Kamis, 15 Desember 2011

Hubungan Antara Manusia,Filsafat dan Pendidikan


HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, MANUSIA DAN PENDIDIKAN

(Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia)
Oleh : epinawey

A.      Pendahuluan
Sistem à merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan.
Nilai à suatu yang dianggap baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia.
Karena manusia merupakan makhluk budaya dan makhluk sosialàselalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual)à maka manusia dalam interaksi dan interdependensinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Dalam Pendidikan: manusia sebagai subjek pendidikan à siap untuk mendidik dan sebagai objek pendidikan à siap untuk dididik. Berhasil atau tidaknya usaha pendidikan tergantung pada jelas atau tidaknya tujuan pendidikan. Di Indonesia : tujuan pendidikan berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Filosofi pendidikan pancasila: usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi.
Dalam rangka mengembangkan sifat sosial, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990:12). Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi societas, ibiius “di mana ada suatu masyarakat, disana pasti ada hukum”.  Dengan kata lain, sebagaimana pandangan aliran progressivisme, nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul (Muhammad Noor Syam, 1986:127). Sehingga Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan aliran progressivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”.
Latar Belakang Beragamnya Nilai yang Berlaku pada Mayarakat

I.                    Manusia berhubungan dengan sesama dan alam semesta
(habl min al-nasional wa habl min al-alam)


 

II.                  Tidak mungkin melakukan sikap yang netral


 

III.                Karena watak dasar manusia (watak manusiawi) : 
kecenderungan untuk cinta, benci, simpati, dll.


 

IV.                Melakukan suatu penilaian
Bentuk penilaian manusia ada 2:
a) berdasarkan asas-asas objektif rasional, b) subjektif emosional
 

V.                  Muncul suatu sikap

(Imam Barnadib, 1987:31-32)

B.      Pengertian Penilaian
Secara Umum: Segala sesuatu dalam alam raya ini bernilai (cakupan tidak terbatas) àaksiologi.
Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenai masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetap tidak dapat mengingkari efektivitas nilai-nilai di dalam kehidupannya. Hal ini dipertajam oleh kaum penganut sofisme, dengan tokohnya Pitagoras (481-441 SM), berpendapat bahwa nilai bersifat relatif tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987: 133). Sedangkan menurut idealisme, nilai itu bersifat normatif dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Dapat disimpulkan bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain. 

C.      Bentuk dan Tingkat-tingkat Nilai
Nilai merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek manusia. Sesuatu dianggap bernilai jika pribadi atau kelompok manusia itu merasa sesuatu itu bernilai. Dengan demikian, lepas dari perbedaan nilai, baik objektif maupun subjektif, tujuan adanya nilai adalah menuju kebaikan dan keluhuran manusia.
Brubecher membedakan nilai menjadi 2 bagian : (1) nilai intrinsik à nilai yang dianggap baik yang ada di dalam dirinya sendiri, (2) nilai instrumental à nilai yang dianggap baik, karena bernilai untuk orang lain.
Menurut aliran realisme , kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut. Namun, ada juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang, apakah itu efektif dan berfungsi: seperti nilai moral, nilai ekonomi, dsb.
Tingkat perkembangan nilai menurut Auguste Comte: (I) tingkat teologisà(2) tingkat metafisikà (3) tingkat positif, yaitu apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta.(Muhammad Noor Syam, 1986:132).

D.      Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.
Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan, seperti :
1.       Pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial,
2.       Pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan aktual,
3.       Pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif (normative philosophy).
Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988:40).
Oleh karena itu,dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada. Sebagai contoh, tujuan pendidikan bangsa Indonesia dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “Bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani-rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UU No. 20/2003 Bab II Pasal 3).
Memang keadaan masyarakat dapat diukur melalui pendidikan. Karena itu, kebobrokan masyarakat takkan dapat diperbaiki dengan cara apa pun kecuali dengan pendidikan (Plato). 

E.       Etika Jabatan
Fungsi dan tanggung jawab mendidik dalam masyarakat merupakan kewajiban setiap warga masyarakat. Setiap warga masyarakat sadar akan nilai dan peranan pendidikan bagi generasi muda, khususnya anak-anak dalam lingkungan keluarga sendiri. Secara kodrati, apa pun namanya, tiap orang tua merasa berkepentingan dan berharap supaya anak-anaknya menjadi manusia yang mampu berdiri sendiri. Oleh karena itu, kewajiban mendidik ini merupakan panggilan sebagai moral tiap manusia.
Yang jelas, kaum profesional ialah mereka yang telah menempuh pendidikan relatif cukup lama dan mengalami latihan-latihan khusus. Oleh karena itulah, dalam pendidikan, seorang guru harus mempunyai asas-asas umum yang universal yang dapat dipandang sebagai prinsip umum, seperti:
1.         Melaksanakan kewajiban dasar good will atau ikhtikad baik, dengan kesadaran pengabdian.
2.         Memperlakukan siapapun, anak didik sebagai satu pribadi yang sama dengan pribadinya sendiri.
3.         Menghormati perasaan setiap orang.
4.         Selalu berusaha menyumbangkan ide-ide, konsepsi-konsepsi dan karya-karya (ilmiah) demi kemajuan bidang kewajibannya.
5.         Akan menerima haknya semata-mata sebagai satu kehormatan.


Daftar Pustaka:
Jalaluddin dan Idi, Abdullah.2011.Filsafat Pendidikan.Jakarta:Raja Grafindo Persada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar