Wilayah
Wayang dan Non-Wayang
Dari
pengalaman berkeliling ke pesantren-pesantren di Yogyakarta dan luar Yogyakarta
jarang bahkan tidak pernah menggunakan referensi wayang dalam percakapan.
Demikian juga di desa-desa yang kesenian rakyatnya masih sangat kuat, masih
merupakan bagian dari ritual masyarakat.
Khususnya
ritual masyarakat yang tradisi santrinya masih kental. Mereka juga tidak pernah
mempercakapkan tentang wayang, tidak pernah menggelar pertunjukan wayang. Cabang
seni yang mereka geluti mengasyikkan dan memuaskan secara spiritual dan kultural.
Jadi
sesungguhnya di dalam masyarakat selama ini memang ada wilayah budaya wayang,
tetapi juga ada wilayah budaya non-wayang. Biasanya wilayah budaya wayang ini
secara optimal memiliki pusat-pusat produksi dan reproduksi symbol-simbol
wayang dalam arti sangat aktif. Memiliki aktor-aktor pendukung pertunjukan
wayang. Mulai dari dalang, niyaga atau penabuh gamelan, sinden, pengukir atau penyungging
wayang, sampai para pembuat gamelan dan pembuat kostum (untuk wayang uwong atau
sendratari yang menggunakan bahan olahan cerita wayang) misalnya. Ditambah para
pendidik atau guru yang mengajarkan berbagai ketrampilan mengenai pewayangan.
Secara minimal, wilayah wayang ini memiliki penonton yang potensial. Mereka terdiri
dari para priyayi yang terbiasa berpikir, bersikap dan bertindak secara
hierarkhis. Ditambah para pembantu priyayi, para tetangga dengan berbagai macam
profesi. Dan masyarakat yang secara turun-temurun sudah menjadi penonton
wayang.
Sedang
wilayah budaya non-wayang merupakan wilayah budaya alternatif. Secara optimal
wilayah ini juga memiliki pusat-pusat produksi dan reproduksi symbol-simbol
non-wayang dalam arti sangat aktif. Mereka juga memiliki aktor-aktor pendukung
pertunjukan non-wayang. Mulai dari para kiai, para seniman di pesantren, para
tokoh atau penanggungjawab pertunjukan non-wayang atau semacam sutradara,
biduan, penabuh music jenis perkusi, sampai pada para pembuat alat-alat
kesenian non-wayang, pembuat konstum non-wayang. Ditambah dengan para pelatih,
para manajer group, pencipta lagu, jaringan studio rekaman, penjual kaset-kaset
lagu dengan tema non-wayang. Dan secara minimal wilayah budaya non-wayang ini
juga memiliki penonton dan konsumen yang potensial. Mereka terdiri dari tokoh
masyarakat, masyarakat petani, nelayan, pedagang, tukang cukur, penjahit,
tukang warung dan para santri yang dating dari luar kota dan luar desa.
Sayang
sekali penelitian tentang perbandingan wilayah budaya wayang dengan wilayah
budaya non-wayang ini belum pernah dikerjakan orang. Andaikata ada data dan
petanya maka sesungguhnya akan sangat berguna untuk memahami berbagai peristiwa
politik, budaya, ekonomi dan sosial yang berwajah konfliktual sekarang ini secara
lebih mudah. Ini akan membuktikan kalau jangan-jangan kita semua selama ini
terkecoh oleh mitos bahwa orang Jawa itu mesti paham wayang dan menjadikan
wayang sebagai sumber dan masuk dalam sistem referensi nilai masyarakatnya. Ternyata
mitos itu tidak benar. Sebab wilayah budaya non-wayang, untuk DIY, lebih-lebih
di Jateng dan Jatim serta Jabar misalnya, sepertinya lebih luas ketimbang
wilayah budaya wayang. Dan jika dari wilayah-wilayah budaya yang demikian lahir
para pemimpin masyarakat, para pemimpin politik, para pemimpin agama, para
tokoh-tokoh ekonomi dan para cendekiawan yang kritis maka sesungguhnya
wajar-wajar saja.
Sebab
mereka yang lahir di lingkungan budaya non-wayang ini sudah terbiasa hidup
dalam suasana egaliter, terbuka, pola hubungannya cenderung horisontal dan
mandiri, mereka tidak terbiasa berfikir, bersikap dan bertindak hierarkhis
ketat sebagaimana para priyayi dan orang kecil di sekitar priyayi Jawa itu. Kalau
ada hierarkhi itu terbatas pada bidang keilmuan dan lebih merupakan manifestasi
dari semangat penghormatan ketimbang ekspresi ketertaklukan.
Bersambung..
Daftar Pustaka:
Hasyim W.Mustofa.(2000).Jejak Luka Politik dan Budaya.Yogyakarta:LPSAS
PROSPEK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar