Menghidupkan Van
Gogh
Judul : Lust for Life
Penulis: Irving Stone
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta; Jakarta , Bandung
Cetak :
Juli, 2012
Tebal : 574 halaman
“Siapa pun yang membaca Lust for Life akan menemukan fakta-fakta penting yang berkaitan
dengan kehidupan Vincent Van Gogh,” ungkap Christian Science Monitor. Dan,
“Siapa yang pernah merasakan kesepian—dan yang belum pernah?—akan dapat
memahami jiwa yang tersiksa ini (jiwa Vincent Van Gogh),” imbuh Kirk Douglas,
aktor peraih Oscar yang memerankan Vincent Van Gogh dalam film yang diangkat
dari novel ini.
Kedua orang tersebut memberi pengantar pada novel
biografis karya Irving Stone ini dengan penuh impresif. Irving Stone sendiri
menghadirkan ‘keberadaan’ dan keadaan Vincent Van Gogh dengan kombinasi luar
biasa, yakni penelitian biografi orisinal dan penulisan novel dengan ‘gaya
puitis dan menyentuh.’ Dan, seperti yang dipaparkan Christian Science Monitor
tadi, pembaca akan menemui fakta-fakta penting seperti berikut ini.
Pembaca akan mengetahui Vincent Van Gogh adalah pelukis
termahal di dunia yang mati sebagai orang terbuang (seperti yang telah
dicantumkan dalam kaver depan novel ini). Namun, sebelum ia menjadi pelukis,
Vincent pernah menjadi pramuniaga di sebuah kantor cabang London dari Goupil
and Company, galeri barang seni dan ukiran.
Kisah cinta pertama Van Gogh dengan Ursula saat di London
menjadi titik tolak bagi dia sebagai ‘orang terbuang’. Ursula menolak cinta Vincent.
Hinaannya telah menariknya keluar dari kehidupan yang biasa dan membuatnya
menjadi sampah masyarakat.
Penolakan cinta Ursula pada Vincent berimbas ke pekerjaannya.
Ia mulai gerah dan tak bergairah dengan semua keadaan yang dialami di galeri,
termasuk tak mulai ramah dengan konsumennya. Lalu, ia pulang dan menuruti
nasihat orang tua untuk sekolah teologi.
Vincent, akhirnya menjadi pengabar Alkita. Dimana,
eksistensinya di masyarakat mulai diakui. Sebab, ia menjadi ‘wakil Tuhan’.
Namun, peristiwa yang tidak menyenangkan tetap menghampirinya, hingga akhirnya,
Vincent mengikrarkan dirinya untuk menjadi pelukis.
Dan, di saat ia menjadi pelukis, tragedi demi tragedi
justru terus menghampirinya. Ia, jarang memiliki uang. Masa depan menjadi pelukis
pun tak pasti. Salah satu aktivitasnya hanya berjalan di padang rumput gersang
di antara pondok-pondok beratapkan jerami; mengamati para pemotong kayu yang
sibuk di atas sepetak tanah, di mana sebatang pohon cemara telah ditebang;
melenggang santai di jalan menuju Roozendaal; melewati sebuah gereja Protestan
dengan sebuah penggilingan tepat di seberangnya di tengah hamparan rumput dan
pepohonan elm di halaman gereja (hal: 140). Begitulah, yang dilakukan Vincent
dari pagi hingga hari menjelang malam. Kegiatan itu dilakukan tak hanya di
Borinage saja. Ia melakukan kegiatan hampir seperti itu, saat ia tinggal di daerah
Etten, Den Haag, Nuenen, Paris, Arles, St. Remy, dan Auvers.
Bagi masyarakat yang memiliki pikiran sempit terhadap kegiatan
Vincent seperti itu, menganggapnya sebagai orang aneh dan sebuah tontonan.
