Kamis, 15 Desember 2011

Peran Media Televisi Meminggirkan Budaya jawa


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Hampir pasti bahwa Indonesia tida akan mampu membendung perkembangan teknologi komunikasi yang begitu pesat. Perkembangan itu pada gilirannya akan membawa perubahan pada konsepsi komunikasi itu sendiri.
Pakar komunikasi massa, seperti Prof.DR.Jusuf Hadimiarso, memandang globalisasi informasi sebagai bakteri yang dapat merusak tata kehidupan masyarakat sehingga perlu ada serum (vaksinasi) dengan penetrasi informasi tandingan.
Teknologi, menurut Pacey mengingatkan kita melalui bukunya yang berjudul The Culture of Teknology, pada dasarnya tidak selalu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara maksimal. Jika cara penggunaannya sudah menyimpang karena tidak mempunyai persiapan kognitif dan emosional, teknologi ibarat racun dalam secangkir anggur. Karena itu Pacey mengingatkan lagi, bahwa teknologi yang berhasil adalah yang tumbuh dari budaya serta kondisi yang akan datang.
Kebijakan pemerintah di bidang pertelevisian Indonesia, dengan deregulasi pertelevisiannya”, kita pandang sebagai langkah yang tepat. Munculnya televise swasta bukan saja dapat member warna kompetitif dalam era pertelevisian di dalam negeri, sehingga TVRI dipaksa bersaing dalam memperoleh pemirsanya, melaikan juga dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berkiprah dalam bidang pertelevisian.
Bidang production house di Idonesia masih relative baru, sehingga materi persiaran televisiannya masih mengandalkan produksi luar negeri. Padahal biaya untuk membuat produksi sendiri relative lebih murah.keterbatasan teknologi dan kecakapan di bidang produksi juga menyebabkan biaya yang tinggi. Untuk memproduksi Siti Nurbaya atau Sengsara Membawa Nikmat TVRI harus mengelurkan biaya yang bisa digunakan untuk membeli 10 judul film luar negeri (Redi Panuju,1994:58).
Dampak dari semakin banyaknya materi “asing” (teruama film) menimbulkan gelombang protes masyarakat, karena siaran-siaran itu dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Oleh sebab itu, siaran televise dikecam sebagai informasi yang “destruktif”. Tentu saja image semacam ini merugikan misi pertelevisian Indonesia yang menyandang predikat “ikut mensukseskan pembangunan”. Di samping siaran televise yang dimaksudkan sebagai kegiatan penerangan pemerintah, nilai persuasifnyadinilai tidak ada, bahkan justru mengundang sinisme dan kecurigaan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, misalnya, melontarkan protes ke SCTV karena menyuguhkan film Wonder Women yang dinilai mengeksploitasi naluri rendah seksual. Lantas Work With Yan juga diprotes karena mengandung pesan sponsor untuk menggunakan daging babi yang oleh sebagian besar masyarakat Muslim dikategorikan makanan haram.
Protes tersebut sebenarnya wajar saja, karena pengaruh media massa terhadap perubahan nilai terbukti sangat kuat. Para ulama dan masyarakat tentunya sangat khawatir, bahwa penetrasi informasi dari luar akan menjerumuskan masyarakat untuk menanggalkan identitasnya dan menggantikannya dengan unsur-unsur luar yang belum tentu relevan.
Penetrasi informasi ini menjadi suatu momok bagi bangsa Indonesia yang notabene Indonesia adalah bangsa yang mempunyai budaya-budaya lokal yang merupakan suatu nilai yang perlu dilestarikan, sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk membiarkan televise swasta berkembang dengan mencari format siaran yang mempunyai keunggulan ganda. Pertama, siaran itu relevan dengan system nilai bangsa Indonesia. Kedua, siaran itu mampu mengimbangi siaran luar negeri yang dipancarkan ke wilayah Indonesia.
Sekitar tahun 1991-1994 pertelevisian Indonesia (TVRI) memperbesar proporsi tayangnya yang berasal dari produksi dalam negeri. Sementara itu, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), dan Andalas Televisi(AN-TV), TV 7, Global TV, Trans TV, Indosiar, TV One, Metro TV muncul juga Stasiun TV Lokal seperti TA TV di Surakarta, Solo dan Jogja TV, yakni merupakan jaringan pertelevisian yang dikelola swata, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berprestasi.
Di Surakarta eksistensi Production House yaitu TA TV banyak memberi nilai positif untuk perkembangan dan melestarikan kebudayaan Jawa khususnya wilayah Solo dan Sekitarnya serta perperan aktif juga dalam bidang pendidikannya, sehingga pengetahuan masyarakat solo juga semakin maju dengan meminimalisir penetrasi nilai luar yang dapat meminggikan budaya Solo dan sekitarnya.

1.2.TUJUAN
1.2.1.      Dapat mendiskripsikan peranan Televisi sebagai media massa yang mempunyai andil dalam meminggirkan kebudayaan lokal Jawa.
1.2.2.      Dapat menjelaskan cara mengatasi dampak yang ditimbulkan dari Televisi dalam meminggirkan kebudayaan local Jawa.

1.3.RUANG LINGKUP MATERI
1.3.1.      Keberadaan Televisi
1.3.2.      Ampak Iklan Televisi
1.3.3.      Kebudayaan
1.3.4.      Pasang Surutnya Budaya Pengaruh Televisi
1.3.5.      Solusi Mempertahankan Budaya Lokal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Keberadaan Televisi
Masyarakat etnis sekarang semakin terpinggirkan, pada hal sebenarnya masyarakat etnis mempunyai identitas yang jelas. Bagaimana agar masyarakat etnis bisa eksis melalui teknologi informasi atau ditengah informasi global sekarang ini. Eksistensi Televisi di Jakarta dan Yogya ternyata tidak ada nilai tambah untuk budaya lokal. Itulah kegelisahan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X yang diungkapkan di depan Dewan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu yang lalu.

Dari perspektif pembangunan jati diri bangsa, kegelisahan Ngarso Dalem itu bukan sesuatu yang aneh. Dari semua media massa, televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, baru kemudian disusul surat kabar dan radio (Tabrani,2003). Menurut Tabroni, pengaruh televisi terhadap pola pikir masyarakat disebabkan karena televisi memiliki kemampuan mencitpakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya. Kekuatan dahsyat televisi melebihi media yang lain, mempengaruhi kehidupan dan emosi seseorang melalui gambar-gambar yang diperjelas dengan narasi. Makin menarik gambar yang ditampilkan, makin dalam pengaruh yang ditimbulkan. Berarti pemirsa akan lebih mengingat dan membayangkannya.

2.2. Dampak Iklan televisi
Masalah televisi terhadap perilaku manusia (masyarakat) sudah sejak lama menjadi perdebatan ahli komunikasi. Para penganut teori peluru sangat yakin bahwa efek media massa bersifat langsung, seketika, dan menentukan. Bahkan diasumsikan bahwa audiens sanga pasif dalam menerima informasi, sehingga informasi niscaya akan membentuk sikap, pola pikir, dan perilaku masyarakat. Teori tersebut dibantah oleh para penganut teori efek yang moderat (moderate effect thery), yang antara lain mengatakan bahwa media massa memang mempunyai pengaruh terhadap audiens tetapi sifatnya situasional dan kondisional. Kalupun pengaruhnya menjadi kuat, fungsinya hanyalah memperkuat kecenderungan yang sudah ada.

2.3.Kebudayaan
Kebudayaan merupakan sehimpunan nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya dijadikan acuan bagi perilaku warganya, dalam merespon berbagai gejala dan peristiwa kehidupan. Acuan itu berupa nilai-nilai, kebenaran, keindahan, keadilan, kemanusiaan, kebajikan. Di sisi lain nilai-nilai tersebut kemudian mewujud dalam bentuk peradaban, dimana terbangun norma-norma yang akan dijadikan tolok ukur bagi kepantasan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan. Penjabaran nilai kebudayaan menjadi norma peradaban dapat dipandang sebagai pengalihan dan sesuatu yang transenden menjadi sesuatu yang immanen.

2.4. Pasang Surutnya Budaya Pengaruh Televisi
Pasang-surutnya kebudayaan sepanjang sejarah kemanusiaan nyata sekali ditentukan oleh sejauh mana kebudayaan itu masih berlanjut sebagai kerangka acuan untuk dijabarkan melalui sesuatu tatanan normatif. Dalam era kontemporer ini, suatu kebudayaan sebagai sistem nilai dapat dengan mudah didesak oleh sistem nilai baru, sehingga kebudayaan yang lama kehilangan dayanya sebagai acuan untuk menjabarkan norma-norma perilaku. Pada titik ekstrem, menurut Bungin (2005), pengaruh televisi dan membawa masyarakat kearah kehancuran moral dan pandangannya. Terlihat bahwa televisi dapat mempengaruhi perilaku, sikap dan bergerak kearah penghancuran pandangan, moral, persepsi, kepribadian dan budaya umat manusia.
Budaya mempunyai karakter dinamis dan berkembang dalam diri masyarakat. Karena proses yang bersifat inheren tersebut maka bisa saja terjadi suatu saat kita akan terkaget-kaget dengan apa yang terjadi. Dan budaya itu tidak akan mudah, untuk tidak mengatakan mustahil, diputar kembali agar kembali pada kondisi semula, seperti yang diharapkan.
Arus informasi dan interaksi budaya berskala global melalui media elektronik sekarang perlu kita cermati sejauh mana signifikan pengaruhnya dalam budaya lokal. Dalam kaitan ini, pertemuan antar-budaya jangan terutama digambarkan sebagai pertemuan antara dua fihak belaka, melainkan terjadi dengan keterlibatan sejumlah fihak secara segera (instantaneous) serta serempak (simultaneous). Teknologi informasi dan komunikasi menjadi sarana mempercepat proses tersebut.
Agar tidak sekedar retorik, harapan berbagai tokoh akan lestarinya budaya lokal, harus diikuti dengan upaya nyata memberi ruang dan media bagi tetap berlangsungnya interaksi budaya dengan masyarakatnya. Pertemuan antar-budaya yang demikian intens, dan sering bagaikan Daud dan Goliath. Tanpa dukungan kuat dari otoritas media, maka sulit bagi budaya lokal untuk tetap bertahan. Budaya lokal atau budaya etnis akan bernasib seperti benda-benda bersejarah yang teronggok diam di museum-museum, tak ada lagi relevansinya dengan kehidupan nyata masyarakat. Budaya etnis menjadi benda mati, terasing dan tak ditemukan lagi dalam realitas.
Kehidupan budaya sangat ditentukan oleh tinggi-rendahnya derajat kesadaran budaya dan tanguh-rapuhnya tingkat ketahanan budaya masyarakat pendukungnya. Serbuan budaya asing dan budaya global melalui media menyebabkan dominasi budaya asing dalam atmosphere budaya asli, dan lambat laun mengalami adopsi sehingga budaya asing bermertamorfose menjadi ‘model’ untuk ditiru.
Kecenderungan meniru itu, dalam kelanjutannya bisa terpantul melalui berkembangnya gaya hidup baru yang dianggap superior dibandingkan dengan gaya hidup lama. Berkembangnya gaya hidup baru itu dapat menimbulkan kondisi sosial dimana berlaku berbagai norma acuan perilaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Perubahan gaya hidup yang ditiru dan internalisasi budaya asing bisa berkelanjutan dengan timbulnya gejala keterasingan dari kebudayaan sendiri. Kondisi inilah yang sekarang sedang terjadi di tengah masyarakat kita, khususnya generasi muda.
Maraknya kegiatan entertainment, lebih-lebih didukung media massa elektronik misalnya, apakah hanya sekedar beresensikan nilai-nial rekreatif, atau justru sudah menjadi budaya baru yang derivasinya muncul dalam berbagai gaya hidup baru, seperti hilangnya nilai kesederhanaan, merosotnya etos perjuangan, merebaknya budaya instan, bahkan menguatnya hedonisme di tengah masyarakat. Kalau yang terakhir yang terjadi, maka persoalannya menjadi sangat serius, karena kontraproduktif terhadap perlunya sebuah bangsa yang bisa kompetitif dalam era global sekarang ini.
Persaingan merebut pangsa pasar antar stasiun TV, akhirnya berujung pada pilihan format program dan pola acara masing-masing stasiun. Iklan nampaknya menjadi rejim baru penguasa dunia media dan informasi abad ini. Dengan dana yang melimpah, iklan menjadi kekuatan yang mampu membuat hijau kuningnya program-program acara di televisi atau radio. Dampaknya, program acara akan tayang atau tidak, berlanjut atau tidak, tergantung pada rating dan itu tidak ada kaitannya dengan dimensi moral dan etika pada sajian televisi swasta. Apalagi sulit mengukurnya, karena sifatnya yang abstrak dan multi persepsi. Moral dan etika menjadi wilayah abu-abu bagi media, sulit untuk men-judge-nya, dan ini menjadi peluang media lebih leluasa mengeksploitasinya.
Kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai budaya bangsa sangat masuk akal bila dikaitkan dengan profil pemirsa yang setia berada di depan pesawat TV. Mengacu pada data SRI (Survey Reseach Indonesia), penonton acara televisi yang paling setia di negeri ini justru pelajar, kelompok usia yang sangat rawan terhadap berbagai pengaruh itu. Menurut SRI pula, jika karyawan dan ibu rumah tangga hanya menghabiskan 2,3 hingga 2,8 jam sehari di depan pesawat televisinya, maka pelaiar menghabiskan waktunya 3,1 jam sehari di depan pesawat tersebut. Dengan waktu sebanyak itu, bisa dibayangkan seberapa besar pengaruh yang bisa diakibatkan acara-acara TV yang tidak pro budaya lokal, namun tak hentinya menampilkan adegan kekerasan (fisik dan psikhologis), gaya hidup baru yang cenderung semakin permisif dan melemahkan peranan norma dan nilai budaya lokal untuk digantikan dengan nilai baru.
Rekayasa budaya merupakan sebuah upaya yang perlu dilakukan. Persoalannya, dan ini realita yang terjadi, budaya lokal atau tradisi dan media elektronik di bawah penguasaan rejim periklanan sekarang ini, ibaratnya air dan minyak. Pada hal, seperti diuraikan didepan, media massa elektronik mampu membentuk trend setter baru melalui acara-acaranya, dan sangat besar kekuatannya dalam pembentuk budaya pop di masyarakat era sekarang. Hanya TV RI atau TV lokal yang mau menampilkan budaya etnis atau budaya lokal dalam tayangannya. TV Jogja, dengan semboyan “ Media Publik Kita”, berusaha mengangkat konten budaya lokal, melalui berbagai acaranya seperti Angkringan, Pangkur Jenggleng, Karang Tumaritis, dan lain-lain. Jogja TV berusaha mewujudkan trade mark-nya “ Tradisi Tiada Henti “, melalui berbagai acara yang dikemas dalam nuansa budaya, seperti Langen Swara, Langen Laras, Geguritan, Kawruh, Menembus Batas, dan lain-lain. Di Surakarta juga muncul Stasiun TV TA TV yang sangat menjunjung tinggi nilai budaya solo dan nilai pendidikannya. Kita perlu memberi apresiasi atas upaya mengangkat budaya lokal oleh ketiga stasiun televisi tersebut.

2.5. Solusi Mempertahankan Budaya Lokal
Upaya membangun budaya lokal menjadi mainstream penayangan televisi memerlukan komitmen politik dan sekaligus kesamaan visi didalam masyarakat. Dalam bahasa yang lebih sederhana, transformasi budaya perlu dikawal, tidak bisa dibiarkan ikut mekanisme pasar. Kepekaan semua pihak terhadap fenomena-fenomena baru perlu ditumbuhkembangkan. Dan yang jauh lebih menentukan komitmen media untuk mengangkat konten budaya lokal dalam program-program yang diproduksinya. Kemasan baru mungkin perlu dilakukan, agar budaya lokal bisa diterima oleh generasi muda.
Persoalannya lain, dari perspektif hukum, apakah UU Penyiaran mampu berfungsi sebagai regulasi yang mendukung rekayasa budaya untuk memberi ruang pada tampilnya budaya etnis. Apakah UU mampu membangun komitmen penyelenggara siaran televisi di dalam negeri agar mau mengangkat budaya lokal, antara lain budaya etnis dengan identitas yang dimiliki, dalam siaran dan tayangan-tayangannya. Akhir tahun 2009, menjadi batas waktu efektifitas televisi berjaringan. Ketentuan bahwa TV Nasional harus mempunyai jeringan dengan televisi lokal, memberi harapan akan terangkatnya budaya etnis /lokal melalui layar kaca. Komitmen pada keadiluhungan budaya sendiri (budaya lokal) menjadi kunci efektifitas ketentuan tersebut.
Kalau tidak maka pemberdayaan masyarakat menjadi strategi terakhir yang bisa diharapkan. Strategi budaya perlu disestimatisasikan melalui pendidikan dan interaksi budaya masyarakat. Harapannya, masyarakat bisa menjadi subyek atas informasi, yang mempunyai kemampuan untuk memilih dan memilah jenis informasi dan hiburan yang layak dikonsumsi. Itu pun tidak mudah. Pertanyaannya, apakah peran itu bisa diserahkan kepada masyarakat, karena yang terjadi adalah ketidakberdayaan. Pilih tayangan yang berkualitas, itu kampanye yang sering dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia. Dampingi anak ketika menonton televisi, itu himbauan yang lain. Pilihan itu sebenarnya sangat mudah, hanya sebatas memencet remote control, namun sangat sulit ketika budaya lain (baca: rejim iklan) sudah sangat kuat mencengkeram kesadaran pemirsa.
BAB III
PENUTUP

4.1.KESIMPULAN
4.1.1.Televisi merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat, baru kemudian disusul surat kabar dan radio. Pengaruh televisi terhadap pola pikir masyarakat disebabkan karena televisi memiliki kemampuan mencitpakan kesan (image) dan persepsi bahwa suatu muatan dalam layar kaca menjadi lebih nyata dari realitasnya. Kekuatan dahsyat televisi melebihi media yang lain, mempengaruhi kehidupan dan emosi seseorang melalui gambar-gambar yang diperjelas dengan narasi. Makin menarik gambar yang ditampilkan, makin dalam pengaruh yang ditimbulkan. Berarti pemirsa akan lebih mengingat dan membayangkannya. (Tabrani,2003). Sehingga Televisi mempunyai nilai persuasi tinggi terhadap masyarakat yang mengkonsumsinya.
4.1.2.Cara mengatasi penetrasi budaya asing terhadap budaya lokal atau dampak negatif Televisi terhadap terpinggirkannya budaya local adalah dengan (1) member ruang dan media bagi tetap berlangsungnya interaksi budaya dengan masyarakatnya, (2) media mendukung budaa lokal agar tetap bisa bertahan, (3) melestarikan TV Nasional dan TV lokal untuk menampilkan budaya etnis, (4) adanya komitmrn politik dan kesamaan visi di dalam masyarakat (transformasi budaya perlu dikawal, tidak bisa dibiarkan ikut mekanisme pasar), semua pihak harus peka terhadap fenomena-fenomena baru, (5) TV Nasional harus mempunyai jaringan dengan TV lokal, (6) pemberdayaan masyarakat dengan cara strategi budaya perlu disistematisasikan melalui pendidikan dan interaksi budaya masyarakat.

4.2. SARAN
Dengan semakin pesatnya perkembangan arus informasi komunikasi tidak mengakibatkan kebudayaan lokal semakin terpinggirkan tetapi justru dapat melestarikan dan mengenalkan nilai-nilai kearifan yang terkandung pada kebudayaan lokal.
Semoga masyarakat sadar akan pentingnya kebudayaan lokal dimana sebagai identitas sutu masyarakat sehingga sangat penting dalam mempertahankannya di era yang penuh dengan transformasi budaya asing melalui berbagai media pers. Kesadaran yang ada direalisasikan melalui tindakan nyata dengan tetap memanfaatkan sarana prasarana yang tersedia dengan tetap bermuara pada tujuan untuk mempertahankan dan melestarikan budaya lokal yang mempunyai nilai.




DAFTAR PUSTAKA
Alien.2008.”Krisis Global dan Dunia Baru”(on line), (http://www.sarekathijauindonesia.org/id/content, diakses tanggal 12 November 2009)
Ensiklopedia Pers Indonesia (EPI).2008.”Ensiklopedi Pers Indonesia”(on line),(http://pwi.or.id.html, diakses tanggal 12 November 2009)
Tarigan, Wilda.”Neoliberalisme Meminggirkan Perempuan”(on line), (http://www.fspi.or.id, diakses tanggal 12 November 2009)
Yuswantana, Biwara.2009.”Televisi Pinggirkan Budaya Lokal”(on line),(http://biwara.blogspot.com.html, diakses tanggal 12 November 2009)
Panuju, Redi.1994.Ilmu Budaya Dasar dan Kebudayaan.Bacaan Pelengkap MKDU untuk Mahasiswa. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Sugiyo, Darmanto.1993.Sekitar Masalah Kebudayaan.Bandung:Alumni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar