Selasa, 04 Desember 2012

Resensi Biografi Pelukis yang Mendunia "Vincent Van Gogh"


Menghidupkan Van Gogh

Judul    : Lust for Life
Penulis: Irving Stone
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta; Jakarta, Bandung
Cetak     : Juli, 2012
Tebal     : 574 halaman 


“Siapa pun yang membaca Lust for Life akan menemukan fakta-fakta penting yang berkaitan dengan kehidupan Vincent Van Gogh,” ungkap Christian Science Monitor. Dan, “Siapa yang pernah merasakan kesepian—dan yang belum pernah?—akan dapat memahami jiwa yang tersiksa ini (jiwa Vincent Van Gogh),” imbuh Kirk Douglas, aktor peraih Oscar yang memerankan Vincent Van Gogh dalam film yang diangkat dari novel ini.

Kedua orang tersebut memberi pengantar pada novel biografis karya Irving Stone ini dengan penuh impresif. Irving Stone sendiri menghadirkan ‘keberadaan’ dan keadaan Vincent Van Gogh dengan kombinasi luar biasa, yakni penelitian biografi orisinal dan penulisan novel dengan ‘gaya puitis dan menyentuh.’ Dan, seperti yang dipaparkan Christian Science Monitor tadi, pembaca akan menemui fakta-fakta penting seperti berikut ini.

Pembaca akan mengetahui Vincent Van Gogh adalah pelukis termahal di dunia yang mati sebagai orang terbuang (seperti yang telah dicantumkan dalam kaver depan novel ini). Namun, sebelum ia menjadi pelukis, Vincent pernah menjadi pramuniaga di sebuah kantor cabang London dari Goupil and Company, galeri barang seni dan ukiran.

Kisah cinta pertama Van Gogh dengan Ursula saat di London menjadi titik tolak bagi dia sebagai ‘orang terbuang’. Ursula menolak cinta Vincent. Hinaannya telah menariknya keluar dari kehidupan yang biasa dan membuatnya menjadi sampah masyarakat.

Penolakan cinta Ursula pada Vincent berimbas ke pekerjaannya. Ia mulai gerah dan tak bergairah dengan semua keadaan yang dialami di galeri, termasuk tak mulai ramah dengan konsumennya. Lalu, ia pulang dan menuruti nasihat orang tua untuk sekolah teologi.

Vincent, akhirnya menjadi pengabar Alkita. Dimana, eksistensinya di masyarakat mulai diakui. Sebab, ia menjadi ‘wakil Tuhan’. Namun, peristiwa yang tidak menyenangkan tetap menghampirinya, hingga akhirnya, Vincent mengikrarkan dirinya untuk menjadi pelukis.

Dan, di saat ia menjadi pelukis, tragedi demi tragedi justru terus menghampirinya. Ia, jarang memiliki uang. Masa depan menjadi pelukis pun tak pasti. Salah satu aktivitasnya hanya berjalan di padang rumput gersang di antara pondok-pondok beratapkan jerami; mengamati para pemotong kayu yang sibuk di atas sepetak tanah, di mana sebatang pohon cemara telah ditebang; melenggang santai di jalan menuju Roozendaal; melewati sebuah gereja Protestan dengan sebuah penggilingan tepat di seberangnya di tengah hamparan rumput dan pepohonan elm di halaman gereja (hal: 140). Begitulah, yang dilakukan Vincent dari pagi hingga hari menjelang malam. Kegiatan itu dilakukan tak hanya di Borinage saja. Ia melakukan kegiatan hampir seperti itu, saat ia tinggal di daerah Etten, Den Haag, Nuenen, Paris, Arles, St. Remy, dan Auvers.

Bagi masyarakat yang memiliki pikiran sempit terhadap kegiatan Vincent seperti itu, menganggapnya sebagai orang aneh dan sebuah tontonan. Melukis, bagi mereka adalah segala sesuatu yang ganjil. Pakaiannya, tingkah lakunya, janggut merahnya, dan kenyataan hidup bahwa dia pengangguran. Lalu, kegiatannya duduk-duduk terus di padang serta mengamati benda-benda di sekitarnya,  semua itu, yang menjadikan Vincent disebut oleh penduduk sekitar sebagai ‘fou’ (orang gila).

Salah satu kata-kata yang bisa menjadi obat hati Vincent adalah Weissenbruch, kritikus seni dari Den Haag. Weissenbruch berkata, “Orang yang tidak pernah menderita tidak punya apa-apa untuk dilukis Van Gogh. Kebahagiaan adalah hal yang bodoh; hanya bagus untuk sapi dan para pedagang. Para pelukis bertahan dengan kepedihan; kalau kau lapar, takut dan sedih, berterima kasihlah” (hal. 249).

Saat itu juga, Vincent mulai bersemangat dan kegiatan melukisnya semakin berkembang. Dia melukis dengan sangat cepat sehingga tagihan kanvasnya sangat banyak; sekali pakai, dia menghabiskan cat minyak yang mungkin sama dengan yang dihabiskan Mauve (paman Vincent di Den Haag yang telah menjadi pelukis terkenal) selama dua bulan. Ia tak bisa bekerja dengan lambat; uangnya menguap dan studionya dipenuhi dengan lukisan (hal. 275).
***
Dalam novel biografis ini pula, dikisahkan pertemuan Vincent dengan teman-teman sesama pelukis, seperti Toulouse-Lautrec, Paul Gauguin, Georges Seurat, Rousseau, Paul Cezanne. Dengan mereka juga, Vincent mulai mengenal lukisan dari pelukis-pelukis tenar yang telah mendahuluinya, seperti Monet, Degas, Manet, Pissaro, Guillaumin, Sisley, Delacroix. Ia pun semakin paham tentang pengetahuan dan teknik melukis yang beragam. Seperti, Cezanne melukis dengan mata; Lautrec melukis dengan amarahnya; Seurat melukis dengan otaknya, Rousseau melukis dengan imajinasinya; Gauguin melukis dengan hasrat seksualnya; dan Vincent sendiri, melukis dengan hatinya.

Pembaca pun akan mengetahui keinginan terdalam Vincent dalam melukis. “Ketika aku melukis ladang jagung, aku ingin orang-orang merasakan atom di dalam jagung yang mendorong pertumbuhan akhir mereka dan meledak. Ketika aku melukis apel, aku ingin orang merasakan sari buah apel itu mendesak keluar menembus kulitnya, biji-biji di bagian tengahnya berjuang keras keluar untuk keberhasilan mereka sendiri!” Ungkap Vincent dalam novel ini. Maka, tak salah bila dalam novel ini, ia dijuluki oleh G. Albert Aurier—seorang kritikus seni—sebagai ‘pelukis satu-satunya yang melihat warna benda-benda dengan kualitas yang setara dengan batu permata.’

Akhirnya, dari novel inilah, pembaca akan mengetahui tentang para pelukis di dunia yang diusik, sakit, tak punya uang, dihindari, dan diejek oleh sesama manusia lain, kelaparan serta tersiksa hingga hari kematian mereka.  Pembaca pun akan lebih tahu bahwa—meminjam ungkapan Paul Gachet, teman Vincent paling setia di Eropa (hal. 567)— Vincent tidak mati. Dia tidak akan pernah mati. Cinta, kejeniusan, dan keindahan luar biasa yang telah diciptakan akan hidup selamanya, memperkaya dunia. Lukisan-lukisannya merupakan makna baru dari kehidupan. Vincent orang hebat, pelukis yang hebat, dan filsuf yang hebat. Dia menjadi martir karena kecintaan pada seni.

Oleh: Budiawan Dwi Santoso, penulis bergiat di Bilik Literasi Solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar