Minggu, 29 September 2013

Catatan Pagi itu, Bernama "Perempuan"



1
Pagi itu aku membuka catatan harian yang samak kulitnya telah usang. Aku mulai mengeja-membacanya dengan lirih.

“Dalam keremangan, aku selalu memikirkan tentang apa yang terlintas dan melintasi pikiranku. Aku selalu bingung dan dirundung oleh kesunyian, yang nampaknya telah menempel-menyatu bersama tubuh diriku ini. Aku membuka jendela di kamar. Jendela, yang satu-satunya menghubungkan antara ruang privatku dengan alam. Kebun di belakang rumah. Dedaunan yang tersenggol oleh hembusan angin mulai bergemerisik. Bunyi yang timbul dan mengisi kesunyianku, kesepianku.”


Saat membaca catatan harian itu, aku sedikit demi sedikit mulai tenggelam dalam gairah yang tak wajar. Berjam-jam, aku memandang burung-burung, pohon-pohon, bunga-bunga, dan rerumputan yang saling bercakap-cakap dengan bahasa yang tak kuketahui lewat jendela di kamar—dan aku, nampaknya ingin mencoba mengerti percakapan mereka.  Namun, aku merasa kesulitan. Aku seperti makhluk asing yang ingin tak diasingkan. ‘Sepertinya, mereka tidak mengasingkan dan memahamiku,’ pikirku sambil melayangkan pandangan ke arah langit yang cerah.

Akhirnya, aku tergoda untuk keluar menuju ke kebun. Aku menghampiri mereka. Aku menyapa dan meraba daun-daun kecil. Masih basah. Sisa-sisa butiran embun yang menempel pada permukaan daun masih terasa. Aku di situ, mulai merebahkan tubuhku dan bersandar pada lincak, yang memang sengaja diletakkan oleh kakakku, tepat di bawah pohon jambu.

Dahan dan ranting yang mulai rimbun, bagiku kenikmatan tersendiri daripada melintasi dan mendengarkan bising lalu lintas di jalan raya. Jalanan itu hanya dipakai bagi para pekerja. Maklum, mereka yang bekerja untuk mencari rezeki agar bisa menghidupi dirinya sendiri maupun keluarganya. Berbeda denganku. Orang yang lebih memilih jadi pengangguran, dan hanya menyukai aktivitas membaca, menulis. Kalaupun punya uang cukup, aku keluar rumah hanya untuk bertemu dengan teman-teman lama: mengobrol, makan bareng, atau mengajak ke toko buku.

Ya, toko buku. Hidupku tak bisa terlepas dengan buku-buku. Meskipun, dari kecil sampai remaja kuliah, aku jarang membaca dan membeli buku. Kedekatanku dengan buku justru, ketika aku hampir rampung kuliah. Begitu ironis meski bisa dikatakan belum terlambat.

Buku-buku cerita yang pernah aku baca pun beragam. Beberapa yang kuingat, karya-karya Haruki Murakami, Ryunosuke Akutagawa, Jorge Luis Borges, Ivan S. Turgenev, dan Herman Hesse. Selain itu, aku juga membaca buku-buku nonfiksi, mulai dari yang berbau filsafat, agama, politik, pendidikan, sastra, budaya, psikologi, sampai dengan ekonomi. Buku-buku itu, sebagian besar masih belum terbaca. Sikap abai dan malas menjadi penyakit yang menurutku terlalu menyakitkan bagi buku-buku itu. Hanya saja, untuk menebus hal itu, aku kadang-kadang mengambil buku dari lemari, lalu membolak-balik lembaran-lembaran isi buku, dan menciumi aroma kertasnya. Aroma yang khas...
2
Aku bangun pukul 03.00 pagi. Kepalaku masih pusing, mata terasa berat untuk terbuka, dan ingin segera kencing. Pagi ini, aku benar-benar kelaparan. Bukan dalam arti yang sebenarnya. Kelaparanku adalah kelaparan yang terlalu kesepian, terasing, dan merasa kesunyian. Pagi ini memang cukup dingin. Hawa itulah yang membuat aku berpikir jorok. Aku membayangkan sosok perempuan. Namun, sulit terbayangkan. Bayangan itu tak tergambarkan secara jelas. Keinginan untuk bersetubuh dengan perempuan begitu menggebu-gebu. Namun, lagi-lagi aku harus menahan dan tertahan oleh suatu dogma tertentu.

3
Ahh, jika aku mengingat itu, barangkali suatu dosa tersendiri. Mereka, teman-temanku semasa SMP pernah melakukannya.

Ando, Cahyo, Fendi, dan Didik dengan seragam putih-biru tua sedang asyik mengobrol di belakang sekolah, dekat toilet. Mereka membicarakan hal-hal yang cabul dan porno. Cahyo mengeluarkan semacam kertas putih yang dilipat-lipat dari saku celananya. Ia membuka perlahan-lahan. Dan, ternyata yang ia keluarkan dan buka poster berukuran A3 dengan gambar porno.
***
Pagi ini ada yang berkelebatan dalam benak pikiranku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana cara mengalirkan atau memuntahkannya. Mereka yang berkelebatan hanya menjadi bayang-bayang samar dan absurd. Tentu, hal ini tak bagus untuk diriku. Bukankah begitu?

Ahh, aku bertanya pada siapa? Aku tak mempunyai teman. Yang ada di hadapanku hanya ada buku catatan harian yang telah usang. Kenangan-kenangan masa kecil telah menjauh dariku. Aku tak bisa meraih dan mengungkapkannya lagi. Barangkali, kenangan masa lalu itu, tak ada yang mengikat janji seperti Watanabe dengan Naoko dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Ya, barangkali itu....

Dan kini, aku hanya menjadi orang dewasa tanpa tujuan, tanpa pekerjaan, dan tanpa-Mu. Aku telah kehilangan diri-Mu semenjak aku bergaul dengan Ando, Cahyo, Fendi, dan Didik. Teman-teman yang mengajariku tentang hal-hal yang dianggap porno dan negatif. Kelas 1 SMP, diriku telah berubah dari anak yang lugu menjadi memalukan. Waktu telah mencatatku sebagai anak yang bertambah kaku, palsu, dan semakin ragu terhadap dirinya sendiri. Hanya Endah saja yang mengetahui perubahanku itu dan masih setia menemaniku sampai sekarang—meskipun itu tak dihadapkan secara fisik.

4
Endah. Nama ini hanya menjadi sebuah kenangan yang mulai berlari jauh dariku. Aku tak sempat mengejarnya. Aku tak mampu mendekap utuh. Persoalan yang aku hadapi begitu dilematis. Di saat hujan merintih di tengah jalan hingga membuat orang-orang yang melintas di jalanan semakin ketakutan dan menggigil, Ando lagi-lagi menyapaku. Dalam alam lain. Ia hanya menjadi sekejap peristiwa. Atau barangkali ibarat iklan yang membuat luka semakin menganga. Ada sekian kata ‘barangkali’ yang ingin kuucapkan terus-menerus. Namun, ini sangat repetitif. Dan, hanya menjadi suatu pembodohan saja.

Atap-atap genting yang bocor, mengucur darah siapa? Darah yang selalu menggenangi kenanganmu, kenanganku. Kita berlari-lari terus. Tanpa mengenal lelah. Hanya seutas tali dadung yang mampu memantikku untuk melakukan tindakan bunuh diri. Aku mengambil kursi di ruang meja makan. Tak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada kucing yang mulai terpergoki diriku, kemudian meloncat dan berlari menjauh. Tak jadi.

Peristiwa ini begitu berat. Peristiwa yang kutulis ulang pada jam setengah sepuluh malam, di saat hujan mulai reda. Aku menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena....

Ahh, aku begitu sulit mengungkapkan tentang kata-kata selanjutnya. Kata-kata hanya menjadi bagian yang menyiksa dan seperti wilayah tera in cognita. Kata-kata bukan hanya dimiliki oleh seorang ahli psikologi dan filosofi, seperti Jean Paul Sartre. Namun, kata-kata juga dimiliki oleh setiap orang, setiap masyarakat.

Kupikir, ini suatu bentuk pernyataan yang wagu juga. Atau mungkin terlalu naif dan repetitif lagi? Ternyata, aku disodori sebuah pertanyaan lagi, yang bagiku itu seperti martir bagi diri sendiri. Dan, tiba-tiba lampu-lampu mercury yang berada di tiap-tiap pinggir jalan, mengerlingkan wajah terangnya. Mengerlingkan suatu pencerahan sekaligus penyesatan.

“Hei, aku selalu mengingatmu. Aku selalu mencintaimu. Dan aku selalu merindukanmu. Kemarilah, sayangku!”

Aku yang sedang duduk-duduk di ruang penuh ilusi, menjadi seorang yang cuek dan dingin. Saat itu pula, aku dipanggil seorang teman bernama Rara. Ya, namanya adalah Rara. Dimana, bila kuucapkan secara lisan, aku pasti gagal mengucapkannya dengan benar. Sebab, diriku kesulitan untuk membunyikan huruf ‘R’ dengan sempurna.

‘Endah’. Nama itu, yang kemudian muncul dalam benakku. Dia yang selalu menjadi primadona di kelas hanya diam, tampak lugu.

5
Kamu pasti tidak mengetahui siapa Simone Weil dan Rachel Bespaloff itu? Jika ada yang tahu, maka hanya sekelumit saja yang ia pahami—termasuk aku. ‘Pagi itu membosankan’. Namun, sepintas perkataan itu akan lenyap begitu saja. Ia akan terganti dengan kata-kata lain yang penuh imajinasi populer. Imajinasi yang mendekam dalam benak kita kini. Dan, buku dengan desain sampul menggoda berjudul Perang, Langit, dan Dua Perempuan tahun terbit: 2006 mempertemukan aku dengan kedua sosok tersebut. Aku membaca mereka. Kedua perempuan, Simone Weil dan Rachel Bespaloff adalah ‘keturunan Yahudi di sebuah Prancis yang cemas yang juga semakin rasialis—menulis esai panjang mengenai Illiad, mahakarya Homeros yang termasyhur tentang perang’.

Nama ‘Simone Weil’ menggaung dalam benakku. Yang terbayang adalah sosok dan riwayatnya: Ia mati sedih. Weil dimakan TBC dan sebuah proses melaparkan diri secara sukarela.

“Dalam hidup Weil sendiri, bagian-bagian yang tak nyaman itu kebanyakan ditempuh dengan sengaja. Lahir di Paris tahun 1909, ia berasal dari keluarga Yahudi yang berada dan berilmu. Bapaknya seorang ahli penyakit dalam, ibunya seorang berkarakter kuat yang banyak berperan dalam pendidikan anak-anaknya. Weil masuk École Normale Supérieure dan pada umur 19 menjadi mahasiswa nomor satu dalam ujian masuk (Simone de Beauvoir nomor dua). Setelah menyelesaikan tesisnya, Ilmu dan Persepsi dalam Pemikiran Descartes, di tahun 1931 Weil lulus dan jadi guru. Meskipun dibesarkan dalam lingkungan agnostik, Weil menjalani ritus Gereja Katolik tapi menolak dibaptis,” ungkap Laksmi.

Sambil membayangkan Weil, aku membisu-terpana. kesikapan yang barangkali terlalu naif untuk mereka yang hidup dalam kesunyian atau malahan hal itu sudah biasa bagi mereka yang hidup dalam ingar-bingar budaya [terlalu] populis.

“Ia memang bukan pribadi biasa-biasa saja. Pujian dan sindiran menjadi bagian hidupnya: dari ‘Si Perawan Merah’, ‘Keharusan Kategoris yang Memakai Rok’, sampai ‘Si Orang Luar Sebagai santa dalam Zaman Alienasi’ dan, yang ini dari T.S. Eliot, ‘jenius yang hampir menyerupai santa’.”

Aku geli ketika mendengar bahwa Weil mendapat sebutan-sebutan seperti itu—meskipun, aku juga merasakan ada hal yang ironis sekaligus tragis. Entah itu bagi diri Weil atau orang-orang yang sering memuji dan menyindir Weil.

Laksmi berkata lagi, “Dalam ingatan Georges Bataille, pemikir yang dikenal antara lain dengan l’Erotisme itu, Weil selalu berbalut warna hitam dengan ‘rambut ijuk gagak’ dan kepucatan yang mengagumkan.”

Hanya sejenak mendengarkan pernyataan Laksmi, aku ingin bilang pada-Nya: ‘Tuhan, jika boleh, aku ingin seperti dia. Dia, yang mampu menyentuh manusia, namun aku tak mau disentuhnya.’

*Catatan: Narasi yang mengisahkan Simone Weil itu terambil dari buku Perang, Langit, dan Dua Perempuan (2006) karya Laksmi Pamuntjak.



Oleh: Budiawan Dwi Santoso. Menulis esai, cerpen, puisi, dan resensi. Bergiat di Bilik Literasi Solo.


(cerpen yang dimuat Joglosemar hari Minggu, 19 Mei 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar