Prof. Zamroni, Ph.D, 2013-11-07
Perubahan masyarakat berlangsung dengan
cepat, yang membawa perubahan pendidikan. Sebaliknya, perkembangan
pendidikan akan membawa perubahan pada kehidupan masyarakat.
Tarik-menarik dan dorong-mendorong antara keduanya menjadikan perubahan
masyarakat berlangsung semakin cepat. Begitu cepat perubahan
berlangsung, menyebabkan warga masyarakat tidak sadar bahwa merekapun
mengalami perubahan.
Demikian pernyataan awal Prof. Zamroni,
Ph.D., guru besar Fakultas Ekonomi UNY dalam Orasi Ilmiah Dies Natalis
ke-63 Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY di ruang sidang Abdullah Sigit
FIP UNY. Selanjutnya, mantan Direktur Pembinaan SMA Departemen
Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pendidikan tidak mungkin bisa
dipisahkan dari kebudayaan karena pada hakikatnya pendidikan adalah
proses pembudayaan. Sultan Hamengku Buwono X, sebagaimana dikatakan Prof
Zamroni, dengan lugas memperingatkan, “Pendidikan yang tidak didasari
oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan
masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan
budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam masyarakat.”
Dihadapan sivitas akademikia FIP dan
undangan lainnya, pakar pendidikan ini memaparkan perkembangan dunia
pendidikan Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan dunia pendidikan di
Amerika Serikat. Sekolah-sekolah di Indonesia yang mendasarakan
kebangsaan atau kebudayaan, seperti sekolah Taman Siswa, mengalami nasib
yang sama dengan sekolah-sekolah agama. Prinsip-prinsip dasar dimana
sekolah didirikan juga tergerus oleh tuntutan modernitas. Alhasil,
perkembangan dunia pendidikan, lebih tepatnya dunia sekolah membawa dua
problem utama. Pertama, terjadi proses industrialisasi sekolah
yang memiliki watak liberalistis dan kapitalistis. Akibatnya, jiwa
pendidikan tergusur oleh perhitungan-perhitungan dan kepentingan
ekonomi. Kedua, sekolah telah menghasilkan lulusan yang
tercabut dari akar budaya. Karena sekolah menawarkan budaya urban, maka
lulusan sekolah berbudaya urban tidak betah tinggal di desa, maka
berbondong para generasi muda terdidik bermigrasi ke kota-kota.
Pernyataan indah “Think globally, act locally” hanya jadi mitos. Realitas adalah “think globally, act globally as well”.
Oleh karena itu, lanjutnya, dibutuhkan
strategi khusus pendidikan berbasis budaya lokal sehingga di tengah
tuntutan zaman, wajah pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari jati
diri bangsanya. Bangsa Indonesia telah memiliki common values, beliefs, attitudes dan norms yang telah digagas dan diwariskan oleh para foundings father,
yakni Pancasila. Pendidikan berbasis budaya berarti pendidikan berbasis
budaya yang berakar pada Pancasila. Nafas dan dinamika pendidikan mesti
didasari oleh values, beliefs, norms dan attitudes
yang ditumbuh-kembangkan dari Pancasila. Semuanya itu akan terefleksikan
pada visi, misi, nilai-nilai, orientasi dan strategi serta kebijakan
pendidikan nasional yang menjadi pedoman bagi praktik pendidikan di
tanah air.
Berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila,
Presiden pertama Indonesia, Bung Karno penggali Pancasila suatu ketika
pernah menyatakan bahwa Pancasila manakala diperas tuntas bisa berujud
Eka Sila, yakni Gotong Royong. Politik bangsa dan negara waktu itu
tengah berada pada situasi dan kondisi konfrontasi antara kekuatan
komunis atheist dengan kekuatan agamis. Dari kalangan agamis
keberatan dengan gagasan Bung Karno tersebut, karena memeras Ketuhanan
Yang Maha Esa dimasukan menjadi bagian bagian gotong royong, karena
dianggap sebagai langkah menyingkirkan agama dari kehidupan bernegara,
sebagaimana dituntut oleh kaum komunis.
Namun kalau dikaji dan direnungkan
secara secara jernih lagi mendalam, gagasan Bung Karno tidaklah salah.
Bukankah gotong royong bekerjasama untuk kebaikan merupakan perintah
semua agama? Bukankah untuk bisa gotong royong yang hakiki memerlukan
kemanusian, dimana kehormatan dan martabat manusia mendapatkan
penghargaan dan tempat yang tinggi? Bukankah gotong-royang yang hakiki
akan terlaksana manakala setiap warga memiliki kebebasan? Bukankah
gotong royong yang hakiki hanya akan terlaksana manakala warga memiliki
semangat dan kemauan untuk bersatu padu? Bukankah gotong royong yang
hakiki hanya akanberlangsung manakala terdapat keadilan?
Oleh karenanya, mantan Direktur
Profesi Pendidik Ditjen PMPTK, Kemdiknas, sepakat dengan gagasan Bung
Karno, namun, Prof. Zamroni tetap memisahkan agama dari Gotong Royong.
Bahwa dari Pancasila dapat dikembangkan dua pilar budaya, yang merupakan
dimana sistem dan praktik pendidikan Indonesia diselenggarakan. Dengan
demikian pendidikan berbasis budaya merupakan suatu sistem dan praktik
pendidikan yang berdasarkan Pancasila, yang menumbuhkan dua pilar
budaya, yakni Theo-centris dan Gotong Royong, dengan tujuan
jangka panjang untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Untuk mewujudkan gagasan-gagasan besar
di atas, dibutuhkan strategi dalam pendidikan, salah satunya adalah
melalui konsep pendidikan populis berbasis budaya. Pendidikan populis
merupakan pendidikan yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan dalam
kehidupan sekolah dan proses pembelajaran, yang dilaksanakan dengan
suasana kepengasuhan. Keadilan dan kesetaraan merupakan kondisi mutlak
yang diperlukan untuk mewujudkan prestasi ekselens untuk semuanya.
Ekselensi tidak sekedar diukur dengan standar seberapa jauh materi yang
disajikan di kelas sudah dikuasai oleh peserta didik, melainkan juga
perlu dievaluasi bagaimana manfaat keberadaan siswa dengan penguasaan
ilmu terhadap orang lain. Lebih jauh lagi perlu juga dievaluasi seberapa
jauh hasil pendidikan telah berdasarkan nilai-nilai kebudayaan
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sehingga pencapaian tujuan
pendidikan bukan menjadi hal yang sukar. (ld/pewara dinamika).