Selasa, 07 Januari 2014

Memaknai Toilet

Memaknai Toilet

22 Juli 2013, di Hotel Sultan, Jakarta. Pihak dari World Toilet Organization (WTO) dengan Asosiasi Toilet Indonesia (ATI), yang didukung penuh oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemerintah Kota Solo mengadakan konferensi pers tentang rencana digelarnya World Toilet Summit 2013 di Solo, Jawa tengah, tepatnya di Hotel Sunan pada 2 Oktober-4 Oktober 2013.
Dipilihnya Solo sebagai tuan rumah, karena kota tersebut dinilai sebagai kota yang paling aktif dalam merespons dan menggiatkan isu-isu sanitasi. “Solo memiliki banyak proyek sanitasi berbasis masyarakat (sanimas). Hal ini yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa dipilih Solo,” ujar Naning (Solopos, 24 Juli 2013).
Rencana World Toilet Summit 2013 itu sendiri membuktikan bahwa toilet memiliki makna dan nilai penting dalam kehidupan yang begitu kompleks. Namun, kebermaknaan dan pentingnya toilet—baik itu, sering kita sebut sebagai tinja, tempat buang hajat, jamban, kakus, ataupun WC—tak sekadar hanya diketahui dan dipahami dari sisi kebersihan, kesehatan, serta sanitasinya saja. Toilet mengandung kompleksitas makna dan nilai kehidupan meliputi politik, sejarah, sosial, dan budaya.
Elias Canetti, pemenang Nobel Sastra 1981, asal Bulgaria pernah mengungkit tentang tinja (toilet). Dalam esainya berjudul Masse und Macht, Canetti memaparkan bahwa tempat buang hajat tersebut mengandung seluruh kesalahan manusia. Dimana, hal itu, memberi kesadaran bagi kita bahwa toilet bukan saja mengandung makna sempit, yang selama ini dipersepsikan oleh sebagian besar publik. 
Adapun dari sebuah artikel yang tersaji dalam majalah Ekspresi edisi 22, tahun XVII Oktober 2009, riwayat toilet telah menjadi riwayat yang telah berakar pada era Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1630. Pada masa tersebut, mereka masih menyebutnya sebagai tinja. Dan, bagi masyarakat Hindia Belanda, ternyata tinja telah menjadi problem serius.
Saat itu, Batavia mengadopsi dari Amsterdam untuk membuat tinja. Modelnya, yakni tersedia tong berisi air dan semacam kursi yang dilubangi di tengahnya sebagai penampung tinja. Lalu, saat pembuangan tinja pun ada aturannya. Tinja yang sudah terkumpul, baru akan dibuang ke kanal atau sungai setelah melewati jam sembilan malam. Namun, pada peristiwa itulah, ada masalah bagi mereka, yakni tinja yang dibuang tersebut mengancam kesehatan masyarakat Hindia Belanda.
Dari peristiwa itu, pemerintah Hindia Belanda melakukan penanggulangan dengan memperkenalkan jamban jongkok. Namun, lambat laun, permasalahan buang hajat membesar ke sisi kesehatan dan ekologi. Tempat buang hajat telah menjadi simbol diskriminasi antara kaum modernis Eropa dengan kaum pribumi. 
Lalu, dalam majalah Soeloeh Indonesia edisi 1927 disebutkan, diskriminasi telah terjadi pada hak penggunaan fasilitas jamban. “Banyak kantor di Batavia pada periode tersebut, memajang petunjuk bertuliskan: 1. Pimpinan; 2. Staf (kulit putih); 3. Orang Asia; 4. Juru tulis dan orang-orang lain di pintu-pintu menuju jamban.”
Peristiwa buang hajat pada tempatnya, telah memudarkan riwayat masyarakat pribumi. Perubahan yang dikarenakan oleh skala waktu dan melibatkan perubahan ruang beserta masyarakatnya menjadi indikasi teraliensinya pola struktur sosial-kultur masyarakat pribumi. Bahkan, entah itu disadari atau tidak, proyek pembuatan tempat untuk buang hajat oleh pihak Belanda merupakan bagian alat mengintervensi, politisasi, dan penyusupan pemikiran uerosentrisme lewat model ruang. 
Potret buram bangsa saat itu telah bermula dari tempat buang hajat. Barangkali, kondisi ini juga yang menjadi kesadaran sekaligus resistensi tokoh bangsa kita terhadap kolonial, yakni Soekarno. Buku berjudul Bung Karno: Siapa yang Punya (1978) garapan Andjar Any bisa menjadi tarikan reflektif sejarah kita terhadap tempat buang hajat. Dalam buku tersebut ada sebuah riwayat yang mengisahkan Bung Karno saat buang hajat di tempat penjara kolonial. 
Bung Karno memiliki kebiasaan membuang hajat di sebuah pispot yang ada di penjara, dilakukan pada siang hari. Namun, saat sore hari, ia membersihkan pispot itu, kemudian pada senja hari, “naiklah derajat sang pispot.” Bung Karno memulai kegiatan menulisnya beralaskan meja darurat alias pispot. Ia pun menulis dengan tujuan untuk melakukan pembelaan bahkan pemberontakan pada kolonial. Dari sekilas riwayat ini, bisa menjadi penghantar kita bahwa dari pispot Soekarno mampu mengamuk dan menghantam dinding-dinding kolonialisme. Jadilah satire politik yang keras bagi pemerintah kolonial. Ini pula yang membuktikan bahwa sejarah dan pembentuk identitas Indonesia berawal mula dari tempat buang hajat.
Dari semua itulah, kita bisa membaca lebih lanjut bahwa kini, tempat buang hajat tak seperti dulu lagi. Jamban atau tinja konvensional telah terganti dengan nama ‘toilet’. Dimana, secara tidak disadari, kita hanya mengetahui dan memahami toilet sebagai ruang, yang diisi dengan sikat gigi, sabun, shampoo, pembersih kamar mandi, pispot, dan dilapisi keramik-keramik. Taburan barang komersil dan bermerk tersedia dan menempel dalam ruangan itu. Bahkan, tempat buang hajat itu sekarang, ada yang telah disulap sebagai restoran. Ruang yang secara pragmatis dapat membuat hati pengunjung nyaman, betah, dan rileks, kemudian menyamankan lidah dan perut dengan berbagai ragam makanan dan pemandangan. 
Makna tempat buang hajat pun terus mengalami penyempitan, pergeseran, sampai dengan penghancuran. Dimana, Seno Gumiro Ajidarma (2008), mengungkapkan penghancuran “esensi” toilet itu disebabkan oleh imajinasi dan duit [uang]. Pandangan ini mengindikasikan bahwa kapitalisme, hedonisme, dan modernitas telah menjadi pernak-pernik kita dalam ruang yang dianggap sebagai “pembersihan diri”. Maka, di situ pula sebenarnya kita juga mengonsumsi pemikiran sekaligus migrasi imajinasi, yang konsekuensinya mempengaruhi identitas dan sejarah politik kita.
Maka, agar tak jadi pembangkrutan makna dan nilai kehidupan yang direpresentasikan lewat toilet, realitas sejarah dan sosial tersebut perlu menjadi tanda tanya sekaligus tanda seru bagi kita semua, terutama di saat Solo memiliki hajatan internasional, yang akan membahas tempat buang hajat [toilet]. Sebab pula, [per]ingatan dan permasalahan itulah, yang pada nantinya turut mempengaruhi dan memainkan peran penting serta berkontribusi besar dalam kemajuan peradaban sosial, budaya, sejarah, dan politik Indonesia—tak hanya di Solo saja.


Oleh: Budiawan Dwi Santoso, alumnus Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UMS.

Minggu, 05 Januari 2014

Prosedur penulisan laporan

Bisa didownload disini.

Semoga bermanfaat :-) .. Kalau ada pertanyaan  hubungi bu ervina atau diskusiksn dengan teman dahulu. Sehingga hasil laporan bisa maksimal dan menjadi rujukan materi hal pendidikan dan kebudayaan. Aamiin.. Salam hangat dr bu ervina.

Sabtu, 04 Januari 2014

Outing Class Pendidikan Kebudayaan Daerah oleh Mahasiswa PGSD FKIP UMS


Outing Class ke Museum Keraton Surakarta
Pendidikan Kebudayaan Daerah oleh Mahasiswa PGSD FKIP UMS

 Kegiatan Outing class yang sudah direncanakan awal semester gasal lalu, terealisasi juga pada hari Minggu tanggal 5 Januari 2013. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian pembelajaran pada perkuliahan Pendidikan Kebudayaan Daerah (PKD) mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP UMS. Setelah pembelajaran teori selesai maka yang dibutuhkan adalah pembelajaran realistik, menghadapi objek kebudayaan secara langsung. Para mahasiswa dan dosen pengampu pada saat itu bersepakat untuk mempelajari budaya daerah sekitar Surakarta terlebih dahulu dan nemutuskan Museum Kraton Suaka Budaya Surakarta menjadi objek belajarnya.   
Sebelum acara inti ada pembukaan secara simbolik oleh GPH Puger, BA atau biasa dipanggil Gusti Puger oleh para abdi dalem, berupa penyerahan samir (selendang yang dipakai di leher berwarna kuning dan merah) sebagai tanda bahwa tamu sudah diijinkan untuk berkunjung ke dalam wilayah museum kraton Surakarta serta untuk menjaga hati dan dipercayai sebagai penolak bala. Kegiatan inti yang dilakukan mahasiswa pada saat outing class ada dua. Pertama, beruntung sekali rombongan mendapat kesempatan kuliah umum bersama Gusti Puger. Beliau merupakan pemimpin pariwisata Kraton Surakarta dan merupakan anak ke enam dari PB XII. Dalam perkuliahannya beliau memberikan banyak ilmu dan wejangan baik berkenaan dengan latar belakang kekuasaan di kraton Solo yang merupakan kelanjutan dari keraton Kartasura oleh perintah PB II  dan berdirinya Museum Suaka Budaya Surakarta sejak tahun 1963 karena adanya konferensi Pariwisata pertama di Indonesia oleh bu Hartini, istri presiden Soeharto. Keberadaan museum Surakarta pada saat itu dapat dijadikan tontonan peserta konferensi, pelestarian budaya keraton Surakarta serta sebagai ladang penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya wilayah Keraton.
Kegiatan kedua yaitu observasi isi dalam museum keraton. Kita dapat melihat beragam peninggalan  sejarah keraton di sekeliling museum. Bila ingin mengunjungi museum keraton ini, pengunjung harus mematuhi berbagai peraturan seperti tidak memakai sandal, topi, kacamata hitam, celana pendek, serta jaket. Bila sudah terlanjur bercelana pendek dapat meminjam kain bawahan untuk digunakan selama mengelilingi kawasan museum keraton. Dalam museum pengunjung dapat menyaksikan benda-benda peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta dan beberapa fragmen candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Koleksinya antara lain alat masak abdi dalem, senjata-senjata kuno yang digunakan keluarga kerajaan, juga peralatan kesenian. Koleksi menarik lain adalah kereta kencana, topi kebesaran Paku Buwana VI, Paku Buwana VII, Paku Buwana X, serta relief tradisi kehidupan dalam kraton Surakarta.
Kegiatan penutup yaitu pembuatan laporan outing class dan artikel terkait. Dengan adanya kegiatan seperti ini diharap mampu membuka hati dan pikiran para mahasiswa sebagai generasi penerus kebudayaan yang mempunyai nilai luhur dan merupakan cirikhas masyarakat Indonesia. Pesan dari Gusti Puger bahwa kebudayaan dan nilai-nilai agama itu harus selalu beriringan sehingga kehidupan yang tenteram baik dalam maupun luar keraton dapat terwujud.