BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sumber
daya alam yang banyak dan melimpah pada suatu negara belum merupakan jaminan
bahwa negara tersebut akan makmur, bila pendidikan sumber daya manusianya
ditelantarkan. Suatu negara yang mempunyai sumber daya alam yang banyak, bila
tidak ditangani oleh sumber daya yang berkualitas, pada suatu waktu akan
mengalami kekecewaan. Sejarah membuktikan bahwa negara yang miskin dengan
sumber daya alam, tetapi kaya dengan sumber daya manusia yang berkualitas dapat
menjadi negara yang kaya, makmur dan kuat.
Upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan tugas besar dan berjangka
waktu panjang karena masalahnya menyangkut masalah pendidikan bangsa.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus melalui proses pendidikan yang
baik, terarah dan menyenangkan.
Pembangunan
pada dasarnya merupakan suatu proses pendidikan. Maka selayaknya dalam era
pembangunan suatu proses ini faktor pendidikan mendapatkan prioritas utama
dalam menyiapkan tenaga-tenaga pembangunan yang mandiri dan mampu
merealisasikan gagasan yang inovatif, kreatif, efektif dan efisien dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945 dan agama.
Pendidikan
dikatakan berhasil apabila dapat mewujudkan adanya perubahan tingkah laku anak
didik yang tercermin dalam pengetahuan, sikap, nilai dan sejenisnya. Menurut H.
Bambang Guritno (Inspirator No. 147/IV Agustus, 2002) bahwa :
Anak cerdas
merupakan hak setiap orang tua. Orang tua akan merasa puas bila melihat dan
menyaksikan prestasi anaknya semakin lama semakin meningkat. Pendidikan sebagai
salah satu upaya membentuk kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang potensial,
untuk itu pendidikan adalah menjadi tanggung jawab orang tua, warga belajar,
masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu semua unsur tersebut perlu saling kerjasama, dalam
mewujudkan impian orang tua.
Dengan impian orang tua
tersebut, sering terjadi hambatan dalam pelaksanaan pendidikan, karena kondisi,
latar belakang, dan kemampuan dasar anak sangatlah heterogen. Sehingga banyak
terjadi hambatan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Akibatnya prestasi
belajar anak rendah dan mengalami kesulitan belajar dalam mata pelajaran
tertentu maupun secara keseluruhan.
Pada umumnya kesulitan belajar
merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan dalam
kegiatan mencapai tujuan, dan akan mempengaruhi sikap dan perasaannya, sehingga
memerlukan upaya untuk mengatasinya.
Menurut Ngalim Purwanto, bahwa:
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dimungkinkan dalam
diri anak itu sendiri maupun dari luar. Adapun dalam diri anak sendiri bahwa
setiap anak memiliki karakteristik tertentu, baik fisiologis yaitu mengenai
kondisi fisik dan pancainderanya maupun psikologis yang menyangkut minat,
tingkat kecerdasan, bakat, motivasi dan kemampuan kognitifnya. Sedang dari luar
itu mengenai lingkungan alam dan lingkungan sosial, serta instrumental yaitu
kurikulum/ bahan pelajaran, guru, sarana dan fasilitas, pengelolaan kelas
(1990:107)
Menurut Munawir Yusuf
bahwa :
Di sekolah regular, anak yang berkesulitan belajar umumnya tidak terdeteksi
secara baik oleh guru. Mereka pada umumnya mempunyai prestasi belajar jauh di
bawah rata-rata kemampuan yang diharapkan. Biasanya guru hanya membuat kesimpulan
bahwa anak tersebut tidak pandai. Padahal bisa terjadi anak tersebut hanya
mengalami, dalam kemampuan satu akademik saja, misalnya matematika. Sedang
kemampuan membaca dan pemahamannya terhadap ilmu-ilmu yang lain tidak
bermasalah. Tetapi karena kesulitan matematika tidak ditangani, maka kemampuan
akademiknya yang lain menjadi ikut rendah yang ditandai dengan prestasi yang
rendah. Mereka berprestasi di bawah potensinya, kemungkinan yang terjadi adalah
anak tidak naik kelas atau bahkan menjadi “drop
out”. Dalam hal ini guru menghadapi anak sehari-hari di sekolah mengalami
kesulitan untuk menanganinya karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang
anak berkesulitan belajar. Mengingat bahwa jumlah anak yang berkesulitan
belajar cukup banyak, maka agar mereka tidak dirugikan perlu ditangani khusus
di sekolah regular (1997:1).
Layanan pendidikan khusus
terhadap anak yang berkesulitan belajar sudah sangat mendesak, karena merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari program wajib belajar 9 tahun, yaitu untuk
mengurangi besarnya angka mengulang kelas dan putus sekolah.
Usaha meningkatkan mutu
pendidikan melalui peningkatan kemampuan guru terus menerus dilakukan oleh
pemerintah. Pada hakikatnya professional seorang guru terletak pada
kemampuannya dalam mentransfer atau menyampaikan pelajaran secara mudah dan
menarik bagi siswa, sehingga siswa terus mempelajari pelajaran tersebut. Daya
tarik pelajaran karena cara mengajar guru itulah menjadi ciri profesional guru.
Dengan kata lain kemampuan professional tersebut diterapkan melalui kemampuan
guru dalam menggunakan model atau strategi pembelajaran di kelas.
Pendekatan keterampilan proses
telah dicantumkan dalam setiap rencana pelajaran yang disusun oleh guru. Namun dalam
pelaksanaannya tidak semua guru mampu mengoperasionalkan dengan benar. Hal ini
terkait dengan kemampuan guru dalam memahami model atau strategi pembelajaran.
Oleh karena itu guru perlu menerapkan berbagai model pembelajaran serta
motivasi untuk mengatasi anak yang prestasinya rendah.
Dengan
data nilai tes sumatif semester I kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16
Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011 sebagai berikut :
No
|
Nilai
|
PKn (%)
|
B.Indonesia (%)
|
Matematika (%)
|
1.
|
91 – 100
|
10,23%
|
2,04%
|
9,18%
|
2.
|
81 – 90
|
42,90%
|
40,82%
|
23,47%
|
3.
|
71 – 80
|
29,60%
|
37,75%
|
37,75%
|
4.
|
61 – 70
|
13,27%
|
16,33%
|
22,46%
|
5.
|
51 – 60
|
3,10%
|
3,06%
|
7,14%
|
6.
|
41 – 50
|
0,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
7.
|
31 – 40
|
0,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
8.
|
21 – 30
|
0,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
9.
|
11 – 20
|
0,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
10.
|
01 – 10
|
0,00%
|
0,00%
|
0,00%
|
|
|
100%
|
100%
|
100%
|
Tabel 1: Data
prosentase nilai tes sumatif kelas III semester 1
Berdasarkan
data di atas dapat disimpulkan bahwa anak yang mendapatkan nilai () atau kurang dari sama dengan 70 (lihat interval ke 4) untuk
PKn = 13,27%, Bahasa Indonesia = 16,33% dan Matematika = 22,46%. Dengan
demikian nilai kurang pada mata pelajaran Matematika merupakan prosentase yang
paling tinggi daripada prosentase mata pelajaran yang lain.
Dengan
memahami tentang kesulitan belajar, upaya bantuan yang dapat diberikan yaitu
pelayanan melalui model pembelajaran terarah dengan media puzzle bagi anak yang
berkesulitan belajar dan memiliki prestasi rendah yang terutama pada mata pelajaran matematika. Upaya
yang dilakukan merujuk pada berbagai pendapat para ahli matematika SD dalam
mengembangkan kreativitas dan kompetensi siswa, maka menyajikan pembelajaran
dengan efektif dan efisien serta menyenangkan, sesuai dengan kurikulum dan pola
pikir siswa. Dalam mengajarkan matematika, guru juga memahami bahwa kemampuan
setiap siswa berbeda-beda, serta tidak semua siswa menyenangi mata pelajaran
matematika. Model pembelajaran terarah juga menekankan konsep-konsep sesuai
dengan kurikulum dan untuk matematika SD dibagi menjadi tiga kelompok besar,
yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep, dan
pembinaan keterampilan (Heruman, 2007:2). Sehingga dapat membantu siswa dalam
upaya meningkatkan prestasi belajarnya. Hal ini dapat melalui penyembuhan dalam
aspek kepribadian atau dalam proses belajar mengajar. Dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa dibantu untuk memahami kesulitannya dan banyak diberi
latihan dengan bimbingan di dalam menghadapi materi pelajaran di sekolah serta
memberi motivasi. Di samping itu perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan,
sehingga dapat merangsang kreativitas anak dalam belajar dan anak dapat semakin
belajar dan anak dapat semakin berkembang serta hambatan yang dialami anak
berkurang dalam penelitian ini didukung dengan media puzle. Akhirnya anak dapat
mencapai tujuan yang optimal.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut di atas dapat penulis kemukakan identifikasi
masalah sebagai berikut:
1.
Untuk
meningkatkan mutu pendidikan faktor anak perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh
pada prestasi belajar anak
2.
Model
pembelajaran matematika yang konvensional kurang bisa mengena pada anak yang
mempunyai kesulitan belajar khususnya matematika, jadi nilai matematika anak
tetap rendah
3.
Anak yang
mengalami kesulitan belajar, khususnya matematika harus segera mendapat
perhatian dan pelayanan khusus
4.
Model
pembelajaran terarah diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika
pada anak yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika
5.
Media puzzle
dapat mempermudah dalam penyampaian materi, siswa diharapkan dapat lebih
memahami materi secara mendalam dan pembelajaran menjadi menyenangkan.
C.
Pembatasan Masalah
Agar
dapat mengungkapkan materi yang diteliti dan lebih terarah, maka masalah ini
peneliti memberi batasan sebagai berikut :
1.
Secara prestasi
belajar matematika adalah hasil belajar siswa yang ditunjukkan dalam nilai pre
test dan post test pada mata pelajaran matematika anak berkesulitan belajar.
2.
Model
pembelajaran terarah merupakan salah satu strategi pembelajaran pada anak
berkesulitan belajar dengan memberikan bimbingan khusus, terarah (penanaman
konsep, pemahaman konsep dasar, dan pembimbingan keterampilan), serta
terperinci agar anak dapat menyelesaikan tugas matematika mandiri (terjadi reinvention atau penemuan kembali)
dengan mengaitkan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang
diajarkan.
3.
Puzzle
matematika adalah salah satu media yang cocok dalam materi perkalian dan
pembagian bersusun dan pecahan.
4.
Anak
berkesulitan belajar adalah mereka yang mendapat suatu gangguan dalam satu atau
lebih dari proses psikologis yang mencakup perkalian, pembagian bersusun dan
pecahan. Sehingga mengalami kesulitan dalam belajar matematika.
5.
Subjek
penelitian anak kelas III SDN Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta yang berkesulitan belajar
matematika dalam mengerjakan perkalian dan pembagian bersusun yang berjumlah 30
orang.
6. Objek : Variabel bebas : Model pembelajaran terarah dengan
media
puzzle
Variabel
terikat : Prestasi belajar
matematika
D.
Rumusan Masalah
Kelas
yang heterogen terdiri dari siswa yang heterogen pula, baik kemampuan dasarnya
maupun hambatan-hambatan yang dihadapinya. Begitu juga guru kurang memahami
karakteristik masing-masing siswa akan kemampuan dasarnya dan kurang memahami
akan perannya dalam memberi pelayanan guru meningkatkan kualitas belajar.
Akibatnya prestasi belajar siswa semakin menurun dan siswa akan mengarah ke
perubahan tingkah laku karena kegagalannya. Oleh sebab itu peneliti mengajukan
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : Apakah ada pengaruh
model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar
matematika siswa berkesulitan belajar matematika pada siswa kelas III Sekolah
Dasar Negeri Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011.
E.
Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran terarah
dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa
berkesulitan belajar matematika pada siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri
Mangkubumen Kidul no. 16 Surakarta Tahun Pelajaran 2010/2011.
F.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Manfaat Praktis
Efektivitas
model pembelajaran terarah dengan media
puzzle ini dapat berguna bagi guru, orang tua, kepala sekolah maupun pengawas
Sekolah Dasar serta lembaga pendidikan, tenaga kependidikan. Jika model
pembelajaran terarah dapat mempengaruhi prestasi belajar model ini dapat
disebarluaskan pada pelayanan anak berkesulitan belajar di Sekolah Dasar sebagai
salah satu alternatif penanganan anak berkesulitan belajar. Media puzzle
membuat pembelajaran semakin menyenangkan karena membantu anak untuk yang belum bisa berfikir secara
abstraksi serta pengetahuan anak semakin mendalam dengan anak bisa melakukan
eksperimen. Penyebarluasan model pembelajaran terarah dan media puzzle ini
dapat dilaksanakan oleh guru kelas, kepala sekolah, maupun pengawas Sekolah Dasar.
2.
Manfaat Teoritis
a. Sebagai sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu
pengetahuan bagi guru SD, kepala sekolah, pengawas TK/SD, maupun lembaga
pendidikan.
b. Sebagai informasi dalam penelitian sejenis
berikitnya.
c. Sebagai sumbangan karya ilmiah bagi perkembangan
model pembelajaran matematika bagi anak berkesulitan belajar.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1.
Tinjauan tentang Prestasi Belajar Matematika
Dari judul tersebut di atas ada kelompok kata yang
perlu dibahas yaitu prestasi belajar dan belajar matematika. Oleh karena itu
akan dibahas secara berturut-turut prestasi belajar dan belajar matematika.
a.
Prestasi Belajar
Prestasi
belajar merupakan kelompok kata yang terdiri dari prestasi dan belajar. Oleh
karena itu untuk mengetahui arti prestasi belajar, perlu dibahas pengertian
belajar lebih dahulu.
1)
Belajar
Dari
para ahli dapat diketahui bahwa belajar mempunyai pengertian yang
bermacam-macam diantaranya :
a) Kimble dalam Gagerhann (Anton Sukarno) menjelaskan
bahwa “Learning is relatifly permanent change in behavioral, patentialy that
accours as result reinforce practice” (1994:13). Dari pengertian ini dapat
diketahui bahwa belajar itu (1) ditandai perubahan tingkah laku, (2) perubahan
itu secara relatif tetap, (3) perubahan itu merupakan hasil dari pengalaman dan
latihan, (4) latihan dan pengalaman itu harus diberi penguatan.
b) Morgan, dalam buku “Introduction to Psychology”
(Ngalim Purwanto “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam
tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”
(1990:84).
c) Winkel (1996) menyatakan bahwa “Belajar merupakan
suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
keterampilan dan nilai sikap yang relatif konstan dan berbekas”.
d) Witherington, dalam buku “Educational Psychology”
(Ngalim Purwanto) bahwa “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian
yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa
kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian” (1990:84).
Dari
definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar terdiri dari beberapa elemen
penting yang mencirikan pengertian tentang belajar, yaitu :
1) Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah
laku, di mana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik,
tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.
2) Belajar merupakan suatu peruahan yang terjadi
melalui latihan atau pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan
oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti
perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi.
3) Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu
harus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang
cukup panjang. Berapa lama periode waktu itu berlangsung sulit ditentukan
dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode
yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun.
Ini berarti kita harus menyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang
disebabkan oleh motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau
kepekaan seseorang yang biasanya hanya berlangsung sementara.
4) Tingkah laku yang mengalami perubahan kaarena
belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis,
seperti : perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah/berpikir,
keterampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
Good
dan Brophy dalam bukunya “Educational Psychology : A Realistic Approach”
(Ngalim Purwanto) mengemukakan arti belajar dengan kata yang singkat yaitu
“Learning is the development of new associations as a result of experience”.
Beranjak dari definisi yang dikemukakannya itu selanjutnya ia menjelaskan bahwa
“Belajar itu suatu proses yang benar-benar bersifat internal (a purely internal event). Belajar
merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata. Proses itu
terjadi di dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar” (1990:85).
Jadi
yang dimaksud dengan belajar menurut Good dan Brophy bukan tingkah laku yang nampak,
tetapi diri invidu dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru (new associations). Hubungan-hubungan
baru itu dapat berupa : antara perangsang-perangsang, antara reaksi-reaksi,
atau antara perangsang dan reaksi.
Adapun menurut
Mohamad Ali, bahwa :
Teori belajar
kognotif serta prinsip-prinsip belajar menjadi landasan dalam proses belajar
untuk mencapai hasil dalam bentuk apapun. Pemahaman yang menjadi teori belajar
ini, bukan hanya melandasi kemampuan-kemampuan kognitif tetapi juga melandasi
berbagai kemampuan psikomotorik (keterampilan), bahkan dengan diperolehnya
kemampuan kognitif dan psikomotorik yang tinggi dapat member pengaruh terhadap
pembentukan sikap (afektif) (1988 : 61)
Menurut
Ngalim Purwanto bahwa :
Proses belajar
berlangsung dapat melalui (1) kematangan, (2) Penyesuaian diri, (3) Pengalaman,
(4) Bermain, (5) Pengertian, (6) Mengahafal / mengingat, (7) Latihan” (1990:91)
Menurut Winkel (1987) bahwa :
Belajar berarti
proses dapat pula berupa hasil belajar. Belajar sebagai proses merupakan
perbuatan belajar (learning activity),
sedang belajar sebagai hasil belajar merupakan kemampuan internal yang telah
menjadi meilik seseorang. Oleh karena itu hasil belajar ini merupakan prestasi belajar (performance).
2)
Prestasi Belajar
Yang dimaksud dengan prastasi belajar adalah hasil
dari pengukuran serta penilaian usaha belajar. Karena dalam setiap perbuatan
manusia untuk mencapai tujuan, selalu diikuti oleh pengukuran dan penilaian
demikian pula halnya di dalam proses belajar.
Menurut
Kamus Bahasa Indonesia (1991) bahwa “Prestasi adalah hasil yang dicapai (dari
yang telah dilakukan, dikerjakan, dan seterusnya … )”.
Sedangkan
“Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang
dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau
angka yang diberikan oleh guru” (Depdikbud, 1991).
Dengan
mengetahui prestasi belajar anak, kita dapat mengetahui kedudukan anak di dalam
kelas, apakah anak termasuk anak pandai, sedang atau kurang. Prestasi belajar
ini dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, maupun tindakan sebagai hasil
belajarnya dalam periode tertentu yang sudah ditentukan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gunarso tentang hasil belajar bahwa :
Hasil belajar
adalah suatu hasil yang dicapai oleh murid sebagai hasil belajarnya, baik
berupa angka maupun huruf serta tindakan (1996 : 57)
Menurut Samino dan Saring
Marsudi menyimpulkan tentang makna hasil belajar bahwa :
Hasil usaha seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajar yang diterima
setelah belajar, adapun hasilnya dapat berupa angka, huruf maupun tindakan dan
wujud konkritnya dapat berupa raport, transkrip nilai, ijazah, piagam,
sertifikat atau bentuk-bentuk lainnya (2011 : 48).
Menurut Abdurrahman menyebutkan
hasil belajar bahwa :
Hasil belajar merupakan keluaran (out
put) dari suatu system pemrosesan masuka (in put) (1999 : 21 ).
Sejalan dengan pendapat
Abdurrahman pendapat Samino dan Saring Marsudi bahwa:
Masukan tersebut dapat berupa bermacam-macam informasi terkait dengan
peserta didik, sedangkan keluarannya adalah hasil, yang merupakan perubahan
tingkah laku, perbuatan atau kinerja (performance).
Dengan demikian berarti telah terjadi proses belajar dan ada hasilnya, baik
kognitif, afektif, maupun psikomotor (2011:48).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses dan hasil belajar :
Untuk memahami kegiatan yang
disebut belajar, perlu dilakukan analisis menemukan persoalan-persoalan apa
yang terlibat di dalam kegiatan belajar itu.
3)
Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses dan hasil belajar pada setiap orang diikhtisarkan oleh
Ngalim Purwanto sebagai berikut :
(1990 : 107)
Di
depan telah dikatakan bahwa belajar merupakan suatu proses. Sebagai suatu
proses sudah barang tentu harus ada yang diproses (masukan atau input), dan
hasil dari pemrosesan (keluaran atau out put). Jadi dalam hal ini kita dapat
menganalisis kegiatan belajar itu dengan pendekatan analisis system. Dengan
pendekatan sistem ini sekaligus kita dapat melihat adanya berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar.
Masukan mentah (raw input) merupakan bahan baku yang
perlu diolah, dalam hal ini diberi pengalaman belajar tertentu dalam proses
belajar mengajar itu turut berpengaruh pula sejumlah faktor lingkungan yang
merupakan masukan lingkungan (environment
input), dan berfungsi sejumlah faktor yang sengaja dirancang dan
dimanipulasikan (instrumental input)
guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki (output). Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam
menghasilkan keluaran tertentu.
Di dalam proses belajar
mengajar di sekolah, maka yang dimaksud masukan mentah atau raw put adalah siswa sebagai raw put siswa memiliki karakteristik
tertentu, baik fisiologis maupun psikologis. Mengenai fisiologis ialah
bagaimana kondisi fisiknya, panca inderanya, dan sebagainya. Sedangkan yang
menyangkut psikologis adalah minatnya, tingkat kecerdasannya, bakatnya,
motivasinya, kemampuan kognitifnya, dan sebagainya. Semua ini dapat
mempengaruhi bagaimana proses dan hasil belajarnya.
Yang termasuk instrumental input atau faktor-faktor yang disengaja
dirancang dan dimanipulasikan adalah : Kurikulum atau bahan pelajaran, guru
yang memberikan pengajaran, sarana dan fasilitas, serta manajemen yang berlaku
di sekolah yang bersangkutan. Di dalam keseluruhan sistem maka instrumental input merupakan faktor yang sangat
penting pula dan paling menentukan dalam pencapaian hasil / output yang dikehendak, karena
instrumental input inilah yang
menentukan bagaimana proses belajar mengajar itu akan terjadi di dalam diri si
pelajar.
b.
Belajar Matematika
Hakikat
Matematika
Banyak orang yang
mempertukarkan antara matematika dengan aritmatika atau berhitung. Padahal,
matematika memiliki cakupan yang lebih luas daripada aritmatika. Aritmatika hanya
merupakan bagian dari aritmatika.
Matematika sebagai salah satu
ilmu dasar dewasa ini telah berkembang pesat, baik materi maupun kegunaannya.
Menurut Johnson dan Myhlebust
yang dikutip Mulyono Abdurrahman bahwa :
“Matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan. Seangkan fungsi
teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”.(1996:217).
Kline mengemukakan bahwa :
“Matematika merupakan simbolis dan cirri utamanya adalah penggunaan cara
bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif”
(1981:172).
Sedang Depdikbud mengemukakan
bahwa:
“Matematika memiliki dua cirri penting
yaitu (1) Memiliki objek kejadian yang abstrak dan (2) berpola piker deduktif
dan konsisten” (1993:111).
Paling juga berpendapat bahwa :
“Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang
dihadapi manusia, suatu cara menemukan informasi, menggunakan pengetahuan
tentang bentuk dan ukuran menggunakan hubungan-hubungan” (1982:1).
Dari berbagai pendapat tentang
hakikat matematika yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa secara
kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada
metodenya dari pada pokok persoalan matemetika itu sendiri.
Sedang fungsi mata pelajaran
matematika menurut Depdikbud adalah :
Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat
membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari(1993:11).
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa prestasi belajar matematika adalah usaha kegiatan belajar
matematika yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimat
yang merupakan hasil yang dicapai oleh anak meliputi tiga kemampuan yaitu (1)
pemahaman konsep, (2) keterampilan, dan (3) pemecahan masalah.
2.
Tinjauan tentang Anak Berkesulitan Belajar
Matematika
a.
Pengertian Kesulitan Belajar
Untuk
dapat mengungkapkan tentang anak berkesulitan belajar ditinjau dari pengertian
kesulitan belajar, terlebih dahulu kita lihat hakikat kesulitan belajar.
Kesulitan belajar merupakan terjemahan istilah bahasa Inggris yaitu learning disability.
Kesulitan
belajar merupakan suatu konsep multidisipliner
yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi maupun ilmu
kedokteran. Seperti yang dikemukakan oleh Samuel A. Kirk untuk pertama kali
menyarankan penyatuan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi otak minimal (minimal brain dysfunction), gangguan
neurologis (neuriological disorder),
disleksia (dyslexia), dan afrasia
perkembangan (developmental aphasia)
menjadi satu nama kesulitan belajar (learning
disabilities).
Definisi
kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States Office of Education (USOE) pada tahun 1977 yang dikenal dengan Public Law (PL) (h. 94-142), yang hampir identik dengan definisi
yang dikemukakan oleh The National
Advisory Committee on Handicapped pada tahun 1967. Definisi tersebut
seperti dikutip oleh Hallahan Kuffman, dan Lloyd (Mulyono Abdurrahman) sebagai
berikut :
Kesulitan
belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses
psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ajaran atau tulisan.
Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan,
berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Bahasa tersebut
mencakup kondisi-kondisi seperti gangguan-gangguan perceptual, luka pada otak,
disleksia dan afasia perkembangan. Batasan yang penyebab utamanya berasal dari
adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran atau motorik, hambatan karena
gangguan tuna grahita, karena gangguan emosional atau karena kemiskinan
(1996:5).
Dari
pengertian kesulitan belajar khusus yang dikeluarkan oleh USOE tersebut dapat
kita ketahui bahwa kesulitannya dapat dikarenakan adanya proses psikologi dalam
proses belajar mengajar yang menuntut adanya pemahaman dan penggunaan dari
bahasa ajaran dan tulisan, dan biasanya kondisi semacam ini ditunjukkan dalam
proses membaca, menulis, berhitung dan sebagainya. Dan dijelaskan pula kondisi
kemiskinan, lingkungan, budaya atau ekonomi.
Menurut
The National Joint Committee for Learning
Disabilities (NJCLD) (Munawir Yusuf) mengemukakan definisi sebagai berikut
:
Kesulitan
belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang dimanifestasikan dalam bentuk
kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan penggunaan kemampuan dalam bidang
studi matematika. Gangguan tersebut instrinsik dan diduga disebabkan oleh
adanya disfungsi system saraf pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin
terjadi secara bersamaan dengan adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya
gangguan sensoris, tuna grahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai
pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat,
faktor-faktor psikogenik), berbagai hambatan tersebut bukan penyebab atau
pengaruh langsung (1997:6).
Definisi
kesulitan belajar di atas menyulitkan guru untuk menandai anak yang
berkesulitan belajar di kelas regular, karena guru diharapkan mampu memisahkan
antara anak berkesulitan belajar tersebut dengan kesulitan belajar yang lain.
Di lain pihak, salah satu aturan dalam penentuan anak tidak naik kelas di
sekolah dasar regular adalah apabila nilai rata-rata untuk semua mata pelajaran
adalah di bawah enam. Anak yang tidak naik kelas dianggap sebagai anak yang secara potensial berkesulitan belajar
karena dianggap tidak mampu mengikuti proses belajar mengajar sehingga prestasinya
rendah. Oleh sebab itu Munawir Yusuf mengemukakan definisi kesulitan belajar
sebagai berikut :
Anak
berkesulitan belajar adalah anak yang
secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, baik disebabkan
oleh adanya disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun sebab-sebab
lain sehingga prestasi belajarnya rendah, dan anak tersebut beresiko tinggal
kelas (1997:7).
Dari
definisi tentang kesulitan belajar yang digunakan tersebut maka penanganan anak
berkesulitan belajar dikelompokkan dalam anak berkesulitan belajar khusus dan
anak berkesulitan belajar umum. Kesulitan belajar umum ditunjukkan dengan
prestasi belajar untuk hamper semua mata pelajaran rendah, sedangkan kesulitan
belajar khusus ditunjukkan dengan prestasi belajar untuk mata pelajaran
tertentu (bahasa dan atau matematika) rendah.
Selain
itu pengertian kesulitan belajar khusus juga dikemukakan oleh The Asosiation for Children and Adult with
Learning Disabilities (ACALD) yang dikutip oleh Lovitt (Mulyono
Abdurrahman) sebagai berikut :
Kesulitan
belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis
yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemampuan
verbal dan atau non verbal.
Kesulitan
belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada
orang-orang yang memiliki intelegensi rata-rata sampai superior yang memiliki
system sensori yang cukup dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula.
Berbagai kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan,
pekerjaan, sosialisasi dan atau aktifitas kehidupan sehari-hari sepanjang
kehidupan (1996:6).
Seperti
halnya definisi yang dikemukakan oleh NJCLD, definisi yang dikemukakan oleh
ACALD yang berbeda dari definisi dalam PL (94-142) definisi NJCLD maupun
definisi ACALD keduanya menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga disebabkan
oleh adanya disfungsi neurologis. Definisi yang
dikemukakan oleh ACALD memiliki perbedaan yang penting dari definisi yang lain.
Meskipun terdapat perbedaan
antara tiga definisi yang dikemukakan ketiganya memiliki titik-titik persamaan,
yaitu (1) kemungkinan adanya disfungsi neurologis, (2) adanya
kesulitan-kesulitan dalam tugas akademis, (3) adanya kesengajaan antara
prestasi dan dengan potensi, (4) adanya pengeluaran dari sebab-sebab lain.
Baik definisi yang dikemukakan
oleh NJCLD maupun ACALD secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar diduga
disebabkan oleh adanya gangguan neurologis dan kondisi tersebut secara tidak
langsung juga dinyatakan dalam definisi PL (94-142). Ketiga definisi juga
mengindikasikan bahwa kesulitan belajar dapat berujud sebagai suatu kekurangan
dalam satu atau lebih bidang matematika, dan mengeja, atau dalam berbagai
keterampilan yang bersifat lebih umum seperti mendengarkan, berbicara, dan
berpikir.
Bentuk kesulitan belajar yang
dikemukakan oleh ACALD menyatakan bahwa kesulitan belajar dapat muncul dalam
bentuk penyesuaian sosial atau vokasional keterampilan kehidupan sehari-hari
atau harga diri. Ketiga definisi mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar
memperoleh prestasi belajar jauh di bawah potensi yang dimilikinya.
Jadi kesulitan belajar pada
dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis menifestasi baik secara
angsung maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Sesuai dengan
pengertian kesulitan belajar sebagaimana dikemukakan di atas, tingkah laku yang
dimanifestasikan hanya karena ditandai dengan aspek-aspek motoris, kognitif,
homotif, efektif baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapainya.
b.
Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Sebagai
garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, (1)
kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan (2) kesulitan belajar
akademik (academic learning disabilities).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Munawir Yusuf sebagai berikut :
Secara Umum kesulitan
belajar khusus dapat diklasifikasikan menjadi dua : Pertama, kesulitan belajar
pra akademik, meliputi (1) gangguan perkembangan motorik dan persepsi, (2)
kesulitan belajar kognitif, (3) gangguan perkembangan bahasa, dan (4) kesulitan
penyesuaian sosial, dan Kedua, kesulitan belajar akademik meliputi (1)
kesulitan belajar membaca, (2) kesulitan belajar menulis, dan (3) kesulitan belajar
menghitung dan matematika (1997: 7).
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan, baik kesulitan belajar umum maupun kesulitan
belajar khusus pada umumnya mempunyai gagguan penyerta yang dikelompokkan
sebagai berikut :
1)
Gangguan Intelegensi Rendah
Anak
yang ber IQ antara 70 – 90, mereka termasuk dikatagorikan under line (garis batas) yang secara pendidikan disebut sebagai slow learner (lamban belajar). Gejala
yang Nampak antara lain prestasi belajar sebagian besar atau seluruh mata
pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran,
dan sebagainya. Akibat lebih jauh dari kondisi ini adalah putus sekolah.
2)
Anak Berprestasi di Bawah Potensi (Under Achiever)
Anak-anak
yang berpotensi unggul secara intelektual atau yang sering disebut memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak selalu menunjukkan hasil belajar yang
tinggi. Apabila prestasi belajar yang mereka capai berada di bawah potensinya
mereka disebut under achiever.
3)
Gangguan Emosi dan Perilaku
Tidak
ada definisi yang baku
mengenai gangguan emosi dan perilaku tetapi cirri-ciri umum menggambarkan
adanya empat dimensi (Hallahan dan Kuffman, Munawir Yusuf), sebagai berikut :
a. Anak yang
mengalami gangguan perilaku, cirri-cirinya adalah suka berkelahi, memukul,
menyerang, bersifat pemarah, tidak penurut / melawan peraturan, suka merusak
baik milik sendiri maupun orang lain, kasar, tidak sopan, tidak mau kerjasama,
penentang, kurang prhatian pada orang lain, suka mengganggu, suka rebut, mudah
marah, suka mendominasi orang lain, suka mengancam atau menggertak, iri hati,
cemburu, suka bertengkar, tidak bertanggung jawab, ceroboh, mencuri, mengacau,
menggoda, menolak kesalahan dan menyalahkan orang lain, murung, cemberut,
meningkatkan diri sendiri.
b. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri tegang,
rasa takut, bersalah, cemas, pemalu, menyendiri, mengasingkan diri, tidak punya
teman, perasaan tertekan, sedih, sensitive, mudah merasa disakiti hatinya,
merasa rendah diri, merasa tidak berharga, mudah frustasi, kurang keyakinan,
pendiam.
c. Anak yang
agresif sosial memiliki perkumpulan yang tidak baik, berani mencuri, loyal
terhadap teman yang melanggar hukum, suka begadang sampai larut malam,
melarikan diri dari sekolah, melarikan diri dari rumah.
d. Individu yang tidak pernah dewasa perhatiannya
terbatas, kurang konsentrasi, melamun, kaku, canggung, pasif, kurang inisiatif,
mudah digerakkan, lamban, ceroboh, mudh bosan, kurang tabah, tidak rapi (1997 :
17).
4)
Gangguan Emosi
Emosi
merupakan faktor dalam struktur pribadi. Pernyataan emosi tersebut dapat
berbentuk senag dan tiak senang, dan perasaan yang tidak senang ini yang akan
mengganggu proses belajar. Reaksi emosi terhadap jasmani adalah bermacam-macam,
misalnya denyut jantung terlalu cepat, pencernaan terganggu, sukar tidur, gugup
dan sebagainya. Perkembangan emosi itu dimulai sejk lahir, pada masa bagi
pernyataan emosi cukup pada tangis dan artinya bias bermacam-macam, misalnya
takut, marah, sakit, lapar, haus, pedih. Pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua
bagian, yaitu emosi yang tidak menyenangkan biasanya merugikan, antara lain:
marah, takut, iri, susah dan sebagainya. Berhasil atau gagalnya anak dalam
belajar sebagian besar tergantung pada sikap emosi, anak yang selalu dimarahi
akan menjadi rendah diri, takut dan menjadi tidak tenang. Jadi jelaslah bahwa
kemunduran atau kesulitan suatu kegagalan belajar itu bukan faktor
intelegensinya juga bukan karena bakat, tetapi karena emosinya yang mengalami
kegagalan.
5)
Gangguan Komunikasi
Di
Indonesia gangguan komunikasi yang sering disamakan dengan gangguan wicara.
Menurut Hallahan dan Keuffman (Munawir Yusuf) gangguan komunikasi terdiri atas
: (1) gangguan wicara, dan (2) gangguan bahasa. Gangguan wicara adalah suatu
kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi dan atau kelancaran
wicara. Jadi gangguan wicara terdiri dari tiga macam yaitu gangguan suara,
gangguan artikulasi dan gangguan kelancaran bicara (1997 : 18)
Gangguan
dari pemahaman dan atau penggunaan bahasa ujaran, bahasa tulis dan atau system
symbol. Kerusakan tersebut mungkin meliputi bentuk bahasa (fonologi, morfologi
dan sintaksis), isi bahasa atau semantic, dn fungsi bahasa atau pragmatik. Anak
yang mengalami gangguan komunikasi biasanya menunjukkan gejala tidak lancar
berbicara, pembicaraannya sulit ditangkap, suaranya tidak normal, gagap, dan
sebagainya. Penyebabnya dapat bersifat organik dan dapat pula psikologik.
6)
Gangguan Gizi dan Kesehatan
Anak-anak yang mempunyai penyakit kronis dan bergizi
kurang, cenderung mengalami kesulitan belajar. Jenis penyakit kronis dimaksud
antara lain epilepsi, diabetes, cytic fibrosis, hemophilia dan luka bakar.
Sedangkan gangguan gizi terutama bagi mereka yang kekurangan kalori dan protein
serta kekurangan zat iodium.
7)
Gangguan Gerakan dan Anggota Tubuh
Ada dua kategori cacat tubuh, ialah cacat anggota karena
penyakit polio, dan cacat tubuh karena kerusakan otak sehingga mengakibatkan
ketidakmampuan gerak (disebut cerebral
palsy). Pada dasarnya cerebral palsy merupakan
koordinasi otot. Ototnya sendiri sebenarnya normal, tetapi otak mengalami
gangguan dalam pengiriman sinyal-sinyal yang penting untuk memerintah otot-otot
untuk memendek atau memanjang atau harus meregang (Puseschel, 1998). Anak-anak
semacam ini masih dapat belajar dengan menggunakan semua inderanya. Tingkat
intelektualnya umumnya normal bahkan ada yang superior. Namun, karena pada otak
mereka mengalami kesulitan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan
koordinasi motorik / keterampilan fisik, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
kesulitan belajar.
8)
Gangguan Penglihatan Ringan
Untuk
mengenal anak apakah mereka mengalami gangguan penglihatan, dapat dilihat dari
ciri-ciri fisik, perilaku maupun keluhan :
a) Ciri fisik, seperti mata juling, sering berkedip,
menyipitkan mata, kelopak mata merah, mata infeksi, gerakan mata tak beraturan
(goyang), mata yang selalu berair.
b) Ciri perilaku, membaca terlalu dekat, membaca banyak
terlewati, cepat lelah ketika membaca, mengernyitkan mata ketika melihat papan
tulis, sering mengupas mata, mendongakkan kepala saat melihat benda jarak jauh,
cenderung melihat dengan memiringkan kepala, berjalan sering menabrak benda di
depannya, salah menyalin dalam jarak dekat.
c) Ciri keluhan, seperti merasa sakit kepala, sulit
melihat dengan jelas dari jarak jauh, penglihatan terasa kabur ketika membaca,
menulis, benda terlihat seperti dua buah, mata sering merasa gatal.
Dampak
gangguan penglihatan akan menimbulkan kesulitan belajar.
9)
Gangguan Pendengaran Ringan
Gangguan
pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan fungsi dari sebagian atau seluruh
alat atau organ-organ pendengaran, dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur
tertentu (Audiometer).
Dengan
menggunakan ciri-ciri fisik dan perilaku anak, seseorang dapat dideteksi
sebagai mengalami gangguan pendenganran atau tidak. Ciri-ciri tersebut, antara
lain sering keluar cairan dari liang telinga, bentuk daun telinga tidak normal,
sering mengeluh gatal atau sakit di liang telinga, kalau berbicara selalu
melihat gerakan bibir lawan bicara, sering tidak bereaksi jika diajak bicara
kurang keras, selalu minta diulang dalam pembicaraan, dan sebagainya.
Dampak
anak yang mengalami gangguan pendengaran dapat menyebabkan terjadinya kesulitan
belajar.
c.
Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Kegagalan
seorang siswa dapat menyebabkan siswa itu mengalami kesulitan dalam belajar.
Kesulitan belajar merupakan kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh
adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar.
Hambatan-hambatan itu mungkin disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh
orang yang mengalami, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis ataupun
fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya.
Menyelidiki
kesulitan belajar pada siswa adalah menyelidiki seorang individu yang hidup
berkembang yang terdiri dari kesatuan psiko fisik juga terlihat dalam kehidupan
sosial yang dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, psikologis dan moral
paedagogis. Untuk memudahkan penyelidikan hal tersebut perlu dipisahkan,
sehingga baik keadaan fisik maupun psikis masing-masing dapat merupakan sebab
dari kesulitan belajar, walaupun secara praktis keduanya saling berhubungan.
Sebab-sebab
kesulitan belajar menurut M.Bandi (2001) dapat dibedakan menjadi dua faktor
yaitu faktor endogen yang timbul dari
dalam diri anak sendiri dan faktor exogen
yang timbul dari luar diri anak. Di samping itu dapat juga disebabkan oleh
kemunduran dalam pendidikan.
Sebab-sebab
kesulitan belajar :
1)
Sebab-sebab
Kesulitan Belajar Faktor Endogen
Yaitu
yang ditimbulkan dari dalam diri anak sendiri, dapat dibedakan sebagai berikut
:
a)
Sebab-sebab Kesulitan
Belajar yang Bersifat Fisiologis
Keadaan fisik kurang sehat, dan
keadaan fisik yang berkelainan, keadaan fisik yang sehat tidak menjadi
persoalan, akan tetapi keadaan fisik yang kurang sehat dan keadaan fisik yang
berkelainan perlu mendapatkan perhatian.
(1) Keadaan Fisik yang Kurang Sehat
Hal ini berhubungan erat dengan
soal kesehatan secara umum. Bilamana keadaan fisik kurang sehat mengakibatkan
hambatan dalam belajar. Gangguan fisik ini ada yang bersifat sementara,
misalnya influenza dan batuk. Tetapi ada pula yang tidak kelihatan dari luar misalnya
: usus buntu, sakit perut, anak yang mudah berkeringat dan lain-lain. Kelemahan
fisik karena kekurangan gizi juga menghambat kemajuan belajar anak, karena anak
kurang aktif dan kreatif yang akhirnya tidak bergairah dalam belajar.
(2) Keadaan Fisik yang Berkelainan Ringan
Keadaan
fisik yang berkelainan ringan atau kurang sempurna antara lain :
(a) Anak yang
mengalami gangguan penglihatan ringan, seperti mata juling, sering berkedip,
sering berair, miopi, hipermetropi dan sebagainya.
(b) Anak yang mengalami gangguan pendengaran ringan,
seperti telinga penuh congek, daun telinga bentuknya tidak normal, dan
sebagainya.
(c) Anak yang
mengalami kurang sempurna anggota tubuh seperti polio, kidal, panjang tangan,
perbandingannya kurang seimbang, dan sebagainya.
(d)
Anak yang mengalami gangguan berbicara, seperti
gagap.
(e)
Anak yang
mengalami penyakit kronis, seperti TBC, asma, gondok, dsb.
b)
Sebab-sebab Kesulitan
Belajar yang Bersifat Psikologis
Segi psikologis sering
merupakan sebab kesulitan belajar anak, masalah ini merupakan faktor penyebab
yang frekuensinya relatif cukup tinggi. Beberapa aspek psikologis dari
kesulitan belajar, antara lain :
(1) Aspek Psikologis Perkembangan
Ditinjau
dari aspek psikologi perkembangan ada dua pola perkembanagan yaitu bersifat
umum dan individual. Pola perkembangan bersifat umum didasarkan atas
generalisasi pola perkembangan manusia pada umumnya, dan pola ini bermanfaat
bagi upaya penyusunan kurikulum sekolah bagi anak normal atau anak pada
umumnya. Sedang pola perkembangan yang bersifat individual berbeda-beda antara
anak yang satu dengan anak yang lainnya, dan pola ini bermanfaaat bagi upaya
penyusunan program pendidikan yang sesuai dengan laju perkembangan tiap anak.
Dari aspek psikologi
perkembangan, kesulitan belajar disebabkan oleh faktor kematangan. Bertolak
dari pandangan semacam itu, mempercepat atau menghambat proses perkembangan
dapat menimbulkan masalah belajar. Lingkungan sosial yang berupaya mempercepat
proses perkembangan anak dapat menimbulkan kesulitan belajar. Begitu pula dengan
lingkungan sosial yang tidak memberikan stimulasi terhadap suatu fungsi yang
telah matang untuk berkembang.
Pandangan lain tentang pengaruh
kematangan terhadap kesulitan belajar dikemukakan oleh Samuel A. Kirk seperti
dikutip oleh Learner (Mulyono Abdurrahman).
Pada tahap-tahap awal
perkembangan anak secara normal cenderung menampilkan fungsi-fungsi yang
menyenangkan dan menghindari yang tidak menyenangkan. Ketika suatu fungsi
mengalami kelambatan dalam kematangan, anak berkesulitan belajar malah menghindari
dan menarik diri dari aktivitas-aktivitas yang menuntut fungsi tersebut.
Akibatnya fungsi yang ditolak tersebut gagal untuk berkembang sehingga
kesulitannya menjadi semakin parah (1996 : 73).
Adapun pola perkembangan yang
bersifat individual, kesulitan belajar disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain :
(a) Gangguan intelegensi rendah
Intelensi merupakan faktor yang
sering menjadi penghambat dalam belajar, bilamana memang intelegensinya kurang
(di bawah normal, antara 70-90, maka dikategorikan border line (garis belajar). Pada umumnya gejala yang nampak pada
anak tersebut, antara lain prestasi belajar sebagian besar atau seluruh mata
pelajaran umumnya rendah, sering tidak naik kelas, sulit menangkap pelajaran,
sulit memusatkan perhatian, lambat untuk bereaksi.
(b) Anak berprestasi di bawah potensi (under achiever)
Anak-anak
yang berpotensi unggul secara intelektual atau yang sering disebut memiliki
kemampuan dan kecerdasan luar biasa tidak selalu menunjukkan hasil belajar yang
tinggi, apabila prestasi belajar mereka berada di bawah potensinya maka anak
tersebut dikatakan anak under achiever.
(2) Aspek Psikologi Behavioral
Ditinjau
dari aliran Behaviorisme yang
berpendapat bahwa :
Berpikir
adalah gerakan-gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara
seperti halnya bila kita mengucapkan buah pikiran. Jadi menurut behaviorisme
berpikir tidak lain adalah berbicara, unsure yang paling sederhana adalah
refleks. Refleks adalah gerakan / reaksi tak sadar yang disebabkan adanya
perangsang dari luar. Semua keaktifan jiwa yang lebih tinggi, seperti perasaan,
kemauan dan berpikir, dikembalikannya kepada refleks-refleks. Dalam
penyelidikannya terhadap tingkah laku manusia, gejala-gejala psikis yang
mungkin terjadi adalah akibat dari adanya gejala-gejala / perubahan-perubahan
jasmaniah sebagai reaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu (M.Ngalim
Purwanto, 1990:45).
Bertolak
dari aliran behavioral aspek psikologi anak berkesulitan belajar antara lain :
(a) Anak yang sukar menyesuaikan diri
Anak
yang sukar menyesuaikan diri mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Gejala
yang Nampak merupakan akibat dari sifat dasar, misalnya dasar kekerasan, halus
perasaannya, bersifat keras hati, sehingga dapat menimbulkan konflik emosi.
(b) Keadaan emosi anak
Emosi
merupakan faktor dalam struktur pribadi. Pernyataan emosi tersebut dapat
berbentuk senag dan tidak senang, dan perasaan yang tidak senang ini yang akan
mengganggu proses belajar. Reaksi emosi terhadap jasmani adalah bermacam-macam,
misalnya : denyut jantung terlalu cepat, pencernaan terganggu, sukar tidur,
gugup.
Perkembangan
emosi itu dimulai sejak lahir, pada masa bayi pernyataan emosi cukup pada
tangis dan artinya bias bermacam-macam, misaknya marah, takut, sakit, sedih,
lapar dan haus. Pada dasarnya emosi dibagi menjadi dua bagian yaitu emosi yang
menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Emosi yang tidak menyenangkan
biasanya merugikan antara lain : marah, takut, iri, susah, dan lain sebagainya.
Berhasil
atau gagalnya anak dalam belajar sebagian besar tergantung pada sikap emosi,
anak yang selalu dimarahi akan menjadi rendah diri, takut dan menjadi tidak
tenang.
Jadi
jelaslah bahwa kemunduran atau kesulitan suatu kegagalan belajar itu bukan faktor
intelegensinya, bukan karena bakatnya tetapi karena emosinya yang mengalami
gangguan.
(c) Motivasi
Clark
C. Hall mengemukakan teorinya yang dikutip M. Ngalim Purwano (1990:97) bahwa “suatu
kebutuhan atau keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi)
harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat
diperkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu:
Hal
ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan
dorongan (motivasi) yang menyebabkan timbulnya usaha belajar itu oleh
respon-respon yang dibuat individu itu.
Psikologi
behavioral memberikan sumbangan teori-teori penting untuk mengajak anak
berkesulitan belajar. Pusat perhatian teori-teori ini terutama pada tugas-tugas
yang diajarkan dan analisis perilaku yang dibutuhkan untuk mempelajari
tugas-tugas tersebut. Pembelajaran yang bertolak dari teori ini kadang-kadang
disebut pembelajaran langsung (direct
instruction), tetapi ada pula yang menyebut belajar tuntas (mastery learning), pengajaran terarah (directed teaching), analisis tugas (task analisys) atau pengajaran
keterampilan berurutan (sequential skills
teaching). Semua rekomendasi yang didasarkan atas teori behavioral adalah
bahwa guru hendaknya lebih memusatkan perhatian pada keterampilan-keterampilan
akademik yang diperlukan oleh anak daripada memusatkan pada kekurangan yang
menghambat anak untuk belajar.
Dilihat
dari sudut ilmu mendidik, belajar berarti perbaikan dalam tingkah laku dan
kecakapan-kecakapan (manusia), atau memperoleh kecakapan-kecakapan dan tingkah
laku yang baru. Jadi perubahan / perbaikan dari fungsi-fungsi psikis yang
menjadi syarat dan mendasari perbaikan tingkah laku dan kecakapan-kecakapan.
Termasuk di dalamnya perubahan di dalam pengetahuan, minat dan perhatian yang
dibentuk oleh tenaga-tenaga / fungsi-fungsi psikis dalam pribadi manusia itu.
(3)
Aspek Psikologis Kognitif dan Kesulitan Belajar
Psikologi kognitif berkenaan
dengan proses belajar, berpikir, dan mengetahui. Kemampuan kognitif merupakan
kelompok keterampilan mental yang esensial pada fungsi-fungsi kemanusiaan.
Melalui kemampuan kognitif tersebut memungkinkan manusia mengetahui, menyadari,
mengerti, menggunakan abstraksi, menalar, membahas dan menjadi kreatif. Suatu
analisis tentang sifat kognitif merupakan hal yang sangat penting untuk
memahami kesulitan belajar. Salah satu teori psikologi kognitif yang membahas
kesulitan belajar adalah yang dikenal dengan teori pemrosesan psikologis.
Seperti telah dikemukakan PL.
94-142 Amerika Serikat (Mulyono Abdurrahman) mengemukakan bahwa :
Anak berkesulitan belajar memiliki gangguan dalam satu atau lebih dari
proses psikologis dasar yang diperlukan untuk belajar di sekolah. Proses
psikologis merupakan kemampuan dalam persepsi, bahasa, ingatan, perhatian,
pembentukan konsep, (concept formation),
pemecahan masalah dan sebagainya (1996:79).
2)
Sebab-sebab
Kesulitan Belajar Faktor Exogen
Sebab-sebab kesulitan belajar
karena faktor exogen adalah sebab-sebab kesulitan belajar yang ditimbulkan dari
luar diri anak, yaitu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Untuk lebih jelas akan diuraikan sbb:
(a)
Lingkungan Keluarga
Faktor
keluarga atau orang tua memegang peranan penting di dalam belajar. Dan keluarga
ini merupakan pusat pendidikan yang pertama serta sumber tumpuan dari
pembentukan pribadi anak. Seperti yang dikemukakan oleh Henry N. Siahaan (1991)
bahwa “Tanpa dorongan dan rangsangan orang tua, maka perkembangan dan prestasi
belajar anak akan mengalami hambatan dan menurun sampai rendah”(h.85). Hal ini
menunjukkan besarnya manfaat rangsangan dan dorongan dari orang tua kepada anak
dalam meningkatkan potensi hasil belajar. Situasi lingkungan keluarga yang
miskin, ada pula yang kaya, suasana keluarga ada tenteram dan damai, tetapi ada
pula yang sebaliknya selalu diliputi keributan atau pertengkaran. Pendidikan
orang tua ada yang terpelajar sadar akan pendidikan tetapi ada kurang
pengetahuan bahwa tidak peduli akan pendidikan bagi anak-anaknya. Situasi
keluarga yang bermacam-macam itu akan sangat mempengaruhi belajar anak termasuk
fasilitas belajar dalam lingkungan keluarga.
Adapun
hal-hal yang menimbulkan kesulitan
belajar antara lain :
(1)
Keluarga yang
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup dalam kehidupan sehari-hari.
(2)
Keluarga yang
sering bertengkar
(3)
Keluarga yang
tidak pernah peduli pada pendidikan anak
(4)
Hubungan orang
tua dan anak kurang dekat sehingga jarang terjadi komunikasi
(5)
Orang tua
terlalu sibuk
(6) Suasana dan tempat
belajar serta fasilitas belajar kurang memenuhi.
Dengan demikian peranan orang
tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga mempunyai tanggung jawab yang
mutlak terhadap kebutuhan pendidikan anak, seperti yang dikemukakan oleh
Singgih D. Gunarso (1992) sebagai berikut :
Orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak baik
dari sudut organis, psikologis, antara lain makanan maupun kebutuhan-kebutuhan
psikis seperti kebutuhan atau perkembangan intelektual melalui pendidikan,
kebutuhan akan rasa dikasihi dan dimengerti dan rasa aman melalui perawatannya
“asuhan” ucapan-ucapan dan perlakuan-perlakuannya (1992:6).
Jelaslah bahwa semua kebutuhan
anak dapat terpenuhi dengan baik, maka dalam proses belajar selanjutnya seorang
anak tidak mengalami hambatan-hambatan di dalam upaya mencapai prestasi
belajar.
(b)
Lingkungan Sekolah
Terutama
dalam belajar di sekolah faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor yang
penting pula. Sikap guru dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan
yang dimiliki guru, dan cara guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada anak
didiknya. Di samping itu alat pelajaran, dan fasilitas serta keadaan fisik
gedung mempunyai andil dalam menentukan hasil belajar anak. Letak gedung
sekolah yang kurang strategis itu juga akan mempengaruhi hasil belajar anak,
karena apabila jarak sekolah dengan rumah yang jauh itu akan melelahkan bagi
anak sehingga fisik yang lelah maka menghambat dalam mengikuti pelajaran, belum
lingkungan sekolahan yang buruk dan negatif itu akan sangat mengganggu dalam
proses pembelajaran. Hal seperti itu akan dapat menimbulkan kesulitan belajar.
(c)
Lingkungan Masyarakat
Beberapa
contoh keadaan lingkungan masyarakat yang tidak mendukung hasil belajar anak,
antara lain :
(1)
Mass Media
(sumber berita)
Betapa banyaknya cerita-cerita film, isi majalah dan
lain-lain yang dapat memberikan pengaruh yang baik dan bijaksana, tetapi karena
kurang dapat mengatur diri serta memilih mana yang berakibat baik atau buruk
menyebabkan pelajaran di sekolah semakin mundur.
(2)
Aktifitas di
dalam masyarakat
Aktifitas-aktifitas dalam masyarakat kadang terlalu
banyak bagi anak. Meskipun tugas itu bermanfaat bagi anak, kadang-kadang dapat
mengganggu tugas sekolah.
3)
Sebab-sebab
Kesulitan Belajar karena Kemunduran dalam Pendidikan
Anak yang mengalami kemunduran
dalam pendidikan tidak menunjukkan kelainan fisik, kelihatannya sehat dan
normal bicaranya. Kegagalan dalam mata pelajaran tertentu merupakan teka-teki
bagi guru. Pada umumnya akan mengalami kemunduran dalam membaca, berhitung dan
kemunduran ini kan menghambat pelajaran yang lainnya. Beberapa penyebab kemunduran dalam pendidikan antara
lain :
a)
Bingung
Keadaan anak yang bingung dapat menyebabkan hambatan
dalam belajar. Anak yang bingung dan sulit memahami sesuatu akhirnya menjadi
rendah diri.
b)
Perasaan rendah
diri
Anak yang memiliki perasaan rendah diri akan
mengalihkan kegiatannya di luar kelas.
c)
Nakal karena
frustasi
Anak yang gagal satu atau beberapa mata pelajaran
dapat mengakibatkan anak merasa tidak suka terhadap pelajaran itu dan merasa
takut untuk sekolah.
d)
Sikap orang tua
Kadangkala orang tua bertindak gegabah terhadap anak
yang tertinggal pada mata pelajaran tertentu. Karena rasa ambisi yang tinggi
orang tua terhadap anaknya sehingga orang tua memiliki harapan-harapan yang
tinggi pula terhadap anaknya, sehingga jika anak mengalami kegagalan dalam mata
pelajaran, anak tersebut dimarahi bahkan dihukum akibatnya anak merasa takut,
kawatir dan cemas.
Selain
faktor tersebut di atas penyebab kesulitan belajar yang dikemukakan oleh
Mulyono Abdurrahman (1996) sebagai berikut :
Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Penyebab utama kesulitan belajar (learning
disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi
neurologis, sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problem) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa
strategi pembelajaran yang keliru, pengadaan pembelajaran yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement)
yang tidak tepat (h. 10).
Disfungsi neurologis sering
tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tuna
grahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada
gilirannya akan menyebabka kesulitan belajar antara lain adalah : 1. Faktor
genetik, 2. Luka pada otak karena trauma atau karena kekurangan oksigen, 3.
Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan
saraf pusat), 4. Biokimia yang dapat merusak otak (misalkan zat pewarna pada makanan), 5.
Pencemaran lingkungan, 6. Gizi yang tidak memadai, dan pengaruh-pengaruh
psikologis dan sosial yang dapat merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Berbagai penyebab
tersebut dapat menimbulkan gangguan dari yang tarafnya ringan hingga yang
tarafnya tinggi.
d.
Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar Matematika
Kesulitan
belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculia)(Lerner, 1988:430). Istilah diskalkulia memiliki
konotasi medis, yang memandang adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf
pusat. Kesulitan belajar matematika yang berat oleh Kirk (1962:10) disebut
akalkulia (acalculia).
Menurut Lerner (Mulyono Abdurrahman) ada beberapa
karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu (1) adanya gangguan
dalam hubungan keruangan, (2) abnormalitan persepsi visual, (3) asosiasi
visual-motor, (4) perseverasi, (5) kesulitan mengenal dan memahami symbol, (6)
gangguan penghayatan tubuh, (7) kesulitan dalam bahasa dan membaca, dan (8) skor performance IQ jauh lebih rendah
daripada skor verbal IQ (1996:224).
a) Gangguan Hubungan Keruangan
Konsep
hubungan keruangan seperti atas-bawah, puncak-dasar, jauh-dekat, tinggi-rendah,
depan-belakang, dan awal-akhir umumnya telah dikuasai anak pada saat mereka
belum masuk SD. Anak-anak memperoleh pemahaman tentang berbagai konsep hubungan
keruangan tersebut dari pengalaman mereka dalam berkomunikasi dengan lingkungan
sosial mereka atau melalui berbagai permainan. Tetapi sayangnya, anak
berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan
lingkungan sosial juga sering tidak mendukung terselenggaranya suatu situasi
yang kondusif bagi terjalinnya komunikasi antara mereka. Adanya kondisi
intrinsik yang diduga karena disfungsi otak dan kondisi ekstrinsik berupa
lingkungan sosial yang tidak menunjang terselenggaranya komunikasi dapat
menyebabkan anak mengalami gangguan dalam memahami konsep-konsep hubungan
keruangan dapat mengganggu pemahaman anak tentang system bilangan secara
keseluruhan. Karena adanya gangguan tersebut, anak mungkin tidak mampu
merasakan jarak antara angka-angka pada garis bilangan atau penggaris dan
mungkin anak juga tidak tahu bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke
angka 6.
b) Abnormalitas Persepsi Visual
Anak
berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan untuk melihat
berbagai objek dalam hubungannya dengan kelompok atau set. Kesulitan semacam
itu merupakan salah satu gejala adanya abnormalitas persepsi visual. Kemampuan
melihat berbagai objek dalam kelompok merupakan dasar yang sangat penting yang
memungkinkan anak dapat secara cepat mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu
kelompok. Anak yang mengalami abnormalitas persepsi visual akan mengalami
kesulitan bila mereka diminta untuk menjumlahkan dua kelompok benda yang
masing-masing terdiri dari lima
dan empat anggota. Anak semacam itu mungkin akan menghitung satu persatu
anggota tiap kelompok lebih dahulu sebelum menjumlahkannya. Anak yang memiliki
abnormalitas persepsi visual juga sering tidak mampu membedakan bentuk-bentuk
geometri. Suatu bentuk bujur sangkar mungkin dilihat oleh anak sebagai empat
garis yang saling tidak terkait, mungkin sebagai segi enam, dan bahkan mungkin
tampak sebagai lingkaran. Adanya abnormalitas persepsi visual semacam ini tentu
saja dapat menimbulkan kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam
memahami berbagai simbol.
c) Asosiasi Visual-Motor
Anak
berkesulitan belajar matematika sering tidak dapat menghitung benda-benda
secara berurutan sambil menyebukan bilangannya “satu, dua, tiga, empat, lima”.
Anak mungkin baru memegang benda yang ketiga tetapi telah mengucapkan “tiga”.
Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan mereka hanya menghafal bilangan
tanpa memahaminya.
d) Perseverasi
Ada anak yang perhatiannya melekat pada suatu objek
saja dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan perhatian semacam itu
disebut perseverasi. Anak demikian mungkin pada mulanya dapat mengerjakan tugas
dengan baik, tetapi lama kelamaan perhatiannya melekat pada suatu objek
tertentu. Misalnya :
4
+ 3 = 7
5
+ 3 = 8
5
+ 2 = 7
5
+ 4 = 9
4
+ 4 = 9
3
+ 4 = 9
Angka 9 diulang beberapa kali tanpa memperhatikan
kaitannya dengan soal matematika yang dihadapi.
e) Kesulitan Mengenal dan Memahami Simbol
Anak
berkesulitan belajar matematika sering memperlihatkan adanya gangguan
penghayatan tubuh (body image). Anak
demikian merasa sulit untuk memahami hubungan bagian-bagian dari tubuhnya
sendiri. Jika anak diminta untuk menggambar tubuh orang misalnya, mereka akan
menggambarkan dengan bagian-bagian tubuh yang tidak lengkap atau menempatkan
bagian tubuh pada posisi yang salah. Misalnya leher tidak tampak, tangan
diletakkan di kepala dan sebagainya.
f) Kesulitan dalam Bahasa dan Membaca
“Matematika
itu sendiri pada hakikatnya adalah bahasa simbolis” Johnson & Myklebust
(Mulyono Abdurrahman, 1996 : 226). Oleh karena itu, kesulitan dalam bahasa
dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak di bidang matematika. Soal matematika
yang berbentuk cerita menuntut kemampuan membaca untuk memecahkannya. Oleh
karena itu, anak yang mengalami kesulitan membaca akan mengalami kesulitan pula
dalam memecahkan soal matematika yang berbentuk cerita tertulis.
g) Sekor PIQ Jauh Lebih Rendah daripada Sekor VIQ
Hasil
tes intelegensi dengan menggunakan WISC (Wechsler
Intelligence Scale for Children) menunjukkan bahwa :
Anak
berkesulitan belajar matematika memiliki sekor PIQ (Performance Intelligence Quotient) yang jauh lebih rendah dari pada
sekor VIQ (Verbal Intelligence Quotient).
Tes Intelligensi ini memiliki dua subtes, tes verbal dan tes kinerja
(performance). Subtes verbal mencakup (1) informasi, (2) persamaan, (3)
aritmatika, (4) perbendaharaan kata, dan (5) pemahaman. Subtes kinerja mencakup
(1) melengkapi gambar, (2) menyusun gambar, (3) menyusun balok, (4) menyusun
objek dan (5) coding. Anatasi (Mulyono Abdurrahman, 1996 : 226).
Rendahnya
sekor PIQ pada anak yang berkesulitan belajar matematika tampaknya terkait
dengan kesulitan memahami konsep keruangan, gangguan persepsi visual, dan
adanya gangguan asosiasi visual motor.
3.
Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar
Untuk
mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi anak, maka perlu memperhatikan faktor-faktor
penyebab kesulitan belajar. Usaha ini untuk mengatasi kesulitan belajar pada
sasaran yang tepat. Secara garis besar langkah yang harus ditempuh dalam rangka
menangani anak berkesulitan belajar , menurut B.Sunarti dan Munawir ada 6 yaitu “ 1. Pengumpulan data, 2.
Pengolahan data, 3. Diagnose, 4. Prognosa, 5. Treatment atau perlakuan, 6. Evaluasi”
(1996:14).
Di
samping itu perlu ada pelayanan pendidikan menurut Lerner (Munawir Yusuf) :
“Ada tiga sistem pelayanan
pendidikan bagi anak berkesulitan belajar yang biasa digunakan yaitu (1)
penggunaan kelas khusus, (2) ruang sumber, dan (3) kelas regular” (1997:24).
1) Kelas Khusus
Sistem
pelayanan dalam bentuk kelas khusus biasanya menampung antara 10 hingga 20 anak
berkesulitan belajar di bawah asuhan seorang guru khusus. Ada dua jenis kelas khusus yang biasa
digunakan, (1) kelas khusus sepanjang hari belajar, (2) kelas khusus untuk mata
pelajaran tertentu.
Dalam
kelas khusus sepanjang hari belajar, anak-anak berkesulitan belajar dilayani oleh
guru khusus. Anak-anak di kelas ini belajar semua jenis mata pelajaran dan
hanya berinteraksi dengan anak-anak lain yang tidak berkesulitan belajar pada
saat turun main atau istirahat. System pelayanan jenis ini tergolong yang
paling bersifat membatasi pergaulan anak berkesulitan belajar dengan anak yang
tidak berkesulitan belajar dalam sistem pendidikan integratif.
Dalam
kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu, anak-anak berkesulitan belajar
mempelajari mata pelajaran tertentu, biasanya mata pelajaran membaca, menulis,
dan berhitung. Kadang-kadang juga belajar tentang keterampilan sosial atau
aspek-aspek khusus dari bahasa. Untuk mata pelajaran lain seperti olah raga,
musik, kerajinan tangan, dana dan lain-lain, mereka belajar bersama anak-anak
yang tidak berkesulitan belajar.
2) Ruang Sumber
Ruang
sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan
pendidikan khusus bagi anak-anak yang membutuhkan, terutama yang berkesulitan
belajar. Di dalam ruang sumber terdapat guru remedial atau guru sumber dan
berbagai media belajar. Aktivitas utama dalam ruang sumber umumnya
berkonsentrasi pada upaya memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca,
menulis, dan berhitung. Guru sumber atau guru remedial dituntut untuk menguasai
bidang keahlian yang berkenan dengan pendidikan anak berkesulitan belajar. Guru
sumber diharapkan juga dapat menjadi pengganti guru kelas dan menjadi konsultan
bagi guru regular. Anak belajar di ruang sumber sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan. Guru di ruang sumber biasanya menangani 15 hingga 20 anak
berkesulitan belajar tiap hari.
3) Kelas regular
Sistem
pelayanan dalam bentuk kelas regular dimaksudkan untuk mengubah citra tentang
adanya dua tipe anak, pertama anak berkesulitan belajar dan yang kedua anak
tidak berkesulitan belajar. Dalam kelas regular yang dirancang untuk membantu
anak berkesulitan belajardiciptakan suasana belajar kooperatif sehingga semua
anak dapat menjamin kerjasama dalam mencapai tujuan belajar. Suasana belajar
kompetitif dihindari agar anak berkesulitan belajar tidak putus asa. Program
pendidikan individual diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik anak
berkesulitan belajar, yang memiliki keunggulan, maupun yang memiliki
penyimpangan lainnya. Dalam kelas regular semacam ini berbagai metode untuk
berbagai jenis anak digunakan bersama.
Keberhasilan menangaani anak
berkesulitan belajar ditentukan pula oleh ketepatan langkah kegiatan dan adanya
bimbingan serta pengajaran terarah secara continue
untuk penggunaan media juga diusahakan yang sesuai supaya pembelajaran menjadi
menyenangkan.
4.
Tinjauan tentang Model Pembelajaran Terarah
Sebelum
membahas model pembelajaran di sini
penulis akan memberikan gambaran pembelajaran pada umumnya di Sekolah Dasar
yang setiap hari dilaksanakan oleh guru
yaitu pengajaran konvensional atau tradisional bagi anak yang
berkesulitan belajar.
Menurut Soeharjo DS (Anton
Sukarno) mengemukakan bahwa :
Pengajaran konvensional merupakan pengajaran anak
berkesulitan belajar yang dilaksanakan bersama dengan anak normal dalam satu
kelas. Pengajajan di SD merupakan system pengajaran klasikal, dimana seorang
guru mengelola sekitar 30 murid, dalam satu kelas. Mereka mendapat pelajaran
yang sama pada waktu yang sama (1994:43).
Dengan pengajaran konvensional
bagi anak berkesulitan belajar matematika ternyata belum bisa mengatasi
permasalahan untuk meningkatkan prestasi belajar anak berkesulitan belajar matematika.
Oleh karena itu penulis mengajukan model terarah bagi anak berkesulitan
belajar.
Pembelajaran terarah merupakan
pendekatan belajar modifikasi tingkah laku dan kognitif.
Pembelajaran terarah menyangkut
hal-hal berikut :
1) Memberi arah
belajar secara terperinci untuk meyakinkan bahwa terjadi pembelajaran.
2) Memberikan
kesempatan kepada siswa membangun pengetahuan sistematik.
3) Menyediakan
cara-cara kognitif dimana desain pembelajaran dijabarkan dalam langkah-langkah
jelas bagi murid (overt) yang
sekaligus mempunyai dua keuntungan : memungkinkan guru langsung memperbaiki
kesalahan dan menghapus secara berangsur-angsur langkah-langkah yang terperinci
(fading), sehingga pada akhirnya
siswa sendiri menyelesaikan tugas-tugas matematika yang diberikan.
Menurut Mercer dan Mercer (Anton Sukarno) menyatakan
bahwa
“Pembelajaran terarah merupakan pengajaran mandiri yang
dapat terjadi secara individual, kelompok kecil maupun kelompok besar maupun
klasikal” (1999:13).
Begitu
juga Richard Bures (Anton Sukarno) menyatakan bahwa
Pengajaran
individual lebih terbimbing dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu
belajar siswa yang terarah dalam arti terbimbing dalam cara belajar siswa dan
cara mengajar guru yang tepat sehingga mengarah kepada keberhasilan yang
optimal” (1994:44).
Sedang
Silbert, Carnine dan Stein (J. Tombokan Runtukahu) mengusulkan penggunaan
strategi pembelajaran terarah dalam pengajaran matematika di SD bahwa :
Strategi
ini dapat digunakan secara klasikal dan individual. Jika strategi ini digunakan
untuk kelas di mana terdapat dua atau tiga murid berkesulitan belajar,
sebaiknya mereka duduk tidak jauh dari meja guru sehingga guru dapat memonitor
langsung dan mengadakan pembimbingan individual. Selain digunakan secara
klasikal, strategi ini baik sekali digunakan bagi anak-anak berkesulitan
belajar yang dilayani pada kelas khusus, karena trategi pembelajaran ini
menyediakan informasi yang terperinci yang dibutuhan oleh murid berkesulitan
belajar dalambelajar matematika (1996:298).
Dalam
pelaksanaan model pembelajaran terarah mata pelajaran matematika bagi anak
berkesulitan belajar terpusat pada guru yang mengacu pada pengajaran aktif.
Mercer
dan Mercer (Anton Sukarno) menyatakan bahwa “ada 3 langkah pengajaran bagi anak
berkesulitan belajar yaitu presentase, kerja terbimbing, dan kerja mandiri
(1999 : 17).
Sedang Rena B. Lewis dan Donald
H. Doorrlag (Anton Sukarno) bahwa :
Mengembangkan langkah-langkah pengajaran menjadi 5
langkah, yaitu pemilihan kurikulum, presentasi, kerja terstruktur, kerja
mandiri/mastery, dan aplikasi. Dan tiap langkah mempunyai dimensi kegiatan
yaitu kegiatan siswa dan guru.
5.
Tinjauan tentang Media Puzzle
Media
pembelajaran adalah alat peraga yang digunakan untuk membantu pengajar
menyampaikan pengetahuan dan mengalihkan ketrampilan. Dengan batasan itu dapat
dipahami bahwa alat peraga bukan menggantikan pengajar tetapi alat membantu
dalam menunaikan tugas guru (Pasaribu&Simanjutak, 1983:35)
Alat
peraga dalam penelitian ini termasuk dalam jenis alat peraga visual atau alat
peraga penglihatan, yang menuntut indera penglihatan yaitu dengan puzzle.
Puzzle
merupakan bentuk-bentuk acak dan kemudian harus dipasangkan secara benar di
tempat yang sudah disediakan, dalam penelitian ini puzzle bukan berbentuk
gambar melainkan berupa penyelesaian matematika.
B. Kerangka
Berfikir
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, maka kerangka berpikir dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Bahwasanya anak
yang mengalami kesulitan belajar mempunyai prestasi belajar khususnya mata
pelajaran matematika rendah yang didasari dengan prestasi belajar di bawah
prestasi rata-rata kelas, sehingga mereka tidak dapat berkembang secara optimal
bila tidak ada bimbingan secara efektif.
2. Dengan menerapkan
model pembelajaran terarah diharapkan prestasi belajar matematika anak berkesulitan
belajar matematika dapat meningkat.
3. Dengan media puzzle
dalam pembelajaran terarah diharapkan pemahaman siswa terhadap materi lebih
mendalam dan pembelajaran lebih menyenangkan.
4. Dengan berhasilnya
pengajaran matematika dengan model pembelajaran terarah dan menggunakan media
puzzle, siswa mengalami kesulitan belajar matematika yang ada di Sekolah Dasar
mendapat perlakuan khusus dan menanamkan pemahaman materi secara menyenangkan
dan mendalam, sehingga siswa tersebut dapat mencapai tujuan pengajaran yang
diharapkan.
Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran
|
|
C. Hipotesis
Dalam penilitian ini
penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : “Ada pengaruh yang signifikan
model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi belajar
matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri
Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011”.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Sesuai
dengan judul penelitian ini, penulis menggolongkan jenis penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif. Menurut Maryadi, dkk menyatakan bahwa “
Penelitian Kuantitatif adalah penelitian yang melibatkan perhitungan atau angka
atau kuantitas. Selain itu penelitian kuantitatif diartikan sebagai penelitian
yang melibatkan pengukuran pada tingkat tertentu dengan ciri tertentu pula”.
Pada penelitian kuantitatif ini, berdasarkan
eksplanasi variabelnya termasuk ke dalam penelitian asosiatif yaitu penelitian
ini berfungsi untuk mempelajari hubungan antara variabel satu dengan variabel yang
lainnya.(Maryadi,dkk,2010:3).
B.
Tempat, Waktu Penelitian dan Subjek Penelitian
1.
Tempat
Penelitian
Sesuai
dengan judul penelitian ini, penulis mengambil tempat lokasi di Sekolah dasar
Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta. Peneliti memilih sekolah tersebut karena
terletak di tengah kota Surakarta sehingga mudah dijangkau dan hemat
biaya serta merupakan Sekolah dasar yang maju sehingga untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh dari penerapan pembelajaran terarah dengan menggunakan puzzle
terhadap prestasi belajar siswa. Sedang kelas yang diteliti adalah kelas III
karena guru kelas III di sekolah tersebut sudah S2 akan tetapi masih banyak
anak yang berkesulitan belajar tidak tertangani dengan cara yang lebih mendalam.
2.
Waktu Penelitian
Waktu
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari bulan Desember 2010 sampai
dengan bulan April 2011. Secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut :
1.
Bulan desember
2010 sampai Januari 2011
a. Menyelesaikan proposal penelitian
b. Mencari ijin untuk penelitian
c. Membuat kisi-kisi soal dan membuat soal-soal try out (kisi-kisi soal dan soal-soal try out terdapat lampiran)
2.
Bulan Februari
sampai Maret 2011
a. Pelaksanaan try
out soal
b.
Menganalisa validitas dan reabilitas tiap butir soal
c. Melaksanakan pre test
3.
Bulan Maret
sampai April 2011
a. Melaksanakan treatment
terhadap anak berkesulitan belajar bidang studi matematika
b. Melaksanakan post test
c. Pengolahan data hasil pre test dan hasil post test
terhadap anak berkesulitan belajar bidang studi matematika
Adapun perincian
jadwal secara lengkap terdapat dalam lampiran.
3.
Subjek
Penelitian
Dalam penelitian ini diperlukan tiga kelompok subjek
yaitu satu Kelompok Eksperimen (KE), Kelompok Kontrol (KK) dan Kelompok untuk
Uji Validitas Instrumen test. Ketiga kelompok tersebut diambil dari dua kelas
yaitu 15 siswa kelas IIIA dan 15 siswa kelas IIIB. Peneliti memakai 10 siswa
dari kelas IIIA sebagai KK, 10 siswa kelas IIIB sebagai KE dan 10 siswa dari 5
siswa kelas IIIA dan 5 siswa kelas IIIB sebagai subjek Uji validitas Instrumen
Test.
Untuk kedua
kelas tersebut diberikan materi pelajaran yang sama dengan menggunakan model
pembelajaran yang berbeda. KE menggunakan model pembelajaran terarah dengan
media puzzle sedangkan KK menggunakan model pembelajaran konvensional
(ceramah). Untuk mengetahui bahwa tidak ada perbedaan kemampuan yang signifikan
terhadap kedua kelas tersebut maka diadakan perhitungan perbedaan kemampuan
awal (pre test) dengan uji t (t-test) untuk sampel terpisah (uncorrelated samples).
- Populasi
Populasi
pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas III SDN Mangkubumen No. 16
Surakarta, kelas yang terbagi menjadi kelas IIIA berjumlah 47 siswa, IIIB
berjumlah 51 siswa.
- Sampel
Sampel
pada penelitian ini adalah siswa kelas IIIA dan IIIB SDN Mangkubumen No. 16
Surakarta dengan jumlah 47 siswa kelas IIIA dan 51 siswa kelas IIIB.
- Sampling
Suatu
analisis penelitian didasarkan pada data sampel sedangkan kesimpulannya nanti
akan diterapkan pada populasi maka sangatlah penting untuk memperoleh sampel
yang representatif bagi populasinya.
Sutrisno
Hasi (1978 : 75) sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel.
Margono
( 2007:123 ) teknik sampling adalah cara menentukan sampel yang jumlahnya
sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data dalam penelitian
dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang
representatif.
Dalam
penelitian ini, teknik menentukan sampel ( sampling
techniques ) menggunakan teknik random sampling. Sutrisno Hadi (1978 : 75)
Ramdon Sampling adalah pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu.
Dalam random sampling semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota
sampel. Adapun cara atau (procedure)
yang digunakan untuk random sampling dalam penelitian ini adalah dengan cara undian
dari siswa kelas III SDN Mangkubumen No. 16 Surakarta yang menpunyai nilai matematika
rendah pada waktu tes (sumatif) semester 1 tahun ajaran 2010/2011 sehingga
siswa yang diambil sebagai sampel adalah siswa yang berkesulitan belajar
matematika.
C.
Variabel Penelitian
Dalam
objek penelitian ini peneliti ingin meneliti apakah benar bahwa model
pembelajaran terarah dan media pembelajaran puzzle dapat meningkatkan prestasi
belajar matematika bagi anak yang mengalami kesulitan belajar matematika, maka
yang menjadi objek penelitian adalah pembelajaran terarah dan media
pembelajaran puzzle dan prestasi belajar matematika siswa yang mengalami
kesulitan belajar matematika. Maka model pembelajaran terarah dan media puzzle
dan prestasi belajar matetatika siswa merupakan variabel penelitian. Baik model
pembelajaran terarah dan media puzzle maupun prestasi belajar matematika anak
yang berkesulitan belajar matematika dapat diukur, digambarkan dalam bentuk
angka dan dikategorikan sebagai variabel interval.
Variabel
interval adalah variabel yang mempunyai jarak, jika dibanding dengan variabel
lain, sedang jarak itu bisa diketahui dengan pasti. (Arikunto,S., 2006 : 116)
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan eksperimen. Kelompok eksperimen
adalah anak yang mengalami kesulitan belajar matematika dengan model
pembelajaran terarah dan media puzzle, sedangkan kelompok control pembanding
adalah anak yang mengalami kesulitan belajar matematika dengan model
pembelajaran konvensional.
Dalam
penelitian ini terdapat variabel yang mempengaruhi dan variabel akibat. Variabel
yang mempengaruhi disebut variabel bebas, variabel penyebab atau independent variable (X), sedangkan variabel
akibat disebut variabel tidak bebas, variabel tergantung, variabel terikat atau
dependent variable (Y). Variabel
bebas pada penelitian ini adalah model pembelajaran terarah dan media
pembelajaran puzzle, sedangkan variabel bebas pada penelitian ini adalah
prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika.
D.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data merupakan cara yang dipakai untuk, mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam
rangka pengujian hipotesis. Menurut Suharsimi Arikunto secara garis besar
teknik pengumpulan data digolongkan menjadi dua macam, yaitu : (1) Tes, (2) Non
Tes. (1997 : 138).
1.
Tes
Tes
adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang dugunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat yang
dimiliki oleh individu atau kelompok. Adapun macam-macam tes antara lain :
a.
Tes kepribadian
atau personality test, yaitu tes yang
digunakan untuk mengungkap kepribadian seseorang.
b.
Tes bakat atau aptitude test, yaitu test yang digunakan
untuk mengukur atau mengetahui bakat seseorang.
c.
Tes intelegensi
atau intelligence test, yaitu tes
yang digunakan untuk mengadakan estimasi atau perkiraan terhadap tingkat
intelektual seseorang dengan cara memberikan berbagai tugas kepada orang yang
akan diukur intelegensinya.
d.
Tes sikap atau attitude test, yang sering juga disebut
dengan istilah skala sikap, yaitu alat yang digunakan untuk mengadakan
pengukuran terhadap berbagai sikap seseorang.
e.
Teknik proyeksi
atau projective technique. Istila projective technique ini mulai
dipopulerkan oleh L.K. Frank Tahun 1939 di dalam bukunya : “Projective Methods
for The Study of Personality ( dikutip dari Barg & Gall ).
f.
Tes minat atau measures of interes, adalah alat untuk
menggali minat seseorang terhadap sesuatu.
g.
Tes prestasi
atau achievement test, yaitu test
yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu.
2.
Non Tes
Adapun
teknik pengumpulan data dengan non test, antara lain :
a.
Angket atau
kuesioner (questionnaires)
Kuesioner
adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi
dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang
diketahui.
b.
Interviu (interview)
Interviu
yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuisioner lisan, adalah sebuah
dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari
terwawancara.
c.
Observasi
Di
dalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula dengan
pengamatan, meliputi kegiatan pembuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan
menggunakan seluruh alat indera, jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui
penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap.
d.
Skala bertingkat
(retings) atau rating scale.
Rating
atau skala bertingkat adalah suatu ukuran subjektif yang dibuat berskala.
e.
Dokumentasi
Dokumentasi, dari asal kata dokumen,
yang artinya barang-barang tertulis. Di dalam melaksanakan teknik dokumentasi,
peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.
Oleh karena dalam penelitian
ini peneliti ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh pembelajaran terarah dengan
media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa yang mengalami
kesulitan belajar matematika maka peneliti menggunakan teknik dokumentasi dan tes
dalam pengumpulan datanya.
1. Teknik Tes
Menurut
Amir daren Indrakusuma (Suharsimi Arikunto) menyatakan bahwa “Tes adalah suatu
alat atau prosedur yang sistematis dan objektif untuk memperoleh data-data atau
keterangan-keterangan yang diinginkan tentang seseorang, dengan cara yang boleh
dikatakan tepat dan cepat” (2001 : 32). Juga Muchtar Bukhori (Suharsimi
Arikunto) menyatakan bahwa “Tes adalah suatu percobaan yang diadakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada seseorang
murid atau kelompok murid”(2001 : 32).
Dengan
pengertian di atas maka tes mempunyai fungsi ganda yaitu untuk mengukur siswa
dan untuk mengukur keberhasilan program pengajaran.
Sehubungan
dengan pengertian dan fungsi tes, dan sebagaimana rancangan eksperimen yang
digunakan dalam penelitian ini, maka data yang dikumpulkan dari tes yang
diberikan sebelum (Pre Test) dan
sesudah (Post Test) perlakuan yaitu
pemberian model pembelajaran terarah dengan media puzzle pada kelompok
eksperimen dan tanpa perlakuan sebagai kelompok kontrol.
2. Dokumentasi
Sesuai
dengan pengertian di atas, dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan
dokumen nilai Tes parallel Semester I kelas III tahun akademik 2010/2011 di SD
Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta dan dokumen Nilai Ulangan Harian Kelas III
Semester II bulan pertama mata pelajaran matematika, sehingga dapat diketahui
anak yang memiliki nilai di bawah rata-rata kelas.
3. Instrumen
Pengumpulan Data
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes prestasi (achievement test). Menurut Suharsimi Arikunto (1997) bahwa “Test
prestasi (achievement test) adalah
tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari
sesuatu” (h. 140).
a.
Data Tes
Tes
sebagai pengumpul data yang dibedakan menjadi dua yaitu tes baku dan tes buatan guru, tes prestasi dalam
penelitian ini termasuk buatan guru karena item-item tes dibuat sendiri oleh
peneliti yang berfungsi untuk menilai kemajuan siswa dalam hal pencapaian hal
yang dipelajari.
Menurut
Suharsimi Arikunto bahwa “Tes dibedakan atas dua bentuk tes yaitu tes subjektif
dan tes objektif” (2001 : 162).
1) Tes Subjektif
Pada umumnya tes subjektif
berbentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar
yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Ciri-ciri
pertanyaannya didahului dengan kata-kata seperti : uraikan, jelaskan, mengapa,
bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan sebagainya.
2) Tes Objektif
Tes
objektif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara objektif.
Syarat
tes yang baik :
Tes
yang akan digunakan dalam penelitian harus memenuhi syarat tes yang baik.
Menurut Suharsimi Arikunto (2001 : 57). “Tes yang baik harus memenuhi syarat
sebagai berikut : tes harus valid, reliable, distandarisasikan, objektif, dan
harus mudah digunakan”.
Dalam
penelitian ini, tes yang akan digunakan akan diuji validitas dan
reliabilitasnya.
1)
Tes harus valid
Tes
harus valid artinya tes yang dibuat hendaknya dapat mengukur apa yang hendak
diukur. Tes
yang disusun harus sesuai dengan materi yang pernah diajarkan. Adapun uji
validitas yang digunakan adalah uji validitas internal, yaitu dengan
mengkorelasikan masing-masing batas soal dengan nilai total item tes.
2)
Tes harus
reliable
Tes
harus reliable artinya, bahwa tes itu harus dapat memperoleh hasil atau
nilai-nilai yang sama meskipun diberikan berulang kali. Dengan kata lain dapat selalu
menunjukkan hasil konstan atau sama. Reliabilitas
dapat menggunakan teknik : korelasi internal atau teknik ulangan, teknik
parallel, dan teknik belah dua.
b.
Bentuk Tes yang Dipakai
Bentuk
tes dalam penelitian ini adalah tes objektif. Tes objektif adalah suatu tes
yang jawabannya sudah pasti. Maka penilaiannya tidak dipengaruhi oleh penyusun
tes atau tester. Jadi objektivitas dalam penilaiannya lebih besar dari pada
subjektivitas penilaian.
1)
Ciri-ciri tes
objektif
a)
Tugas yang akan dilaksanakan oleh siswa sudah jelas
b)
Mencakup jumlah pertanyaan yang cukup banyak
c)
Siswa tidak menggunakan keterampilan dalam memilih serta
menggunakan kata-kata untuk menyusun kalimat jawaban
d)
Jawaban untuk tiap pertanyaan sudah dinyatakan pasti
benar atau salah
e)
Nilai yang diberikan bersifat objektif.
2)
Bentuk-bentuk
tes objektif
a) Tes benar salah
b) Tes pilihan ganda
c) Tes menjodohkan
d) Tes isian atau melengkapi
e) Tes jawaban singkat
3)
Kelemahan atau
kekurangan tes objektif
a) Penyusunan soal lebih sukar
b)
Memungkinkan tester menjawab secara spekulatif.
Adapun jenis tes objektif yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain tes pilihan ganda dan tes isian dengan jumlah
total 30.
c.
Kisi-kisi Tes
Penyusunan
kisi-kisi merupakan langkah awal yang harus dilakukan dalam setiap penyusunan
tes. Menurut Sjafioden “Kisi-kisi adalah suatu pedoman yang memuat secara
lengkap kriteria (rambu-rambu) dari soal-soal yang akan disusun dalam tes”
(1994 : 88).
Adapun
konsep prestasi adalah materi pelajaran matematika kelas III semester 1 yang
terjabar dalam pokok bahasan terwakili dalam item-item tes sebagai alat ukur.
d.
Item Tes
Penyusunan
item-item sebagai alat ukur berdasarkan pada kisi-kisi yang telah dibuat.
e.
Pedoman Penilaian
Menurut
Noehi Nasution (1999) bahwa “Butir soal bentuk objektif dapat diperiksa dengan
mudah, cepat dan hasil penilaiannya objektif”(h. 22).
Adapun
cara mengolah skor dihitung S = R artinya skor terakhir dihitung jawaban yang
benar saja (Suharsimi Arikunto, 2001 : 175).
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan jenis tes objektif, karena dengan tes
tersebut sifat objektifitasnya lebih besar dalam menentukan hasil pengujian
keberhasilan belajar siswa. Ditambah lagi norma penilaiannya sudah jelas.
Adapun jenis tes objektif yang digunakan antara lain tes pilihan ganda dan tes
isian dengan jumlah total 30.
f.
Ujicoba Tes
Untuk
mengetahui valid atau tidaknya suatu tes, dan reliable tidaknya tes tersebut,
maka tes yang disusun harus diujicobakan lebih dahulu kepada siswa lain. Dalam
penelitian ini try out dilaksanakan
pada siswa-siswi kelas III SD Negeri Mangkubumen no. 16 Surakarta diambil 5 siswa tiap kelasnya dari
2 kelas (III A dan III B) yang berkesulitan belajar di tiap kelas jadi jumlah
siswa-siswi sebanyak 10 siswa. Siswa yang diambil menjadi sampel uji validitas
instrument test di kelas tersebut memiliki kesamaan dalam prestasinya.
1) Uji Validitas
Untuk
mengetahui validitas suatu tes, maka hasil dari try out dengan menggunakan teknik statistik korelasi dengan rumus
korelasi product moment dengan angka
kasar, seperti yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto (2006 : 170) sebagai
berikut :
=
Keterangan :
koefisien korelasi antara variabel X
dengan variabel Y
N = jumlah
subjek yang diteliti
X = kelompok
item tiap nomor
Y = kelompok
item skor keseluruhan item
2) Uji Reliabilitas
Untuk
mengetahui apakah tes yang disusun mempunyai sifat reliable atau tidak, maka
data hasil tes tersebut diolah dengan korelasi product moment dengan rumus Spearman Brown, seperti dikemukakan
oleh Suharsimi Arikunto (2006 : 180) sebagai berikut :
Keterangan :
= reabilitas instrument
=
yang disebutkan sebagai
indeks korelasi antara dua belahan instrument
X = item
ganjil
Y = item genap
E.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pola eksperimen Simple Randomized Design atau disingkat
Pola-pola S-R, bertitik tolak dari landasan simple
random sampling :dari suatu populasi yang terbatas atau dari sub-populasi
secara langsung ditugaskan subyek-subyek ke dalam kelompok eksperimen (K.E.).
dan kelompok kontrol (K.K.) secara ramdom. Sampel-sampel yang diperoleh dengan
sampling semacam ini disebut simple
ramdom samples (Sutrisno Hadi, 1978:442)
Penelitian ini menghitung
perbedaan prestasi belajar matematika anak berkesulitan belajar matematika yang
mendapat perlakuan model pembelajaran terarah dengan media pembelajaran puzzle
dengan anak yang tidak mendapat perlakuan model pembelajaran terarah dan media
pembelajaran puzzle (model pembelajaran konvensional) pada siswa kelas III yang
berkesulitan belajar di SD Negeri Mangkubumen Kidul No. 16 Surakarta Tahun
Akademik 2010/2011.
Untuk menguji
hipotesis, maka data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik
statistik perbedaan rata-rata dengan langkah sebagai berikut : setelah
eksperimen selesai dilakukan, diadakan test akhir (post test) bagi kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol. Hasilnya untuk mengetahui perbedaan antara hasil pre-test dengan post-test sekaligus untuk menguji hipotesis yang penulis ajukan.
Yang akan kita nilai
nanti adalah perbedaan mean dan untuk menyelesaikan itu guna test
signifikansinya peneliti memakai t-test untuk
sampel terpisah (uncorrelated samples).
Data akhir analisis dengan
menggunakan teknik statistik t-test. Adapun rumus t-test menurut Sutrisno Hadi (1978:443)
sebagai berikut:
Untuk menggampangkan perhitungan rumus itu dapat
juga dituliskan seperti tersebut dibawah ini :
Keterangan :
:
Mean dari K.E.
: Mean dari K.K.
: deviasi nilai-nilai
individual
: deviasi nilai-nilai
individual
: jumlah
subyek K.E.
: jumlah
subyek K.K
Derajad kebebasan atau db untuk test signifikansi dalam t-test ini
adalah (Na + Nb - 2) atau (10 + 10 -2) = 18. Agar
signifikan atas dasar taraf signifikansi 5% maka nilai-t yang diperoleh itu
harus sama atau melebihi ± 2,101. Bilangan ini dapat kita lihat pada tabel
distribusi-t dalam kebanyakan buku-buku statistik ( Sutrisno Hadi, 1978 : 443
).
Langkah-langkah pengujian sebagai berikut :
- Menyusun
data dalam tabulasi
- Mencari
, , , untuk kelopok
eksperimen dan , , , untuk kelompok
kotrol
- Memasukkan
angka ke dalam rumus, akan ditemukan nilai-t
- Menentukan
hipotesa penelitian
Menarik kesimpulan, membandingkan harga to dengan
tt, dengan db 18 dan taraf signifikan 5%. Jika harga to >
dari tt maka harga to signifikan, dan berbarti ada
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
BAB IV
ANALISIS DATA
A.
Deskripsi Data
Data diperoleh dari siswa kelas
III sebanyak 10 siswa sebagai kelompok eksperimen (K.E), dan 10 siswa sebagai
kelompok pembanding atau kelompok kontrol (K.K), juga 10 siswa untuk uji coba
soal-soal tes (try out).
1.
Try Out
Soal try out sebanyak 35 soal. 20 soal pilihan ganda, 15 soal isian.
Hasil dari try out adalah untuk
menguji validitas dan reliabilitas soal-soal tes untuk pre tes dan post tes. Data
uji coba try out disajikan pada
lampiran 8.
Hasil perhitungan validitas
butir soal didapatkan 5 soal tidak valid yaitu nomor 5, 12, 19, 24, dan 31.
Soal yang tidak valid tidak diikutkan dalam soal pre tes dan post tes. Jadi
soal pre tes dan pos tes berjumlah sebanyak 30 soal. Data uji validitas butir
soal try out disajikan pada tabel 9. Rangkuman hasil perhitungan validitas
butir soal tes disajikan pada tabel lampiran 10.
Uji reliabilitas instrumen tes
hanya pada soal yang valid dengan menggunakan rumus Spearman-Brown, cara yang
dipakai yaitu membelah ganjil dan genap. Didapatkan hasil r11=
0,967, rt= 0,632, jadi r11 > rt. Maka dapat
disimpulkan bahwa instrumen sudah memenuhi kriteria reliabel yang sangat tinggi
(cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena
instrumen tersebut sudah baik). Penghitungan uji reliabilitas instrumen dapat
dilihat di lampiran 11.
2.
Rerata Skor
Matematika
Distribusi skor kemampuan awal
pada K.E mempunyai rerata 44,5 sedang K.K mendapatkan rerata 45,5.
Setelah diberi perlakuan dengan
model pembelajaran terarah bagi K.E mendapatkan rerata 71 dan pada K.K tidak
diberi perlakuan atau pembelajaran secara konvensional mendapatkan rerata 60.
3.
Distribusi
Frekuensi Skor Kemampuan Awal
Hasil pre test setelah
dianalisis didapatkan nilai terendah 25 dan nilai tertinggi 60. Distribusi
frekuensi skor kemampuan awal K.E disajikan pada tabel 2 dan distribusi skor
kemampuan awal K.K disajikan pada tabel 3.
4.
Distribusi
frekuensi Skor Kemampuan Akhir
Hasil post test setelah
dianalisis didapatkan nilai terendah 45 dan nilai tertinggi 95 . Distribusi skor
kemampuan akhir bagi K.E dan K.K berturut-turut disajikan pada tabel 4 dan
tabel 5. Untuk memperjelas mengenai distribusi frekuensi skor tersebut
disajikan dengan grafik histogram mulai dari tabel 2 sampai dengan tabel 5.
Tabel 2 : Distribusi Frekuensi
Skor Kemampuan Awal Kelompok Eksperimen
Interval
|
F
|
cf dari bawah
|
cf dari atas
|
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
|
1
2
2
4
1
|
10
9
7
5
1
|
1
3
5
9
10
|
Jumlah
|
10
|
|
|
Dalam penelitian
ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok eksperimen sebelum
mendapat perlakuan sebagai berikut :
1.
Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (60-69) : 1 anak
2.
Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak
(50-59) : 4
anak
3.
Anak yang mendapat skor cukup sebanyak
(40-49) : 2 anak
4.
Anak yang mendapat skor rendah sebanyak
(30-39) : 2
anak
5.
Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(20-29) : 1 anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :
Gambar 2. Grafik Skor Kemampuan
Awal Kelompok Eksperimen
Tabel 3. Distribusi Frekuensi
Skoe Kemampuan Awal Kelompok Kontrol atau Kelompok Pembanding
Interval
|
F
|
cf dari bawah
|
cf dari atas
|
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 – 69
|
1
2
2
4
1
|
10
9
7
5
1
|
1
3
5
9
10
|
Jumlah
|
10
|
|
|
Dalam penelitian
ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok kontrol sebelum
mendapat perlakuan sebagai berikut :
1.
Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (60-69) : 1 anak
2.
Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak
(50-59) : 2 anak
3.
Anak yang mendapat skor cukup sebanyak
(40-49) : 2 anak
4.
Anak yang mendapat skor rendah sebanyak
(30-39) : 4
anak
5.
Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(20-29) : 1 anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :
Gambar 3. Grafik Skor Kemampuan
Awal Kelompok Kontrol
Tabel 4. Distribusi Frekuensi
Skor Kemampuan Akhir Kelompok Eksperimen
Interval
|
F
|
cf dari bawah
|
cf dari atas
|
50 – 59
60 – 69
70 – 79
80 – 89
90 – 99
|
1
3
3
2
1
|
10
9
6
3
1
|
1
4
7
9
10
|
Jumlah
|
10
|
|
|
Dalam penelitian
ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok eksperimen setelah
mendapat perlakuan (treatmen) yaitu
pre test, proses belajar mengajar model terarah dengan media puzzle dan post
test sebagai berikut :
1.
Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (90-99) : 1 anak
2.
Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak
(80-89) : 2
anak
3.
Anak yang mendapat skor cukup sebanyak
(70-79) : 3
anak
4.
Anak yang mendapat skor rendah sebanyak
(60-69) : 3
anak
5.
Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(50-59) : 1 anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :
Gambar 4. Grafik Skor Kemampuan
Akhir Kelompok Eksperimen
Tabel 5. Distribusi Frekuensi
Skor Kemampuan Akhir Kelompok Kontrol
Interval
|
F
|
cf dari bawah
|
cf dari atas
|
40 – 49
50 - 59
60 – 69
70 – 79
80 – 89
|
1
3
4
1
1
|
10
9
6
2
1
|
1
4
8
9
10
|
Jumlah
|
10
|
|
|
Dalam penelitian
ini diperoleh data prestasi belajar matematika kelompok kontrol setelah diberikan
pembelajaran secara konvensional (ceramah) sebagai berikut :
1.
Anak yang mendapat skor sangat tinggi sebanyak (80-89) : 1 anak
2.
Anak yang mendapat skor tinggi sebanyak
(70-79) : 1
anak
3.
Anak yang mendapat skor cukup sebanyak
(60-69) : 4
anak
4.
Anak yang mendapat skor rendah sebanyak
(50-59) : 3
anak
5.
Anak yang mendapat skor sangat rendah sebanyak(40-49) : 1 anak
Jika disajikan dalam grafik histogram sebagai berikut :
Gambar 5. Grafik Skor Kemampuan
Akhir Kelompok Kontrol
B.
Pengujian
Persyaratan Analisis
Perhitungan Perbedaan Kemampuan
Awal Mata Pelajaran Matematika antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol.
Hasil perhitungan lihat tabel lampiran 13:
Nilai yang didapat dari hasil
penelitian setelah dihitung, diperoleh sebagai data berikut :
Kelompok
Eksperimen
Na = 10
= 445
0 (bilangan konstan)
= 1222,5
|
Kelompok Kontrol
Nb = 10
= 455
0 (bilangan konstan)
= 1172,5
|
Dengan memasukkan angka-angka
itu ke dalam rumus t-test, maka nilai-t yang diperoleh = 0,194
Dengan cara seperti tersebut di bawah ini
:
=
=
Berdasarkan analisis data menurut
Sutrisno Hadi (1978:443) diperoleh kenyataan bahwa dengan derajat kebebasan
atau db untuk test signifikansi dalam t-test
ini adalah (Na + Nb - 2) atau (10 + 10 - 2) = 18 dan taraf signifikansi 5%
kritik tabel = 2101, maka t0 : tt = ±0,194 : 2101jadi ±0,194 < 2101. Sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima
dan H1 ditolak. Oleh karena itu tidak ada perbedaan secara
signifikan kemampuan awal prestasi belajar mata pelajaran matematika antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
C.
Pengujian Hipotesis
Dasar penelitian ini data yang
dianalisis adalah data kuantitatif yang berupa skor bidang studi matematika yang
diperoleh dari hasil post test KE dan KK. Dalam penelitian ini untuk menguji
apakah pernyataan yang dikemukakan dalam perumusan hipotesis dapat diterima
atau ditolak dengan menggunakan rumus t-test untuk sampel terpisah (uncorrelated samples).
Perhitungan nilai dapat dilihat
pada lampiran 14.
Nilai-nilai yang didapat dari
hasil penelitian setelah dihitung diperoleh sebagai berikut :
Kelompok
Eksperimen
Na = 10
= 710
0 (bilangan konstan)
= 1390
|
Kelompok Kontrol
Nb = 10
= 600
0 (bilangan konstan)
= 1000
|
Angka-angka tersebut dimasukkan
ke dalam rumus t-test sebagai berikut :
=
=
Interprestasi dari hasil
analisis yang telah disajikan di atas menunjukkan bahwa angka terakhir uji
signifikansi perbedaan mean dengan rumus t-test pada model pembelajaran terarah
dengan media puzzle, pada taraf signifikansi 5% dan derajat kebebasan (db) = 18.
Dari data yang telah disajikan
diketahui harga tt = 2,101, sedang harga t0 sebesar = 2,136 telah signifikansi karena harga t0 > tt.
Dari hasil analisis t-test
dapat ditarik kesimpulan bahwa pada taraf signifikan 5%, diperoleh hasil t0
> tt. Berarti hipotesis yang menyatakan ”Ada pengaruh yang
signifikan model pembelajaran terarah dengan media puzzle terhadap prestasi
belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar matematika kelas III SD
Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik 2010/2011” diterima,
walaupun selisih antara t0 dan tt sedikit.
D.
Pembahasan Hasil
Analisis Data
Faktor-faktor yang mempengaruhi
proses dan hasil belajar dapat diikhtisarkan sebagai berikut :
1.
Luar
a.
Lingkungan
1)
Alam
2)
Sosial
b.
Instrumental
1)
Kurikulum/ bahan pengajaran
2)
Guru/ pengajar
3)
Sarana dan fasilitas
4)
Administrasi/ Managemen
2.
Dalam
a.
Fisiologi
1)
Kondisi Fisik
2)
Kondisi Panca Indera
b.
Psikologi
1)
Bakat
2)
Minat
3)
Kecerdasan
4)
Motivasi
5)
Kemampuan Kognitif
Model pembelajaran terarah
dengan media puzzle termasuk instrumen input atau faktor-faktor yang sengaja
dirancang dan dimanipulasikan yang merupakan faktor yang sangat penting pula
dan paling menentukan bagaimana proses belajar mengajar itu akan terjadi di
dalam diri peserta didik (Ngalim Purwanto, 1990: 107).
Dalam penelitian Atika Nur
Jannah, 2008 yang berjudul PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN CROSSWORD PUZZLE
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA DITINJAU DARI MINAT DAN AKTIVITAS BELAJAR
MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP N I MOJOTENGAH WONOSOBO TAHUN AJARAN 2007/2008 membuktikan bahwa pembelajaran matematika
dengan menggunakan strategi pembelajaran crossword puzzle, minat dan aktivitas
belajar siswa berpengaruh terhadap hasil belajar siswa sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar matematika pada pokok bahasan bilangan bulat(diakses
http://etd.eprints.ums.ac.id/181/).
Berdasarkan pembahasan di atas
dan hasil analisis data dengan taraf signifikansi 5%, t0 > tt.
Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti diterima kebenarannya. Dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah
dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan
belajar matematika kelas III SD Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik
2010/2011. Sehingga model pembelajaran terarah dengan media puzzle merupakan
salah satu usaha dalam rangka meningkatkan prestasi belajar anak yang mengalami
kesulitan belajar matematika.
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A.
Simpulan Penelitian
Dari hasil analisis data dengan
menggunakan rumus t-test mendapat nilai yang diperoleh t0 sebesar 2136 sedangkan tt
dengan db = 18 dan taraf signifikansi 5% adalah 2101.
Dengan demikian nilai t0
> tt atau t0 lebih besar dari tt sehingga
yang menyatakan ” Ada pengaruh yang signifikan model pembelajaran terarah
dengan media puzzle terhadap prestasi belajar matematika bagi siswa
berkesulitan belajar matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16
Surakarta Tahun Akademik 2010/2011” teruji kebenarannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa setelah
siswa mendapat pembelajaran terarah dengan media puzzle prestasi belajar matematika
lebih meningkat daripada pembelajaran konvensional (ceramah). Hal ini dapat
dilihat dari hasil nilai pre test dan nilai post test kelompok eksperimen (K.E)
dan kelompok kontrol (K.K). Adapun nilai rerata pre test K.E 44,5 sedangkan K.K
45,5 dan nilai rerata post-test K.E 71 sedangkan K.K 60 . Jadi dapat disimpulkan
bahwa dengan diberikannya model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak berkesulitan belajar
matematika kelas III SD Negeri Mangkubumen No. 16 Surakarta Tahun Akademik
2010/2011.
B.
Implikasi Hasil
Penelitian
Hasil penelitian
ini membuktikan bahwa model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat
meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak yang mengalami kesulitan
belajar matematika.
Dalam ranah yang
lebih luas, bahwa model pembelajaran terarah dengan media puzzle dapat
digunakan oleh para guru kelas di sekolah dasar pada berbagai bidang studi.
C.
Saran
Dari hasil penelitian dapat disarankan sebagai berikut :
1. Dalam rangka
mengidentifikasi anak yang mengalami kesulitan belajar matematika, pihak
sekolah hendaknya bekerja sama dengan tim ahli atau psikolog untuk mengadakan
tes intelegensi.
2. Kepala Sekolah
hendaknya memberikan solusi yang tepat kepada guru dalam mengatasi kesulitan
anak yang berkesulitan belajar matematika misalnya dengan memberikan bimbingan
khusus secara individual atau kelompok.
3. Guru kelas
hendaknya selalu memperhatikan kondisi proses belajar pada siswa yang mengalami
kesulitan belajar matematika dan berupaya untuk mengatasi kesulitannya dengan
strategi belajar yang tepat serta media belajar yang mendukung. Salah satunya
pembelajaran terarah dengan media puzzle.
4. Dalam menangani
anak yang berkesulitan belajar matematika dan agar dapat mengembangkan
potensinya secara optimal hendaknya orang tua selalu aktif untuk bekerja sama
dengan pihak sekolah.