajar sebagian besar tergantung pada sikap emosi, anak yang selalu dimarahi akan menjadi rendah diri, takut dan menjadi tidak tenang. Jadi jelaslah bahwa kemunduran atau kesulitan suatu kegagalan belajar itu bukan faktor intelegensinya juga bukan karena bakat, tetapi karena emosinya yang mengalami kegagalan.
5)      Gangguan Komunikasi
Di Indonesia gangguan komunikasi yang sering disamakan dengan gangguan wicara. Menurut Hallahan dan Keuffman (Munawir Yusuf) gangguan komunikasi terdiri atas : (1) gangguan wicara, dan (2) gangguan bahasa. Gangguan wicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi dan atau kelancaran wicara. Jadi gangguan wicara terdiri dari tiga macam yaitu gangguan suara, gangguan artikulasi dan gangguan kelancaran bicara (1997 : 18)
Gangguan dari pemahaman dan atau penggunaan bahasa ujaran, bahasa tulis dan atau system symbol. Kerusakan tersebut mungkin meliputi bentuk bahasa (fonologi, morfologi dan sintaksis), isi bahasa atau semantic, dn fungsi bahasa atau pragmatik. Anak yang mengalami gangguan komunikasi biasanya menunjukkan gejala tidak lancar berbicara, pembicaraannya sulit ditangkap, suaranya tidak normal, gagap, dan sebagainya. Penyebabnya dapat bersifat organik dan dapat pula psikologik.
6)      Gangguan Gizi dan Kesehatan
Anak-anak yang mempunyai penyakit kronis dan bergizi kurang, cenderung mengalami kesulitan belajar. Jenis penyakit kronis dimaksud antara lain epilepsi, diabetes, cytic fibrosis, hemophilia dan luka bakar. Sedangkan gangguan gizi terutama bagi mereka yang kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat iodium.
7)      Gangguan Gerakan dan Anggota Tubuh
Ada dua kategori cacat tubuh, ialah cacat anggota karena penyakit polio, dan cacat tubuh karena kerusakan otak sehingga mengakibatkan ketidakmampuan gerak (disebut cerebral palsy). Pada dasarnya cerebral palsy merupakan koordinasi otot. Ototnya sendiri sebenarnya normal, tetapi otak mengalami gangguan dalam pengiriman sinyal-sinyal yang penting untuk memerintah otot-otot untuk memendek atau memanjang atau harus meregang (Puseschel, 1998). Anak-anak semacam ini masih dapat belajar dengan menggunakan semua inderanya. Tingkat intelektualnya umumnya normal bahkan ada yang superior. Namun, karena pada otak mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan koordinasi motorik / keterampilan fisik, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesulitan belajar.
8)      Gangguan Penglihatan Ringan
Untuk mengenal anak apakah mereka mengalami gangguan penglihatan, dapat dilihat dari ciri-ciri fisik, perilaku maupun keluhan :
a)      Ciri fisik, seperti mata juling, sering berkedip, menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan (goyang), mata yang selalu berair.
b)      Ciri perilaku, membaca terlalu dekat, membaca banyak terlewati, cepat lelah ketika membaca, mengernyitkan mata ketika melihat papan tulis, sering mengupas mata, mendongakkan kepala saat melihat benda jarak jauh, cenderung melihat dengan memiringkan kepala, berjalan sering menabrak benda di depannya, salah menyalin dalam jarak dekat.
c)      Ciri keluhan, seperti merasa sakit kepala, sulit melihat dengan jelas dari jarak jauh, penglihatan terasa kabur ketika membaca, menulis, benda terlihat seperti dua buah, mata sering merasa gatal.
Dampak gangguan penglihatan akan menimbulkan kesulitan belajar.
9)      Gangguan Pendengaran Ringan
Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau seluruh alat atau organ-organ pendengaran, dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur tertentu (Audiometer).
Dengan menggunakan ciri-ciri fisik dan perilaku anak, seseorang dapat dideteksi sebagai mengalami gangguan pendenganran atau tidak. Ciri-ciri tersebut, antara lain sering keluar cairan dari liang telinga, bentuk daun telinga tidak normal, sering mengeluh gatal atau sakit di liang telinga, kalau berbicara selalu melihat gerakan bibir lawan bicara, sering tidak bereaksi jika diajak bicara kurang keras, selalu minta diulang dalam pembicaraan, dan sebagainya.
Dampak anak yang mengalami gangguan pendengaran dapat menyebabkan terjadinya kesulitan belajar.  
c.       Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Kegagalan seorang siswa dapat menyebabkan siswa itu mengalami kesulitan dalam belajar. Kesulitan belajar merupakan kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. Hambatan-hambatan itu mungkin disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalami, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya.
Menyelidiki kesulitan belajar pada siswa adalah menyelidiki seorang individu yang hidup berkembang yang terdiri dari kesatuan psiko fisik juga terlihat dalam kehidupan sosial yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, psikologis dan moral paedagogis. Untuk memudahkan penyelidikan hal tersebut perlu dipisahkan, sehingga baik keadaan fisik maupun psikis masing-masing dapat merupakan sebab dari kesulitan belajar, walaupun secara praktis keduanya saling berhubungan.
Sebab-sebab kesulitan belajar menurut M.Bandi (2001) dapat dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor endogen yang timbul dari dalam diri anak sendiri dan faktor exogen yang timbul dari luar diri anak. Di samping itu dapat juga disebabkan oleh kemunduran dalam pendidikan.
Sebab-sebab kesulitan belajar :
1)      Sebab-sebab Kesulitan Belajar Faktor Endogen
Yaitu yang ditimbulkan dari dalam diri anak sendiri, dapat dibedakan sebagai berikut :
a)                  Sebab-sebab Kesulitan Belajar yang Bersifat Fisiologis
Keadaan fisik kurang sehat, dan keadaan fisik yang berkelainan, keadaan fisik yang sehat tidak menjadi persoalan, akan tetapi keadaan fisik yang kurang sehat dan keadaan fisik yang berkelainan perlu mendapatkan perhatian.
(1)      Keadaan Fisik yang Kurang Sehat
Hal ini berhubungan erat dengan soal kesehatan secara umum. Bilamana keadaan fisik kurang sehat mengakibatkan hambatan dalam belajar. Gangguan fisik ini ada yang bersifat sementara, misalnya influenza dan batuk. Tetapi ada pula yang tidak kelihatan dari luar misalnya : usus buntu, sakit perut, anak yang mudah berkeringat dan lain-lain. Kelemahan fisik karena kekurangan gizi juga menghambat kemajuan belajar anak, karena anak kurang aktif dan kreatif yang akhirnya tidak bergairah dalam belajar.
(2)      Keadaan Fisik yang Berkelainan Ringan
Keadaan fisik yang berkelainan ringan atau kurang sempurna antara lain :
(a)          Anak yang mengalami gangguan penglihatan ringan, seperti mata juling, sering berkedip, sering berair, miopi, hipermetropi dan sebagainya.
(b)      Anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan, seperti telinga penuh congek, daun telinga bentuknya tidak normal, dan sebagainya.
(c)          Anak yang mengalami kurang sempurna anggota tubuh seperti polio, kidal, panjang tangan, perbandingannya kurang seimbang, dan sebagainya.
(d)      Anak yang mengalami gangguan berbicara, seperti gagap.
(e)          Anak yang mengalami penyakit kronis, seperti TBC, asma, gondok, dsb.
b)                 Sebab-sebab Kesulitan Belajar yang Bersifat Psikologis
Segi psikologis sering merupakan sebab kesulitan belajar anak, masalah ini merupakan faktor penyebab yang frekuensinya relatif cukup tinggi. Beberapa aspek psikologis dari kesulitan belajar, antara lain :
(1)   Aspek Psikologis Perkembangan
Ditinjau dari aspek psikologi perkembangan ada dua pola perkembanagan yaitu bersifat umum dan individual. Pola perkembangan bersifat umum didasarkan atas generalisasi pola perkembangan manusia pada umumnya, dan pola ini bermanfaat bagi upaya penyusunan kurikulum sekolah bagi anak normal atau anak pada umumnya. Sedang pola perkembangan yang bersifat individual berbeda-beda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, dan pola ini bermanfaaat bagi upaya penyusunan program pendidikan yang sesuai dengan laju perkembangan tiap anak.
Dari aspek psikologi perkembangan, kesulitan belajar disebabkan oleh faktor kematangan. Bertolak dari pandangan semacam itu, mempercepat atau menghambat proses perkembangan dapat menimbulkan masalah belajar. Lingkungan sosial yang berupaya mempercepat proses perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar. Begitu pula dengan lingkungan sosial yang tidak memberikan stimulasi terhadap suatu fungsi yang telah matang untuk berkembang.
Pandangan lain tentang pengaruh kematangan terhadap kesulitan belajar dikemukakan oleh Samuel A. Kirk seperti dikutip oleh Learner (Mulyono Abdurrahman).
Pada tahap-tahap awal perkembangan anak secara normal cenderung menampilkan fungsi-fungsi yang menyenangkan dan menghindari yang tidak menyenangkan. Ketika suatu fungsi mengalami kelambatan dalam kematangan, anak berkesulitan belajar malah menghindari dan menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang menuntut fungsi tersebut. Akibatnya fungsi yang ditolak tersebut gagal untuk berkembang sehingga kesulitannya menjadi semakin parah (1996 : 73).
Adapun pola perkembangan yang bersifat individual, kesulitan belajar disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
(a)    Gangguan intelegensi rendah
Intelensi merupakan faktor yang sering menjadi penghambat dalam belajar, bilamana memang intelegensinya kurang (di bawah normal, antara 70-90, maka dikategorikan border line (garis belajar). Pada umumnya gejala yang nampak pada anak tersebut, antara lain prestasi belajar sebagian besar atau seluruh mata pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran, sulit memusatkan perhatian, lambat untuk bereaksi.

(b)   Anak berprestasi di bawah potensi (under achiever)
Anak-anak yang berpotensi unggul secara intelektual atau yang sering disebut memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak selalu menunjukkan hasil belajar yang tinggi, apabila prestasi belajar mereka berada di bawah potensinya maka anak tersebut dikatakan anak under achiever.
(2)   Aspek Psikologi Behavioral
Ditinjau dari aliran Behaviorisme yang berpendapat bahwa :
Berpikir adalah gerakan-gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara seperti halnya bila kita mengucapkan buah pikiran. Jadi menurut behaviorisme berpikir tidak lain adalah berbicara, unsure yang paling sederhana adalah refleks. Refleks adalah gerakan / reaksi tak sadar yang disebabkan adanya perangsang dari luar. Semua keaktifan jiwa yang lebih tinggi, seperti perasaan, kemauan dan berpikir, dikembalikannya kepada refleks-refleks. Dalam penyelidikannya terhadap tingkah laku manusia, gejala-gejala psikis yang mungkin terjadi adalah akibat dari adanya gejala-gejala / perubahan-perubahan jasmaniah sebagai reaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu (M.Ngalim Purwanto, 1990:45).

Bertolak dari aliran behavioral aspek psikologi anak berkesulitan belajar antara lain :
(a)    Anak yang sukar menyesuaikan diri
Anak yang sukar menyesuaikan diri mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Gejala yang Nampak merupakan akibat dari sifat dasar, misalnya dasar kekerasan, halus perasaannya, bersifat keras hati, sehingga dapat menimbulkan konflik emosi.
(b)   Keadaan emosi anak
Emosi merupakan faktor dalam struktur pribadi. Pernyataan emosi tersebut dapat berbentuk senag dan tidak senang, dan perasaan yang tidak senang ini yang akan mengganggu proses belajar. Reaksi emosi terhadap jasmani adalah bermacam-macam, misalnya : denyut jantung terlalu cepat, pencernaan terganggu, sukar tidur, gugup.
Perkembangan emosi itu dimulai sejak lahir, pada masa bayi pernyataan emosi cukup pada tangis dan artinya bias bermacam-macam, misaknya marah, takut, sakit, sedih, lapar dan haus. Pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua bagian yaitu emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Emosi yang tidak menyenangkan biasanya merugikan antara lain : marah, takut, iri, susah, dan lain sebagainya.
Berhasil atau gagalnya anak dalam belajar sebagian besar tergantung pada sikap emosi, anak yang selalu dimarahi akan menjadi rendah diri, takut dan menjadi tidak tenang.
Jadi jelaslah bahwa kemunduran atau kesulitan suatu kegagalan belajar itu bukan faktor intelegensinya, bukan karena bakatnya tetapi karena emosinya yang mengalami gangguan.
(c)    Motivasi
Clark C. Hall mengemukakan teorinya yang dikutip M. Ngalim Purwano (1990:97) bahwa “suatu kebutuhan atau keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu:
Hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan dorongan (motivasi) yang menyebabkan timbulnya usaha belajar itu oleh respon-respon yang dibuat individu itu.
Psikologi behavioral memberikan sumbangan teori-teori penting untuk mengajak anak berkesulitan belajar. Pusat perhatian teori-teori ini terutama pada tugas-tugas yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk mempelajari tugas-tugas tersebut. Pembelajaran yang bertolak dari teori ini kadang-kadang disebut pembelajaran langsung (direct instruction), tetapi ada pula yang menyebut belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah (directed teaching), analisis tugas (task analisys) atau pengajaran keterampilan berurutan (sequential skills teaching). Semua rekomendasi yang didasarkan atas teori behavioral adalah bahwa guru hendaknya lebih memusatkan perhatian pada keterampilan-keterampilan akademik yang diperlukan oleh anak daripada memusatkan pada kekurangan yang menghambat anak untuk belajar.
Dilihat dari sudut ilmu mendidik, belajar berarti perbaikan dalam tingkah laku dan kecakapan-kecakapan (manusia), atau memperoleh kecakapan-kecakapan dan tingkah laku yang baru. Jadi perubahan / perbaikan dari fungsi-fungsi psikis yang menjadi syarat dan mendasari perbaikan tingkah laku dan kecakapan-kecakapan. Termasuk di dalamnya perubahan di dalam pengetahuan, minat dan perhatian yang dibentuk oleh tenaga-tenaga / fungsi-fungsi psikis dalam pribadi manusia itu.
(3)   Aspek Psikologis Kognitif dan Kesulitan Belajar
Psikologi kognitif berkenaan dengan proses belajar, berpikir, dan mengetahui. Kemampuan kognitif merupakan kelompok keterampilan mental yang esensial pada fungsi-fungsi kemanusiaan. Melalui kemampuan kognitif tersebut memungkinkan manusia mengetahui, menyadari, mengerti, menggunakan abstraksi, menalar, membahas dan menjadi kreatif. Suatu analisis tentang sifat kognitif merupakan hal yang sangat penting untuk memahami kesulitan belajar. Salah satu teori psikologi kognitif yang membahas kesulitan belajar adalah yang dikenal dengan teori pemrosesan psikologis.
Seperti telah dikemukakan PL. 94-142 Amerika Serikat (Mulyono Abdurrahman) mengemukakan bahwa :
Anak berkesulitan belajar memiliki gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang diperlukan untuk belajar di sekolah. Proses psikologis merupakan kemampuan dalam persepsi, bahasa, ingatan, perhatian, pembentukan konsep, (concept formation), pemecahan masalah dan sebagainya (1996:79).

2)      Sebab-sebab Kesulitan Belajar Faktor Exogen
Sebab-sebab kesulitan belajar karena faktor exogen adalah sebab-sebab kesulitan belajar yang ditimbulkan dari luar diri anak, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk lebih jelas akan diuraikan sbb:
(a)                Lingkungan Keluarga
Faktor keluarga atau orang tua memegang peranan penting di dalam belajar. Dan keluarga ini merupakan pusat pendidikan yang pertama serta sumber tumpuan dari pembentukan pribadi anak. Seperti yang dikemukakan oleh Henry N. Siahaan (1991) bahwa “Tanpa dorongan dan rangsangan orang tua, maka perkembangan dan prestasi belajar anak akan mengalami hambatan dan menurun sampai rendah”(h.85). Hal ini menunjukkan besarnya manfaat rangsangan dan dorongan dari orang tua kepada anak dalam meningkatkan potensi hasil belajar. Situasi lingkungan keluarga yang miskin, ada pula yang kaya, suasana keluarga ada tenteram dan damai, tetapi ada pula yang sebaliknya selalu diliputi keributan atau pertengkaran. Pendidikan orang tua ada yang terpelajar sadar akan pendidikan tetapi ada kurang pengetahuan bahwa tidak peduli akan pendidikan bagi anak-anaknya. Situasi keluarga yang bermacam-macam itu akan sangat mempengaruhi belajar anak termasuk fasilitas belajar dalam lingkungan keluarga.
Adapun hal-hal yang  menimbulkan kesulitan belajar antara lain :
(1)   Keluarga yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
(2)   Keluarga yang sering bertengkar
(3)   Keluarga yang tidak pernah peduli pada pendidikan anak
(4)   Hubungan orang tua dan anak kurang dekat sehingga jarang terjadi komunikasi
(5)   Orang tua terlalu sibuk
(6)   Suasana dan tempat belajar serta fasilitas belajar kurang memenuhi.
Dengan demikian peranan orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga mempunyai tanggung jawab yang mutlak terhadap kebutuhan pendidikan anak, seperti yang dikemukakan oleh Singgih D. Gunarso (1992) sebagai berikut :
Orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak baik dari sudut organis, psikologis, antara lain makanan maupun kebutuhan-kebutuhan psikis seperti kebutuhan atau perkembangan intelektual melalui pendidikan, kebutuhan akan rasa dikasihi dan dimengerti dan rasa aman melalui perawatannya “asuhan” ucapan-ucapan dan perlakuan-perlakuannya (1992:6).

Jelaslah bahwa semua kebutuhan anak dapat terpenuhi dengan baik, maka dalam proses belajar selanjutnya seorang anak tidak mengalami hambatan-hambatan di dalam upaya mencapai prestasi belajar.


(b)               Lingkungan Sekolah
Terutama dalam belajar di sekolah faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor yang penting pula. Sikap guru dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan cara guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada anak didiknya. Di samping itu alat pelajaran, dan fasilitas serta keadaan fisik gedung mempunyai andil dalam menentukan hasil belajar anak. Letak gedung sekolah yang kurang strategis itu juga akan mempengaruhi hasil belajar anak, karena apabila jarak sekolah dengan rumah yang jauh itu akan melelahkan bagi anak sehingga fisik yang lelah maka menghambat dalam mengikuti pelajaran, belum lingkungan sekolahan yang buruk dan negatif itu akan sangat mengganggu dalam proses pembelajaran. Hal seperti itu akan dapat menimbulkan kesulitan belajar.
(c)                Lingkungan Masyarakat
Beberapa contoh keadaan lingkungan masyarakat yang tidak mendukung hasil belajar anak, antara lain :
(1)   Mass Media (sumber berita)
Betapa banyaknya cerita-cerita film, isi majalah dan lain-lain yang dapat memberikan pengaruh yang baik dan bijaksana, tetapi karena kurang dapat mengatur diri serta memilih mana yang berakibat baik atau buruk menyebabkan pelajaran di sekolah semakin mundur.
(2)   Aktifitas di dalam masyarakat
Aktifitas-aktifitas dalam masyarakat kadang terlalu banyak bagi anak. Meskipun tugas itu bermanfaat bagi anak, kadang-kadang dapat mengganggu tugas sekolah.
3)      Sebab-sebab Kesulitan Belajar karena Kemunduran dalam Pendidikan
Anak yang mengalami kemunduran dalam pendidikan tidak menunjukkan kelainan fisik, kelihatannya sehat dan normal bicaranya. Kegagalan dalam mata pelajaran tertentu merupakan teka-teki bagi guru. Pada umumnya akan mengalami kemunduran dalam membaca, berhitung dan kemunduran ini kan menghambat pelajaran yang lainnya. Beberapa penyebab kemunduran dalam pendidikan antara lain :
a)            Bingung
Keadaan anak yang bingung dapat menyebabkan hambatan dalam belajar. Anak yang bingung dan sulit memahami sesuatu akhirnya menjadi rendah diri.
b)            Perasaan rendah diri
Anak yang memiliki perasaan rendah diri akan mengalihkan kegiatannya di luar kelas.
c)            Nakal karena frustasi
Anak yang gagal satu atau beberapa mata pelajaran dapat mengakibatkan anak merasa tidak suka terhadap pelajaran itu dan merasa takut untuk sekolah.
d)     Sikap orang tua
Kadangkala orang tua bertindak gegabah terhadap anak yang tertinggal pada mata pelajaran tertentu. Karena rasa ambisi yang tinggi orang tua terhadap anaknya sehingga orang tua memiliki harapan-harapan yang tinggi pula terhadap anaknya, sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mata pelajaran, anak tersebut dimarahi bahkan dihukum akibatnya anak merasa takut, kawatir dan cemas.
Selain faktor tersebut di atas penyebab kesulitan belajar yang dikemukakan oleh Mulyono Abdurrahman (1996) sebagai berikut :
Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis, sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problem) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengadaan pembelajaran yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan  (reinforcement) yang tidak tepat (h. 10).

Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tuna grahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya akan menyebabka kesulitan belajar antara lain adalah : 1. Faktor genetik, 2. Luka pada otak karena trauma atau karena kekurangan oksigen, 3. Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat), 4. Biokimia yang dapat merusak otak (misalkan zat pewarna pada makanan), 5. Pencemaran lingkungan, 6. Gizi yang tidak memadai, dan pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang dapat merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dari yang tarafnya ringan hingga yang tarafnya tinggi.
d.      Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika
 Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculia)(Lerner, 1988:430). Istilah diskalkulia memiliki konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Kesulitan belajar matematika yang berat oleh Kirk (1962:10) disebut akalkulia (acalculia).
Menurut Lerner (Mulyono Abdurrahman) ada beberapa karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu (1) adanya gangguan dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitan persepsi visual, (3) asosiasi visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami symbol, (6) gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) skor performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ (1996:224).

a)      Gangguan Hubungan Keruangan
Konsep hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah, depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai anak pada saat mereka belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Tetapi sayangnya, anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggaranya suatu situasi yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi antara mereka. Adanya kondisi intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang system bilangan secara keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin tidak mampu merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris dan mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6.
b)      Abnormalitas Persepsi Visual
Anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Kesulitan semacam itu merupakan salah satu gejala adanya abnormalitas persepsi visual. Kemampuan melihat berbagai objek dalam kelompok merupakan dasar yang sangat penting yang memungkinkan anak dapat secara cepat mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang masing-masing terdiri dari lima dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu persatu anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya. Anak yang memiliki abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat garis yang saling tidak terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami berbagai simbol.
c)      Asosiasi Visual-Motor
Anak berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda secara berurutan sambil menyebukan bilangannya “satu, dua, tiga, empat, lima”. Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “tiga”. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahaminya.
d)     Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu disebut perseverasi. Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas dengan baik, tetapi lama kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek tertentu. Misalnya :
4 + 3 = 7
5 + 3 = 8
5 + 2 = 7
5 + 4 = 9
4 + 4 = 9
3 + 4 = 9
Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperhatikan kaitannya dengan soal matematika yang dihadapi.
e)      Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol
Anak berkesulitan belajar matematika sering memperlihatkan adanya gangguan penghayatan tubuh (body image). Anak demikian merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya leher tidak tampak, tangan diletakkan di kepala dan sebagainya.
f)       Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca
“Matematika itu sendiri pada hakikatnya adalah bahasa simbolis” Johnson & Myklebust (Mulyono Abdurrahman, 1996 : 226). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.
g)      Sekor PIQ Jauh Lebih Rendah daripada Sekor VIQ
Hasil tes intelegensi dengan menggunakan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa :
Anak berkesulitan belajar matematika memiliki sekor PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah dari pada sekor VIQ (Verbal Intelligence Quotient). Tes Intelligensi ini memiliki dua subtes, tes verbal dan tes kinerja (performance). Subtes verbal mencakup (1) informasi, (2) persamaan, (3) aritmatika, (4) perbendaharaan kata, dan (5) pemahaman. Subtes kinerja mencakup (1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3) menyusun balok, (4) menyusun objek dan (5) coding. Anatasi (Mulyono Abdurrahman, 1996 : 226).

Rendahnya sekor PIQ pada anak yang berkesulitan belajar matematika tampaknya terkait dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan adanya gangguan asosiasi visual motor.
3.      Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar
Untuk mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi anak, maka perlu memperhatikan faktor-faktor penyebab kesulitan belajar. Usaha ini untuk mengatasi kesulitan belajar pada sasaran yang tepat. Secara garis besar langkah yang harus ditempuh dalam rangka menangani anak berkesulitan belajar , menurut B.Sunarti dan Munawir  ada 6 yaitu “ 1. Pengumpulan data, 2. Pengolahan data, 3. Diagnose, 4. Prognosa, 5. Treatment atau perlakuan, 6. Evaluasi” (1996:14).
Di samping itu perlu ada pelayanan pendidikan menurut Lerner (Munawir Yusuf) :
Ada tiga sistem pelayanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar yang biasa digunakan yaitu (1) penggunaan kelas khusus, (2) ruang sumber, dan (3) kelas regular” (1997:24).

1)      Kelas Khusus
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas khusus biasanya menampung antara 10 hingga 20 anak berkesulitan belajar di bawah asuhan seorang guru khusus. Ada dua jenis kelas khusus yang biasa digunakan, (1) kelas khusus sepanjang hari belajar, (2) kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu.
Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar, anak-anak berkesulitan belajar dilayani oleh guru khusus. Anak-anak di kelas ini belajar semua jenis mata pelajaran dan hanya berinteraksi dengan anak-anak lain yang tidak berkesulitan belajar pada saat turun main atau istirahat. System pelayanan jenis ini tergolong yang paling bersifat membatasi pergaulan anak berkesulitan belajar dengan anak yang tidak berkesulitan belajar dalam sistem pendidikan integratif.
Dalam kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu, anak-anak berkesulitan belajar mempelajari mata pelajaran tertentu, biasanya mata pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Kadang-kadang juga belajar tentang keterampilan sosial atau aspek-aspek khusus dari bahasa. Untuk mata pelajaran lain seperti olah raga, musik, kerajinan tangan, dana dan lain-lain, mereka belajar bersama anak-anak yang tidak berkesulitan belajar.
2)      Ruang Sumber
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang membutuhkan, terutama yang berkesulitan belajar. Di dalam ruang sumber terdapat guru remedial atau guru sumber dan berbagai media belajar. Aktivitas utama dalam ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada upaya memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial dituntut untuk menguasai bidang keahlian yang berkenan dengan pendidikan anak berkesulitan belajar. Guru sumber diharapkan juga dapat menjadi pengganti guru kelas dan menjadi konsultan bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 hingga 20 anak berkesulitan belajar tiap hari.
3)      Kelas regular
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, pertama anak berkesulitan belajar dan yang kedua anak tidak berkesulitan belajar. Dalam kelas regular yang dirancang untuk membantu anak berkesulitan belajardiciptakan suasana belajar kooperatif sehingga semua anak dapat menjamin kerjasama dalam mencapai tujuan belajar. Suasana belajar kompetitif dihindari agar anak berkesulitan belajar tidak putus asa. Program pendidikan individual diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik anak berkesulitan belajar, yang memiliki keunggulan, maupun yang memiliki penyimpangan lainnya. Dalam kelas regular semacam ini berbagai metode untuk berbagai jenis anak digunakan bersama.
Keberhasilan menangaani anak berkesulitan belajar ditentukan pula oleh ketepatan langkah kegiatan dan adanya bimbingan serta pengajaran terarah secara continue untuk penggunaan media juga diusahakan yang sesuai supaya pembelajaran menjadi menyenangkan.
4.      Tinjauan tentang Model Pembelajaran Terarah
Sebelum membahas model  pembelajaran di sini penulis akan memberikan gambaran pembelajaran pada umumnya di Sekolah Dasar yang setiap hari dilaksanakan oleh guru  yaitu pengajaran konvensional atau tradisional bagi anak yang berkesulitan belajar.
Menurut Soeharjo DS (Anton Sukarno) mengemukakan bahwa :
Pengajaran konvensional merupakan pengajaran anak berkesulitan belajar yang dilaksanakan bersama dengan anak normal dalam satu kelas. Pengajajan di SD merupakan system pengajaran klasikal, dimana seorang guru mengelola sekitar 30 murid, dalam satu kelas. Mereka mendapat pelajaran yang sama pada waktu yang sama (1994:43).

Dengan pengajaran konvensional bagi anak berkesulitan belajar matematika ternyata belum bisa mengatasi permasalahan untuk meningkatkan prestasi belajar anak berkesulitan belajar matematika. Oleh karena itu penulis mengajukan model terarah bagi anak berkesulitan belajar.
Pembelajaran terarah merupakan pendekatan belajar modifikasi tingkah laku dan kognitif.
Pembelajaran terarah menyangkut hal-hal berikut :
1)      Memberi arah belajar secara terperinci untuk meyakinkan bahwa terjadi pembelajaran.
2)      Memberikan kesempatan kepada siswa membangun pengetahuan sistematik.
3)      Menyediakan cara-cara kognitif dimana desain pembelajaran dijabarkan dalam langkah-langkah jelas bagi murid (overt) yang sekaligus mempunyai dua keuntungan : memungkinkan guru langsung memperbaiki kesalahan dan menghapus secara berangsur-angsur langkah-langkah yang terperinci (fading), sehingga pada akhirnya siswa sendiri menyelesaikan tugas-tugas matematika yang diberikan.


Menurut Mercer dan Mercer (Anton Sukarno) menyatakan bahwa

“Pembelajaran terarah merupakan pengajaran mandiri yang dapat terjadi secara individual, kelompok kecil maupun kelompok besar maupun klasikal” (1999:13).
Begitu juga Richard Bures (Anton Sukarno) menyatakan bahwa

Pengajaran individual lebih terbimbing dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu belajar siswa yang terarah dalam arti terbimbing dalam cara belajar siswa dan cara mengajar guru yang tepat sehingga mengarah kepada keberhasilan yang optimal” (1994:44).

Sedang Silbert, Carnine dan Stein (J. Tombokan Runtukahu) mengusulkan penggunaan strategi pembelajaran terarah dalam pengajaran matematika di SD bahwa :
Strategi ini dapat digunakan secara klasikal dan individual. Jika strategi ini digunakan untuk kelas di mana terdapat dua atau tiga murid berkesulitan belajar, sebaiknya mereka duduk tidak jauh dari meja guru sehingga guru dapat memonitor langsung dan mengadakan pembimbingan individual. Selain digunakan secara klasikal, strategi ini baik sekali digunakan bagi anak-anak berkesulitan belajar yang dilayani pada kelas khusus, karena trategi pembelajaran ini menyediakan informasi yang terperinci yang dibutuhan oleh murid berkesulitan belajar dalambelajar matematika (1996:298).

Dalam pelaksanaan model pembelajaran terarah mata pelajaran matematika bagi anak berkesulitan belajar terpusat pada guru yang mengacu pada pengajaran aktif.
Mercer dan Mercer (Anton Sukarno) menyatakan bahwa “ada 3 langkah pengajaran bagi anak berkesulitan belajar yaitu presentase, kerja terbimbing, dan kerja mandiri (1999 : 17).
Sedang Rena B. Lewis dan Donald H. Doorrlag (Anton Sukarno) bahwa :
Mengembangkan langkah-langkah pengajaran menjadi 5 langkah, yaitu pemilihan kurikulum, presentasi, kerja terstruktur, kerja mandiri/mastery, dan aplikasi. Dan tiap langkah mempunyai dimensi kegiatan yaitu kegiatan siswa dan guru.




5.      Tinjauan tentang Media Puzzle
 Media pembelajaran adalah alat peraga yang digunakan untuk membantu pengajar menyampaikan pengetahuan dan mengalihkan ketrampilan. Dengan batasan itu dapat dipahami bahwa alat peraga bukan menggantikan pengajar tetapi alat membantu dalam menunaikan tugas guru (Pasaribu&Simanjutak, 1983:35)
Alat peraga dalam penelitian ini termasuk dalam jenis alat peraga visual atau alat peraga penglihatan, yang menuntut indera penglihatan yaitu dengan puzzle.
Puzzle merupakan bentuk-bentuk acak dan kemudian harus dipasangkan secara benar di tempat yang sudah disediakan, dalam penelitian ini puzzle bukan berbentuk gambar melainkan berupa penyelesaian matematika.
B.  Kerangka Berfikir
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kerangka berpikir dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bahwasanya anak yang mengalami kesulitan belajar mempunyai prestasi belajar khususnya mata pelajaran matematika rendah yang didasari dengan prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelas, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara optimal bila tidak ada bimbingan secara efektif.
2.      Dengan menerapkan model pembelajaran terarah diharapkan prestasi belajar matematika anak berkesulitan belajar matematika dapat meningkat.
3.      Dengan media puzzle dalam pembelajaran terarah diharapkan pemahaman siswa terhadap materi lebih mendalam dan pembelajaran lebih menyenangkan.
4.      Dengan berhasilnya pengajaran matematika dengan model pembelajaran terarah dan menggunakan media puzzle, siswa mengalami kesulitan belajar matematika yang ada di Sekolah Dasar mendapat perlakuan khusus dan menanamkan pemahaman materi secara menyenangkan dan mendalam, sehingga siswa tersebut dapat mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan.
Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran
 
C.  Hipotesis
Dalam penilitian ini penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : “Ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011”.






BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis menggolongkan jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Menurut Maryadi, dkk menyatakan bahwa “ Penelitian Kuantitatif adalah penelitian yang melibatkan perhitungan atau angka atau kuantitas. Selain itu penelitian kuantitatif diartikan sebagai penelitian yang melibatkan pengukuran pada tingkat tertentu dengan ciri tertentu pula”.
 Pada penelitian kuantitatif ini, berdasarkan eksplanasi variabelnya termasuk ke dalam penelitian asosiatif yaitu penelitian ini berfungsi untuk mempelajari hubungan antara variabel satu dengan variabel yang lainnya.(Maryadi,dkk,2010:3).
B.     Tempat, Waktu Penelitian dan Subjek Penelitian
1.      Tempat Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis mengambil tempat lokasi di Sekolah dasar Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta. Peneliti memilih sekolah tersebut karena terletak di tengah kota Surakarta sehingga mudah dijangkau dan hemat biaya serta merupakan Sekolah dasar yang maju sehingga untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari penerapan pembelajaran terarah dengan menggunakan puzzle terhadap prestasi belajar siswa. Sedang kelas yang diteliti adalah kelas III karena guru kelas III di sekolah tersebut sudah S2 akan tetapi masih banyak anak yang berkesulitan belajar tidak tertangani dengan cara yang lebih mendalam.
2.      Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan April 2011. Secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut :
1.      Bulan desember 2010 sampai Januari 2011
a.       Menyelesaikan proposal penelitian
b.      Mencari ijin untuk penelitian
c.       Membuat kisi-kisi soal dan membuat soal-soal try out (kisi-kisi soal dan soal-soal try out terdapat lampiran)
2.      Bulan Februari sampai Maret 2011
a.       Pelaksanaan try out soal
b.      Menganalisa validitas dan reabilitas tiap butir soal
c.       Melaksanakan pre test
3.      Bulan Maret sampai April 2011
a.       Melaksanakan treatment terhadap anak berkesulitan belajar bidang studi matematika
b.      Melaksanakan post test
c.       Pengolahan data hasil pre test dan hasil post test terhadap anak berkesulitan belajar bidang studi matematika
Adapun perincian jadwal secara lengkap terdapat dalam lampiran.
3.      Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan tiga kelompok subjek yaitu satu Kelompok Eksperimen (KE), Kelompok Kontrol (KK) dan Kelompok untuk Uji Validitas Instrumen test. Ketiga kelompok tersebut diambil dari dua kelas yaitu 15 siswa kelas IIIA dan 15 siswa kelas IIIB. Peneliti memakai 10 siswa dari kelas IIIA sebagai KK, 10 siswa kelas IIIB sebagai KE dan 10 siswa dari 5 siswa kelas IIIA dan 5 siswa kelas IIIB sebagai subjek Uji validitas Instrumen Test.
Untuk kedua kelas tersebut diberikan materi pelajaran yang sama dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda. KE menggunakan model pembelajaran terarah dengan media puzzle sedangkan KK menggunakan model pembelajaran konvensional (ceramah). Untuk mengetahui bahwa tidak ada perbedaan kemampuan yang signifikan terhadap kedua kelas tersebut maka diadakan perhitungan perbedaan kemampuan awal (pre test) dengan uji t (t-test) untuk sampel terpisah (uncorrelated samples).

  1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III SDN Mangkubumen No. 16 Surakarta, kelas yang terbagi menjadi kelas IIIA berjumlah 47 siswa, IIIB berjumlah 51 siswa. 
  1. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas IIIA dan IIIB SDN Mangkubumen No. 16 Surakarta dengan jumlah 47 siswa kelas IIIA dan 51 siswa kelas IIIB.
  1. Sampling
Suatu analisis penelitian didasarkan pada data sampel sedangkan kesimpulannya nanti akan diterapkan pada populasi maka sangatlah penting untuk memperoleh sampel yang representatif bagi populasinya.
Sutrisno Hasi (1978 : 75) sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel.
Margono ( 2007:123 ) teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data dalam penelitian dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representatif.
Dalam penelitian ini, teknik menentukan sampel ( sampling techniques ) menggunakan teknik random sampling. Sutrisno Hadi (1978 : 75) Ramdon Sampling adalah pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu. Dalam random sampling semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Adapun cara atau (procedure) yang digunakan untuk random sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara undian dari siswa kelas III SDN Mangkubumen No. 16 Surakarta yang menpunyai nilai matematika rendah pada waktu tes (sumatif) semester 1 tahun ajaran 2010/2011 sehingga siswa yang diambil sebagai sampel adalah siswa yang berkesulitan belajar matematika.

C.    Variabel Penelitian
Dalam objek penelitian ini peneliti ingin meneliti apakah benar bahwa model pembelajaran terarah dan media pembelajaran puzzle dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak yang mengalami kesulitan belajar matematika, maka yang menjadi objek penelitian adalah pembelajaran terarah dan media pembelajaran puzzle dan prestasi belajar matematika siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika. Maka model pembelajaran terarah dan media puzzle dan prestasi belajar matetatika siswa merupakan variabel penelitian. Baik model pembelajaran terarah dan media puzzle maupun prestasi belajar matematika anak yang berkesulitan belajar matematika dapat diukur, digambarkan dalam bentuk angka dan dikategorikan sebagai variabel interval.
Variabel interval adalah variabel yang mempunyai jarak, jika dibanding dengan variabel lain, sedang jarak itu bisa diketahui dengan pasti. (Arikunto,S., 2006 : 116)
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan eksperimen. Kelompok eksperimen adalah anak yang mengalami kesulitan belajar matematika dengan model pembelajaran terarah dan media puzzle, sedangkan kelompok control pembanding adalah anak yang mengalami kesulitan belajar matematika dengan model pembelajaran konvensional.
Dalam penelitian ini terdapat variabel yang mempengaruhi dan variabel akibat. Variabel yang mempengaruhi disebut variabel  bebas, variabel penyebab atau independent variable (X), sedangkan variabel akibat disebut variabel tidak bebas, variabel tergantung, variabel terikat atau dependent variable (Y). Variabel bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran terarah dan media pembelajaran puzzle, sedangkan variabel bebas pada penelitian ini adalah prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika.
D.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang dipakai untuk,  mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam rangka pengujian hipotesis. Menurut Suharsimi Arikunto secara garis besar teknik pengumpulan data digolongkan menjadi dua macam, yaitu : (1) Tes, (2) Non Tes. (1997 : 138).
1.      Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang dugunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Adapun macam-macam tes antara lain :
a.             Tes kepribadian atau personality test, yaitu tes yang digunakan untuk mengungkap kepribadian seseorang.
b.            Tes bakat atau aptitude test, yaitu test yang digunakan untuk mengukur atau mengetahui bakat seseorang.
c.             Tes intelegensi atau intelligence test, yaitu tes yang digunakan untuk mengadakan estimasi atau perkiraan terhadap tingkat intelektual seseorang dengan cara memberikan berbagai tugas kepada orang yang akan diukur intelegensinya.
d.            Tes sikap atau attitude test, yang sering juga disebut dengan istilah skala sikap, yaitu alat yang digunakan untuk mengadakan pengukuran terhadap berbagai sikap seseorang.
e.             Teknik proyeksi atau projective technique. Istila projective technique ini mulai dipopulerkan oleh L.K. Frank Tahun 1939 di dalam bukunya : “Projective Methods for The Study of Personality ( dikutip dari Barg & Gall ).
f.             Tes minat atau measures of interes, adalah alat untuk menggali minat seseorang terhadap sesuatu.
g.            Tes prestasi atau achievement test, yaitu test yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu.
2.      Non Tes
Adapun teknik pengumpulan data dengan non test, antara lain :
a.             Angket atau kuesioner (questionnaires)
         Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui.
b.            Interviu (interview)
         Interviu yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuisioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.
c.              Observasi
         Di dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pembuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera, jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap.
d.            Skala bertingkat (retings) atau rating scale.
         Rating atau skala bertingkat adalah suatu ukuran subjektif yang dibuat berskala.
e.             Dokumentasi
         Dokumentasi, dari asal kata dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan teknik dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.
Oleh karena dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika maka peneliti menggunakan teknik dokumentasi dan tes dalam pengumpulan datanya.
1.      Teknik Tes
Menurut Amir daren Indrakusuma (Suharsimi Arikunto) menyatakan bahwa “Tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan tepat dan cepat” (2001 : 32). Juga Muchtar Bukhori (Suharsimi Arikunto) menyatakan bahwa “Tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada seseorang murid atau kelompok murid”(2001 : 32).
Dengan pengertian di atas maka tes mempunyai fungsi ganda yaitu untuk mengukur siswa dan untuk mengukur keberhasilan program pengajaran.
Sehubungan dengan pengertian dan fungsi tes, dan sebagaimana rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini, maka data yang dikumpulkan dari tes yang diberikan sebelum (Pre Test) dan sesudah (Post Test) perlakuan yaitu pemberian model pembelajaran terarah dengan media puzzle pada kelompok eksperimen dan tanpa perlakuan sebagai kelompok kontrol.
2.      Dokumentasi
Sesuai dengan pengertian di atas, dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan dokumen nilai Tes parallel Semester I kelas III tahun akademik 2010/2011 di SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta dan dokumen Nilai Ulangan Harian Kelas III Semester II bulan pertama mata pelajaran matematika, sehingga dapat diketahui anak yang memiliki nilai di bawah rata-rata kelas.
3.      Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes prestasi (achievement test). Menurut Suharsimi Arikunto (1997) bahwa “Test prestasi (achievement test) adalah tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu” (h. 140).

a.      Data Tes
Tes sebagai pengumpul data yang dibedakan menjadi dua yaitu tes baku dan tes buatan guru, tes prestasi dalam penelitian ini termasuk buatan guru karena item-item tes dibuat sendiri oleh peneliti yang berfungsi untuk menilai kemajuan siswa dalam hal pencapaian hal yang dipelajari.
Menurut Suharsimi Arikunto bahwa “Tes dibedakan atas dua bentuk tes yaitu tes subjektif dan tes objektif” (2001 : 162).
1)   Tes Subjektif
Pada umumnya tes subjektif berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Ciri-ciri pertanyaannya didahului dengan kata-kata seperti : uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan sebagainya.
2)   Tes Objektif
Tes objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.
Syarat tes yang baik :
Tes yang akan digunakan dalam penelitian harus memenuhi syarat tes yang baik. Menurut Suharsimi Arikunto (2001 : 57). “Tes yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut : tes harus valid, reliable, distandarisasikan, objektif, dan harus mudah digunakan”.
Dalam penelitian ini, tes yang akan digunakan akan diuji validitas dan reliabilitasnya.


1)      Tes harus valid
Tes harus valid artinya tes yang dibuat hendaknya dapat mengukur apa yang hendak diukur. Tes yang disusun harus sesuai dengan materi yang pernah diajarkan. Adapun uji validitas yang digunakan adalah uji validitas internal, yaitu dengan mengkorelasikan masing-masing batas soal dengan nilai total item tes.
2)      Tes harus reliable
Tes harus reliable artinya, bahwa tes itu harus dapat memperoleh hasil atau nilai-nilai yang sama meskipun diberikan berulang kali. Dengan kata lain dapat selalu menunjukkan hasil konstan atau sama. Reliabilitas dapat menggunakan teknik : korelasi internal atau teknik ulangan, teknik parallel, dan teknik belah dua.
b.      Bentuk Tes yang Dipakai
Bentuk tes dalam penelitian ini adalah tes objektif. Tes objektif adalah suatu tes yang jawabannya sudah pasti. Maka penilaiannya tidak dipengaruhi oleh penyusun tes atau tester. Jadi objektivitas dalam penilaiannya lebih besar dari pada subjektivitas penilaian.
1)      Ciri-ciri tes objektif
a)      Tugas yang akan dilaksanakan oleh siswa sudah jelas
b)      Mencakup jumlah pertanyaan yang cukup banyak
c)      Siswa tidak menggunakan keterampilan dalam memilih serta menggunakan kata-kata untuk menyusun kalimat jawaban
d)     Jawaban untuk tiap pertanyaan sudah dinyatakan pasti benar atau salah
e)      Nilai yang diberikan bersifat objektif.

2)      Bentuk-bentuk tes objektif
a)      Tes benar salah
b)      Tes pilihan ganda
c)      Tes menjodohkan
d)     Tes isian atau melengkapi
e)      Tes jawaban singkat
3)      Kelemahan atau kekurangan tes objektif
a)      Penyusunan soal lebih sukar
b)      Memungkinkan tester menjawab secara spekulatif.
  Adapun jenis tes objektif yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tes pilihan ganda dan tes isian dengan jumlah total 30.
c.       Kisi-kisi Tes
Penyusunan kisi-kisi merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam setiap penyusunan tes. Menurut Sjafioden “Kisi-kisi adalah suatu pedoman yang memuat secara lengkap kriteria (rambu-rambu) dari soal-soal yang akan disusun dalam tes” (1994 : 88).
Adapun konsep prestasi adalah materi pelajaran matematika kelas III semester 1 yang terjabar dalam pokok bahasan terwakili dalam item-item tes sebagai alat ukur.
d.      Item Tes
Penyusunan item-item sebagai alat ukur berdasarkan pada kisi-kisi yang telah dibuat.
e.       Pedoman Penilaian
Menurut Noehi Nasution (1999) bahwa “Butir soal bentuk objektif dapat diperiksa dengan mudah, cepat dan hasil penilaiannya objektif”(h. 22).
Adapun cara mengolah skor dihitung S = R artinya skor terakhir dihitung jawaban yang benar saja (Suharsimi Arikunto, 2001 : 175).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis tes objektif, karena dengan tes tersebut sifat objektifitasnya lebih besar dalam menentukan hasil pengujian keberhasilan belajar siswa. Ditambah lagi norma penilaiannya sudah jelas. Adapun jenis tes objektif yang digunakan antara lain tes pilihan ganda dan tes isian dengan jumlah total 30.
f.       Ujicoba Tes
Untuk mengetahui valid atau tidaknya suatu tes, dan reliable tidaknya tes tersebut, maka tes yang disusun harus diujicobakan lebih dahulu kepada siswa lain. Dalam penelitian ini try out dilaksanakan pada siswa-siswi kelas III SD Negeri Mangkubumen no. 16 Surakarta diambil 5 siswa tiap kelasnya dari 2 kelas (III A dan III B) yang berkesulitan belajar di tiap kelas jadi jumlah siswa-siswi sebanyak 10 siswa. Siswa yang diambil menjadi sampel uji validitas instrument test di kelas tersebut memiliki kesamaan dalam prestasinya.
1)      Uji Validitas
Untuk mengetahui validitas suatu tes, maka hasil dari try out dengan menggunakan teknik statistik korelasi dengan rumus korelasi product moment dengan angka kasar, seperti yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2006 : 170) sebagai berikut :
=
Keterangan :
          koefisien korelasi antara variabel X dengan variabel Y
N  =           jumlah subjek yang diteliti
X  =           kelompok item tiap nomor
Y  =           kelompok item skor keseluruhan item

2)      Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui apakah tes yang disusun mempunyai sifat reliable atau tidak, maka data hasil tes tersebut diolah dengan korelasi product moment dengan rumus Spearman Brown, seperti dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2006 : 180) sebagai berikut :
Keterangan :
        =   reabilitas instrument
     =     yang disebutkan sebagai indeks korelasi antara dua belahan  instrument
X         =    item ganjil
Y         =    item genap
E.     Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pola eksperimen Simple Randomized Design atau disingkat Pola-pola S-R, bertitik tolak dari landasan simple random sampling :dari suatu populasi yang terbatas atau dari sub-populasi secara langsung ditugaskan subyek-subyek ke dalam kelompok eksperimen (K.E.). dan kelompok kontrol (K.K.) secara ramdom. Sampel-sampel yang diperoleh dengan sampling semacam ini disebut simple ramdom samples (Sutrisno Hadi, 1978:442)
Penelitian ini menghitung perbedaan prestasi belajar matematika anak berkesulitan belajar matematika yang mendapat perlakuan model pembelajaran terarah dengan media pembelajaran puzzle dengan anak yang tidak mendapat perlakuan model pembelajaran terarah dan media pembelajaran puzzle (model pembelajaran konvensional) pada siswa kelas III yang berkesulitan belajar di SD Negeri Mangkubumen Kidul No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011.
Untuk menguji hipotesis, maka data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik statistik perbedaan rata-rata dengan langkah sebagai berikut : setelah eksperimen selesai dilakukan, diadakan test akhir (post test) bagi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasilnya untuk mengetahui perbedaan antara hasil pre-test dengan post-test sekaligus untuk menguji hipotesis yang penulis ajukan.
Yang akan kita nilai nanti adalah perbedaan mean dan untuk menyelesaikan itu guna test signifikansinya peneliti memakai t-test untuk sampel terpisah (uncorrelated samples).
Data akhir analisis dengan menggunakan teknik statistik t-test. Adapun rumus t-test menurut Sutrisno Hadi (1978:443) sebagai berikut:
Untuk menggampangkan perhitungan rumus itu dapat juga dituliskan seperti tersebut dibawah ini :

Keterangan :
           : Mean dari K.E.
            : Mean dari K.K.
             : deviasi nilai-nilai individual
             : deviasi nilai-nilai individual
                        : jumlah subyek K.E.
                        : jumlah subyek K.K
Derajad kebebasan atau db untuk test signifikansi dalam t-test ini adalah (Na + Nb - 2) atau (10 + 10 -2) = 18. Agar signifikan atas dasar taraf signifikansi 5% maka nilai-t yang diperoleh itu harus sama atau melebihi ± 2,101. Bilangan ini dapat kita lihat pada tabel distribusi-t dalam kebanyakan buku-buku statistik ( Sutrisno Hadi, 1978 : 443 ).
Langkah-langkah pengujian sebagai berikut :
  1. Menyusun data dalam tabulasi
  2. Mencari , , ,  untuk kelopok eksperimen dan , , ,  untuk kelompok kotrol
  3. Memasukkan angka ke dalam rumus, akan ditemukan nilai-t
  4. Menentukan hipotesa penelitian
Menarik kesimpulan, membandingkan harga to dengan tt, dengan db 18 dan taraf signifikan 5%. Jika harga to > dari tt maka harga to signifikan, dan berbarti ada perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.


BAB IV
ANALISIS DATA
A.    Deskripsi Data
Data diperoleh dari siswa kelas III sebanyak 10 siswa sebagai kelompok eksperimen (K.E), dan 10 siswa sebagai kelompok pembanding atau kelompok kontrol (K.K), juga 10 siswa untuk uji coba soal-soal tes (try out).
1.      Try Out
Soal try out sebanyak 35 soal. 20 soal pilihan ganda, 15 soal isian. Hasil dari try out adalah untuk menguji validitas dan reliabilitas soal-soal tes untuk pre tes dan post tes. Data uji coba try out disajikan pada lampiran 8.
Hasil perhitungan validitas butir soal didapatkan 5 soal tidak valid yaitu nomor 5, 12, 19, 24, dan 31. Soal yang tidak valid tidak diikutkan dalam soal pre tes dan post tes. Jadi soal pre tes dan pos tes berjumlah sebanyak 30 soal. Data uji validitas butir soal try out disajikan pada tabel 9. Rangkuman hasil perhitungan validitas butir soal tes disajikan pada tabel lampiran 10.
Uji reliabilitas instrumen tes hanya pada soal yang valid dengan menggunakan rumus Spearman-Brown, cara yang dipakai yaitu membelah ganjil dan genap. Didapatkan hasil r11= 0,967, rt= 0,632, jadi r11 > rt. Maka dapat disimpulkan bahwa instrumen sudah memenuhi kriteria reliabel yang sangat tinggi (cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik). Penghitungan uji reliabilitas instrumen dapat dilihat di lampiran 11.


2.      Rerata Skor Matematika
Distribusi skor kemampuan awal pada K.E mempunyai rerata 44,5 sedang K.K mendapatkan rerata 45,5.
Setelah diberi perlakuan dengan model pembelajaran terarah bagi K.E mendapatkan rerata 71 dan pada K.K tidak diberi perlakuan atau pembelajaran secara konvensional mendapatkan rerata 60.
3.      Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Awal
Hasil pre test setelah dianalisis didapatkan nilai terendah 25 dan nilai tertinggi 60. Distribusi frekuensi skor kemampuan awal K.E disajikan pada tabel 2 dan distribusi skor kemampuan awal K.K disajikan pada tabel 3.
4.      Distribusi frekuensi Skor Kemampuan Akhir
Hasil post test setelah dianalisis didapatkan nilai terendah 45 dan nilai tertinggi 95 . Distribusi skor kemampuan akhir bagi K.E dan K.K berturut-turut disajikan pada tabel 4 dan tabel 5. Untuk memperjelas mengenai distribusi frekuensi skor tersebut disajikan dengan grafik histogram mulai dari tabel 2 sampai dengan tabel 5.









Tabel 2 : Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Awal Kelompok Eksperimen
Interval
F
cf dari bawah
cf dari atas
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
1
2
2
4
1
10
9
7
5
1
1
3
5
9
10
Jumlah
10



Dalam penelitian ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok eksperimen sebelum mendapat perlakuan sebagai berikut :
1.                  Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (60-69)    :   1  anak
2.                  Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak             (50-59)   :   4  anak
3.                  Anak yang mendapat skor cukup sebanyak             (40-49)   :   2  anak
4.                  Anak yang mendapat skor rendah sebanyak           (30-39)   :   2  anak
5.                  Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(20-29)   :   1  anak

Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :






Gambar 2. Grafik Skor Kemampuan Awal Kelompok Eksperimen
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Skoe Kemampuan Awal Kelompok Kontrol atau Kelompok Pembanding
Interval
F
cf dari bawah
cf dari atas
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
1
2
2
4
1
10
9
7
5
1
1
3
5
9
10
Jumlah
10



Dalam penelitian ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok kontrol sebelum mendapat perlakuan sebagai berikut :
1.                  Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (60-69)    :  1  anak
2.                  Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak            (50-59)    :   2 anak
3.                  Anak yang mendapat skor cukup sebanyak            (40-49)    :   2  anak
4.                  Anak yang mendapat skor rendah sebanyak          (30-39)    :   4  anak
5.                  Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(20-29)   :   1  anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :






Gambar 3. Grafik Skor Kemampuan Awal Kelompok Kontrol
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Akhir Kelompok Eksperimen
Interval
F
cf dari bawah
cf dari atas
50 – 59
60 – 69
70 – 79
80 – 89
90 – 99
1
3
3
2
1
10
9
6
3
1
1
4
7
9
10
Jumlah
10



Dalam penelitian ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok eksperimen setelah mendapat perlakuan (treatmen) yaitu pre test, proses belajar mengajar model terarah dengan media puzzle dan post test sebagai berikut :
1.                  Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (90-99)    :   1  anak
2.                  Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak            (80-89)    :   2  anak
3.                  Anak yang mendapat skor cukup sebanyak            (70-79)    :   3  anak
4.                  Anak yang mendapat skor rendah sebanyak          (60-69)    :   3  anak
5.                  Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(50-59)   :   1  anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :






Gambar 4. Grafik Skor Kemampuan Akhir Kelompok Eksperimen
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Akhir Kelompok Kontrol
Interval
F
cf dari bawah
cf dari atas
40 – 49
50 - 59
60 – 69
70 – 79
80 – 89
1
3
4
1
1
10
9
6
2
1
1
4
8
9
10
Jumlah
10



Dalam penelitian ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok kontrol setelah diberikan pembelajaran secara konvensional (ceramah) sebagai berikut :
1.                  Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (80-89)    :   1  anak
2.                  Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak             (70-79)   :   1  anak
3.                  Anak yang mendapat skor cukup sebanyak             (60-69)   :   4  anak
4.                  Anak yang mendapat skor rendah sebanyak           (50-59)   :   3  anak
5.                  Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(40-49)   :   1  anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :






Gambar 5. Grafik Skor Kemampuan Akhir Kelompok Kontrol

B.     Pengujian Persyaratan Analisis
Perhitungan Perbedaan Kemampuan Awal Mata Pelajaran Matematika antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol. Hasil perhitungan lihat tabel lampiran 13:
Nilai yang didapat dari hasil penelitian setelah dihitung, diperoleh sebagai data berikut :
Kelompok Eksperimen
Na        = 10
  = 445
 0 (bilangan konstan)
= 1222,5
Kelompok Kontrol
Nb        = 10
  = 455
 0 (bilangan konstan)
= 1172,5

Dengan memasukkan angka-angka itu ke dalam rumus t-test, maka nilai-t yang diperoleh =  0,194
      Dengan cara seperti tersebut di bawah ini :
   =
  =
Berdasarkan analisis data menurut Sutrisno Hadi (1978:443) diperoleh kenyataan bahwa dengan derajat kebebasan atau db untuk test signifikansi dalam t-test ini adalah (Na + Nb - 2) atau (10 + 10 - 2) = 18 dan taraf signifikansi 5% kritik tabel = 2101, maka t0 : tt = ±0,194 : 2101jadi ±0,194 < 2101. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak. Oleh karena itu tidak ada perbedaan secara signifikan kemampuan awal prestasi belajar mata pelajaran matematika antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
C.    Pengujian Hipotesis
Dasar penelitian ini data yang dianalisis adalah data kuantitatif yang berupa skor bidang studi matematika yang diperoleh dari hasil post test KE dan KK. Dalam penelitian ini untuk menguji apakah pernyataan yang dikemukakan dalam perumusan hipotesis dapat diterima atau ditolak dengan menggunakan rumus t-test untuk sampel terpisah (uncorrelated samples).
Perhitungan nilai dapat dilihat pada lampiran 14.
Nilai-nilai yang didapat dari hasil penelitian setelah dihitung diperoleh sebagai berikut :
Kelompok Eksperimen
Na        = 10
  = 710
 0 (bilangan konstan)
= 1390
Kelompok Kontrol
Nb        = 10
  = 600
 0 (bilangan konstan)
= 1000

Angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus t-test sebagai berikut :
   =
  =
Interprestasi dari hasil analisis yang telah disajikan di atas menunjukkan bahwa angka terakhir uji signifikansi perbedaan mean dengan rumus t-test pada model pembelajaran terarah dengan media puzzle, pada taraf signifikansi 5% dan derajat kebebasan (db) = 18.
Dari data yang telah disajikan diketahui harga tt = 2,101, sedang harga t0 sebesar = 2,136 telah signifikansi karena harga t0 > tt.
Dari hasil analisis t-test dapat ditarik kesimpulan bahwa pada taraf signifikan 5%, diperoleh hasil t0 > tt. Berarti hipotesis yang menyatakan ”Ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011” diterima, walaupun selisih antara t0 dan tt sedikit.
D.    Pembahasan Hasil Analisis Data
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1.      Luar
a.       Lingkungan    
1)      Alam
2)      Sosial
b.      Instrumental
1)      Kurikulum/ bahan pengajaran
2)      Guru/ pengajar
3)      Sarana dan fasilitas
4)      Administrasi/ Managemen
2.      Dalam
a.       Fisiologi
1)      Kondisi Fisik
2)      Kondisi Panca Indera
b.      Psikologi
1)      Bakat
2)      Minat
3)      Kecerdasan
4)      Motivasi
5)      Kemampuan Kognitif
Model pembelajaran terarah dengan media puzzle termasuk instrumen input atau faktor-faktor yang sengaja dirancang dan dimanipulasikan yang merupakan faktor yang sangat penting pula dan paling menentukan bagaimana proses belajar mengajar itu akan terjadi di dalam diri peserta didik (Ngalim Purwanto, 1990: 107).
Dalam penelitian Atika Nur Jannah, 2008 yang berjudul PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN CROSSWORD PUZZLE TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI MINAT DAN AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP N I MOJOTENGAH WONOSOBO TAHUN AJARAN 2007/2008 membuktikan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran crossword puzzle, minat dan aktivitas belajar siswa berpengaruh terhadap hasil belajar siswa sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada pokok bahasan bilangan bulat(diakses http://etd.eprints.ums.ac.id/181/).
Berdasarkan pembahasan di atas dan hasil analisis data dengan taraf signifikansi 5%, t0 > tt. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti diterima kebenarannya. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011. Sehingga model pembelajaran terarah dengan media puzzle merupakan salah satu usaha dalam rangka meningkatkan prestasi belajar anak yang mengalami kesulitan belajar matematika.







BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A.    Simpulan Penelitian
Dari hasil analisis data dengan menggunakan rumus t-test mendapat nilai yang diperoleh t0 sebesar 2136  sedangkan tt dengan db = 18 dan taraf signifikansi 5% adalah 2101.
Dengan demikian nilai t0 > tt atau t0 lebih besar dari tt sehingga yang menyatakan ” Ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011” teruji kebenarannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setelah siswa mendapat pembelajaran terarah dengan media puzzle prestasi belajar matematika lebih meningkat daripada pembelajaran konvensional (ceramah). Hal ini dapat dilihat dari hasil nilai pre test dan nilai post test kelompok eksperimen (K.E) dan kelompok kontrol (K.K). Adapun nilai rerata pre test K.E 44,5 sedangkan K.K 45,5 dan nilai rerata post-test K.E 71 sedangkan K.K 60 . Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan diberikannya model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011.



B.     Implikasi Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak yang mengalami kesulitan belajar matematika.
Dalam ranah yang lebih luas, bahwa model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat digunakan oleh para guru kelas di sekolah dasar pada berbagai bidang studi.
C.    Saran
Dari hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut :
1.      Dalam rangka mengidentifikasi anak yang mengalami kesulitan belajar matematika, pihak sekolah hendaknya bekerja sama dengan tim ahli atau psikolog untuk mengadakan tes intelegensi.
2.      Kepala Sekolah hendaknya memberikan solusi yang tepat kepada guru dalam mengatasi kesulitan anak yang berkesulitan belajar matematika misalnya dengan memberikan bimbingan khusus secara individual atau kelompok.
3.      Guru kelas hendaknya selalu memperhatikan kondisi proses belajar pada siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika dan berupaya untuk mengatasi kesulitannya dengan strategi belajar yang tepat serta media belajar yang mendukung. Salah satunya pembelajaran terarah dengan media puzzle.
4.      Dalam menangani anak yang berkesulitan belajar matematika dan agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal hendaknya orang tua selalu aktif untuk bekerja sama dengan pihak sekolah.