Melukis, bagi mereka adalah segala sesuatu yang ganjil. Pakaiannya, tingkah
lakunya, janggut merahnya, dan kenyataan hidup bahwa dia pengangguran. Lalu, kegiatannya
duduk-duduk terus di padang serta mengamati benda-benda di sekitarnya, semua itu, yang menjadikan Vincent disebut
oleh penduduk sekitar sebagai ‘fou’ (orang gila).
Salah satu kata-kata yang bisa menjadi obat hati Vincent
adalah Weissenbruch, kritikus seni dari Den Haag. Weissenbruch berkata, “Orang
yang tidak pernah menderita tidak punya apa-apa untuk dilukis Van Gogh. Kebahagiaan
adalah hal yang bodoh; hanya bagus untuk sapi dan para pedagang. Para pelukis
bertahan dengan kepedihan; kalau kau lapar, takut dan sedih, berterima kasihlah”
(hal. 249).
Saat itu juga, Vincent mulai bersemangat dan kegiatan
melukisnya semakin berkembang. Dia melukis dengan sangat cepat sehingga tagihan
kanvasnya sangat banyak; sekali pakai, dia menghabiskan cat minyak yang mungkin
sama dengan yang dihabiskan Mauve (paman Vincent di Den Haag yang telah menjadi
pelukis terkenal) selama dua bulan. Ia tak bisa bekerja dengan lambat; uangnya
menguap dan studionya dipenuhi dengan lukisan (hal. 275).
***
Dalam novel biografis ini pula, dikisahkan pertemuan
Vincent dengan teman-teman sesama pelukis, seperti Toulouse-Lautrec, Paul
Gauguin, Georges Seurat, Rousseau, Paul Cezanne. Dengan mereka juga, Vincent
mulai mengenal lukisan dari pelukis-pelukis tenar yang telah mendahuluinya,
seperti Monet, Degas, Manet, Pissaro, Guillaumin, Sisley, Delacroix. Ia pun
semakin paham tentang pengetahuan dan teknik melukis yang beragam. Seperti, Cezanne
melukis dengan mata; Lautrec melukis dengan amarahnya; Seurat melukis dengan
otaknya, Rousseau melukis dengan imajinasinya; Gauguin melukis dengan hasrat
seksualnya; dan Vincent sendiri, melukis dengan hatinya.
Pembaca pun akan mengetahui keinginan terdalam Vincent dalam
melukis. “Ketika aku melukis ladang jagung, aku ingin orang-orang merasakan
atom di dalam jagung yang mendorong pertumbuhan akhir mereka dan meledak.
Ketika aku melukis apel, aku ingin orang merasakan sari buah apel itu mendesak
keluar menembus kulitnya, biji-biji di bagian tengahnya berjuang keras keluar
untuk keberhasilan mereka sendiri!” Ungkap Vincent dalam novel ini. Maka, tak
salah bila dalam novel ini, ia dijuluki oleh G. Albert Aurier—seorang kritikus
seni—sebagai ‘pelukis satu-satunya yang melihat warna benda-benda dengan
kualitas yang setara dengan batu permata.’
Akhirnya, dari novel inilah, pembaca akan mengetahui tentang
para pelukis di dunia yang diusik, sakit, tak punya uang, dihindari, dan diejek
oleh sesama manusia lain, kelaparan serta tersiksa hingga hari kematian
mereka. Pembaca pun akan lebih tahu
bahwa—meminjam ungkapan Paul Gachet, teman Vincent paling setia di Eropa (hal.
567)— Vincent tidak mati. Dia tidak akan pernah mati. Cinta, kejeniusan, dan
keindahan luar biasa yang telah diciptakan akan hidup selamanya, memperkaya
dunia. Lukisan-lukisannya merupakan makna baru dari kehidupan. Vincent orang
hebat, pelukis yang hebat, dan filsuf yang hebat. Dia menjadi martir karena
kecintaan pada seni.
Oleh: Budiawan Dwi Santoso, penulis
bergiat di Bilik Literasi Solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar