Selasa, 26 November 2013

Memahami Daya Kritis Masyarakat Non Wayang



Wilayah Wayang dan Non-Wayang


Dari pengalaman berkeliling ke pesantren-pesantren di Yogyakarta dan luar Yogyakarta jarang bahkan tidak pernah menggunakan referensi wayang dalam percakapan. Demikian juga di desa-desa yang kesenian rakyatnya masih sangat kuat, masih merupakan bagian dari ritual masyarakat.
Khususnya ritual masyarakat yang tradisi santrinya masih kental. Mereka juga tidak pernah mempercakapkan tentang wayang, tidak pernah menggelar pertunjukan wayang. Cabang seni yang mereka geluti mengasyikkan dan memuaskan secara spiritual dan kultural.

Jadi sesungguhnya di dalam masyarakat selama ini memang ada wilayah budaya wayang, tetapi juga ada wilayah budaya non-wayang. Biasanya wilayah budaya wayang ini secara optimal memiliki pusat-pusat produksi dan reproduksi symbol-simbol wayang dalam arti sangat aktif. Memiliki aktor-aktor pendukung pertunjukan wayang. Mulai dari dalang, niyaga atau penabuh gamelan, sinden, pengukir atau penyungging wayang, sampai para pembuat gamelan dan pembuat kostum (untuk wayang uwong atau sendratari yang menggunakan bahan olahan cerita wayang) misalnya. Ditambah para pendidik atau guru yang mengajarkan berbagai ketrampilan mengenai pewayangan. Secara minimal, wilayah wayang ini memiliki penonton yang potensial. Mereka terdiri dari para priyayi yang terbiasa berpikir, bersikap dan bertindak secara hierarkhis. Ditambah para pembantu priyayi, para tetangga dengan berbagai macam profesi. Dan masyarakat yang secara turun-temurun sudah menjadi penonton wayang.
Sedang wilayah budaya non-wayang merupakan wilayah budaya alternatif. Secara optimal wilayah ini juga memiliki pusat-pusat produksi dan reproduksi symbol-simbol non-wayang dalam arti sangat aktif. Mereka juga memiliki aktor-aktor pendukung pertunjukan non-wayang. Mulai dari para kiai, para seniman di pesantren, para tokoh atau penanggungjawab pertunjukan non-wayang atau semacam sutradara, biduan, penabuh music jenis perkusi, sampai pada para pembuat alat-alat kesenian non-wayang, pembuat konstum non-wayang. Ditambah dengan para pelatih, para manajer group, pencipta lagu, jaringan studio rekaman, penjual kaset-kaset lagu dengan tema non-wayang. Dan secara minimal wilayah budaya non-wayang ini juga memiliki penonton dan konsumen yang potensial. Mereka terdiri dari tokoh masyarakat, masyarakat petani, nelayan, pedagang, tukang cukur, penjahit, tukang warung dan para santri yang dating dari luar kota dan luar desa.
Sayang sekali penelitian tentang perbandingan wilayah budaya wayang dengan wilayah budaya non-wayang ini belum pernah dikerjakan orang. Andaikata ada data dan petanya maka sesungguhnya akan sangat berguna untuk memahami berbagai peristiwa politik, budaya, ekonomi dan sosial yang berwajah konfliktual sekarang ini secara lebih mudah. Ini akan membuktikan kalau jangan-jangan kita semua selama ini terkecoh oleh mitos bahwa orang Jawa itu mesti paham wayang dan menjadikan wayang sebagai sumber dan masuk dalam sistem referensi nilai masyarakatnya. Ternyata mitos itu tidak benar. Sebab wilayah budaya non-wayang, untuk DIY, lebih-lebih di Jateng dan Jatim serta Jabar misalnya, sepertinya lebih luas ketimbang wilayah budaya wayang. Dan jika dari wilayah-wilayah budaya yang demikian lahir para pemimpin masyarakat, para pemimpin politik, para pemimpin agama, para tokoh-tokoh ekonomi dan para cendekiawan yang kritis maka sesungguhnya wajar-wajar saja.
Sebab mereka yang lahir di lingkungan budaya non-wayang ini sudah terbiasa hidup dalam suasana egaliter, terbuka, pola hubungannya cenderung horisontal dan mandiri, mereka tidak terbiasa berfikir, bersikap dan bertindak hierarkhis ketat sebagaimana para priyayi dan orang kecil di sekitar priyayi Jawa itu. Kalau ada hierarkhi itu terbatas pada bidang keilmuan dan lebih merupakan manifestasi dari semangat penghormatan ketimbang ekspresi ketertaklukan.
Bersambung..    

Daftar Pustaka:
Hasyim W.Mustofa.(2000).Jejak Luka Politik dan Budaya.Yogyakarta:LPSAS PROSPEK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar